Chapter 12.

42 10 0
                                    

"eh? apa maksutmu?" aku masih tidak paham, kenapa dia tiba-tiba bertanya pertanyaan itu?

"lova, apakah aku hanya karakter game? apakah seluruh duniaku juga hanyalah sebuah game untukmu?" zayne memperjelas pertanyaannya padaku.

aku bisa merasakan atmosfer yang semakin berat, sementara zayne menuntut jawaban dari mulutku. tidak, sebenarnya apa yang salah? kenapa aku tidak bisa memberitahunya saja bahwa dia berasal dari sebuah game di layar ponselku, dan dia juga salah satu karakter yang ada didalamnya?

bisa saja, itu adalah petunjuk terbesar yang zayne bisa dapatkan untuk kembali ke dunia asalnya.

aku menghela nafas berat dan mengangguk.

"benar. tapi, aku tidak pernah menganggap bahwa kamu dan dunia mu hanyalah sebuah game" aku tidak berbohong dalam berkata hal ini. meskipun ada kalanya aku berfikir bahwa mereka tidak nyata, tapi disisi lain diriku, aku berharap bahwa mereka adalah.. nyata, benar adanya.

"kalau begitu, kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?" zayne menuntut penjelasan dan alasan dariku. itu tidak mudah, tapi aku sedikit takut. bahkan, waktu yang kami habiskan bersama sangat indah. jika seandainya aku harus menerima fakta bahwa aku akan sendirian lagi..

"kupikir kamu akan sulit untuk mencerna nya. aku tidak pernah berfikir bahwa itu mungkin akan menjadi petunjuk terbesar yang kamu cari selama ini" bohong, aku pernah memiliki pemikiran seperti itu. hanya saja, aku terlalu egois untuk melepas zayne.

"bahkan jika itu akan membuatku sulit, bukankah seharusnya kamu mengatakannya padaku? apakah menurutmu, aku hanyalah sebuah karakter didalam game yang tidak berarti?" aku bisa mendengar nada bicara zayne yang semakin lama semakin meninggi.

tidak, maafkan aku. aku tidak pernah berfikir sekalipun bahwa kamu hanyalah sebuah karakter didalam game otome favoritku.

"apakah karena itu, kamu dengan mudah mengatakan bahwa aku adalah milik mu seperti aku hanyalah sebuah benda?" intonasi bicara zayne semakin meninggi dan atmosfer yang tadinya bahagia dan ceria, perlahan menjadi berat dan menyesakkan.

itu salahku. seharusnya aku bisa mengusir ibu dan membantu zayne tanpa harus berkata seolah-seolah zayne hanyalah sebuah benda dan alat. seharusnya, aku tidak melakukan itu.

"tidak, maafkan aku"

aku tidak bisa berkata bahwa aku tidak pernah sekalipun menganggapnya sebagai sebuah benda yang memiliki kepemilikan. zayne adalah zayne, dan dirinya adalah miliknya seorang.

tapi, aku bahkan merasa bahwa aku tidak pantas untuk mengatakannya setelah apa yang terjadi.

zayne menghela nafas dan berdiri.

"aku berharap semoga kamu menghilang saja."

dengan satu kalimat itu, zayne pergi. meninggalkanku sendiri di bangku taman tersebut. mungkin, zayne sudah mengetahui caranya untuk kembali ke dunia asalnya setelah dia membuka ponselku lusa kemarin.

'sepertinya, tidak masalah jika zayne pergi. toh, aku terbiasa dengan kesendirian.' itulah yang kupikirkan sebelum mengambil boneka pinguin milikku yang terjatuh.

aku berjalan pulang sembari mengusap air mata yang terus mengalir keluar.

***

aku menghabiskan sisa hariku berdiam diri dikamar, tidak melakukan apapun. aku ingin belajar dan menggores pena diatas kertas. melakukan kegiatan apa saja sehingga aku bisa menyingkirkan pikiran ku yang berkecamuk ini.

sayangnya, tubuhku tidak mau melakukannya. aku terus menangis sembari memeluk boneka pinguin milikku. aku membiarkan ponsel dan lampu kamarku mati. membiarkanku sendirian didalam kegelapan.

itu salah. tentu aku paham betul kalau itu salah. akulah orang pertama yang dia temui disini, dan aku juga orang yang menawari nya bantuan. tentu itu menjadi tanggung jawabku jika aku mengetahui sesuatu.

tapi bahkan dengan petunjuk sebesar itu, aku tidak memberitahukannya. memang, aku adalah orang yang buruk. meski begitu, apa yang melatar belakangi perasaan aneh ini? apakah hanya sebatas, aku suka dengan keadaan saat dia ada disini?

atau, aku mulai menjadi egois dan tidak tahu diri?

aku mengusap air mataku yang tidak kunjung berhenti. aku mungkin akan kecewa, bahkan lebih berat dari apa yang dirasakan oleh zayne. bahkan dengan alasan apapun, aku memang tidak pantas untuk menyembunyikan fakta dan petunjuk sebesar itu.

aku terkejut saat tiba-tiba ponselku berdering. seseorang menelepon. tapi itu mungkin penipu, karena bahkan aku tidak memiliki seorang teman yang akan menelepon ku larut malam begini.

tapi bahkan setelah dering telepon berhenti, itu muncul kembali beberapa detik kemudian. kesal, aku mengambil ponselku dengan kasar dan mengangkat teleponnya tanpa melihat nama si penelepon.

"jika kamu menelepon hanya untuk menipu, aku bersumpah akan melaporkanmu pada polisi" ancamku kesal.

aku bisa mendengar seseorang menghembuskan nafasnya kasar di seberang telepon. tampaknya dia berusaha untuk mengatur emosinya.

"kamu tidak bisa melapor dengan suara bergetar seperti itu"
"eh?!"

itu zayne. gila! aku panik setengah mati dan dengan cepat mengusap sisa air mata yang ada di pipiku. gila, gila!! harusnya aku melihat dulu nama dari si penelepon.

"ah, maaf, maafkan aku. aku tidak bermaksut menunjukkan hal tidak mengenakkan seperti ini, sebentar"

aku dengan cepat mengambil air mineral yang ada dikamarku dan meminumnya, mengatur sedikit suaraku agar tidak terdengar seperti seseorang yang habis menangis. sementara zayne masih terdiam diseberang sana.

"aku sudah selesai. kenapa menelepon dimalam-malam? apa kamu membutuhkan sesuatu? bagaimana dengan kemajuan informasi yang kamu punya? apakah kamu sudah bisa kembali?" aku menghujani zayne dengan banyak pertanyaan, tidak mau dirinya sadar seberapa lama aku menangis.

meski aku sudah melakukan apa yang ku bisa, suaraku masih terdengar sedikit serak.

setelah beberapa detik terdiam, zayne menjawab dengan pelan.

"tidak, aku hanya ingin meminta maaf. maaf karena sudah kasar tadi sore. tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu yang seperti itu. apalagi menyudutkanmu sampai kamu tidak bisa melakukan apa-apa"

aku terkejut. pria ini menelepon malam-malam begini hanya untuk meminta maaf..??

"t-tidak, toh lagipula memang itu adalah salahku"
"meski begitu, tidak pantas seseorang mendapat perkataan seperti itu"

aku terdiam. dan air mataku kembali jatuh. sialan, dasar lova bocah cengeng. aku menahan agar tidak bersuara, tapi tampaknya itu terdengar dengan sangat keras oleh zayne.

"aku ada didepan rumahmu" pernyataan zayne yang tiba-tiba membuatku terkejut.

"apa?"
"aku membuat sup pedas. kupikir kamu akan datang ke apartment hari ini, tapi ternyata tidak. jadi, aku menyisihkan sedikit dan membawanya kemari"

mendengar penjelasan zayne, tanpa pikir panjang aku berlari keluar dan membuka pintu. aku juga meminta satpam untuk membukakan pagar rumah. tepat saat mereka membukanya untukku, aku bisa melihat lewat jarak yang mereka buat. itu zayne, berdiri didepan gerbang rumahku.

aku dengan cepat berlari menghampirinya. aku bahkan lupa jika aku sedang menangis saat ini.

"apakah ini sup pedas? kamu memisahkannya untukku? benarkah? kebetulan aku belum makan" aku sangat lapar, dan makanan pedas adalah apa yang aku butuhkan saat ini.

namun saat mataku tertuju pada kantung yang dibawa oleh zayne, tangannya dengan pelan mengusap sudut mataku. aku terkejut dan menatap kearahnya. zayne menurunkan kantung berisi sup pedas milikku dan melepas coat miliknya. dengan pelan, menaruh benda itu diatas bahuku. setelah itu lanjut mengusap pipiku dengan lembut.

"masuklah, diluar dingin. aku kesini hanya untuk mengantar ini. selamat malam" ucapnya dan dengan cepat berbalik dan pergi.

gila, gila. apa yang dilakukannya barusan?!

aku dengan pelan masuk kedalam rumah dan memakan sup pedas yang diberikan zayne sebelumnya. itu enak, dan rasanya khas seperti masakan zayne.

rasanya hangat.

Imagination | ZayneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang