BAB 3 - Gejolak Rasa

10 1 1
                                    

Aku melangkah dengan hati-hati, ragu, seolah-olah setiap langkahku adalah keputusan besar yang harus kupikirkan matang-matang. Seperti debu yang beterbangan tanpa arah tujuan, begitulah perasaanku saat ini. Tak menentu. Tak berujung. Pikiranku berkecamuk, penuh dengan keraguan dan pertanyaan yang tak terjawab. Matahari sudah mulai turun, tenggelam di balik cakrawala, namun di dalam diriku, kegelapan itu sudah lebih dulu menyelimuti. Aku masuk ke dalam minimarket, disambut oleh sinar lampu neon yang dingin dan terang, begitu kontras dengan kabut pekat di hatiku. Setiap sudut toko ini terasa asing, meski aku sudah berkunjung berkali-kali. Yang terasa akrab hanyalah perasaan kosong dan cemas yang terus menghantui.

Aku mencari sosoknya, dan tak perlu waktu lama sampai aku menemukannya di sudut toko, ia berdiri dengan tenang, sibuk merapikan barang-barang di rak. Sosok yang selalu membuat jantungku berdegup lebih cepat, seperti lonceng yang tiba-tiba dipukul keras, menggema di seluruh tubuhku. Dia menoleh, dan senyum itu—senyum yang tak pernah gagal membuatku merasa lemah—terpampang di wajahnya. "Eh, ternyata datang juga. Ke mana dulu? Kok baru datang jam segini?" ucapnya santai, seolah-olah tak ada yang berbeda dari kemarin, seolah-olah perasaan hatiku tak pernah ia sadari.

Tadi aku memang sengaja melambatkan laju motorku, bahkan sempat terpikir untuk memutar balik dan melupakan semua ini. Tapi seperti layang-layang yang tak pernah bisa terlepas dari benangnya, aku terus terikat padanya, dan akhirnya aku di sini. Di hadapannya. Di bawah tatapannya yang membuatku semakin terpuruk dalam kebingungan.

Dengan langkah kecil, aku mendekat. Rasanya seperti mendekati jurang, tidak tahu apakah akan jatuh atau tetap berdiri di tepi. Hatiku berdebar tak menentu, seperti genderang perang yang dimainkan tanpa henti. “Kamu... sama Vera jadian, ya?”

Pak Rendi tetap asyik merapikan barang-barang di rak. Seolah-olah pertanyaanku hanya angin lalu. Dia menoleh sejenak, senyum nakalnya kembali menghiasi wajah itu, wajah yang begitu sulit untuk kutebak. "Kenapa emangnya?" balasnya dengan nada menggoda, tapi matanya tak benar-benar menatapku.

Aku menelan ludah, mencoba menjaga suaraku tetap stabil. "Gak apa-apa sih. Cuma... tadi siang aku lihat kalian datang bareng ke toko. Terus, Bu Tina sama Cecep juga bilang kalian cocok."

Aku berusaha terlihat tenang, meskipun di dalam diriku ada badai yang sedang bergemuruh. Pak Rendi tertawa kecil, seolah-olah dia baru saja mendengar lelucon. "Cemburu ya?" katanya sambil menoleh padaku, senyum isengnya semakin menjadi-jadi. Tatapan itu seperti matahari yang menyilaukan, panas, dan membakar.

Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri, walaupun hatiku terasa seperti kawat yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja. "Bukan itu masalahnya," kataku datar. "Aku cuma pengen tahu. Kalau kamu memang sama Vera, ya sudah."

Dia hanya tersenyum, seperti biasa, menggodaku dengan sikapnya yang tak pernah jelas. "Kamu takut kalah saing sama Vera, ya?" godanya lagi, matanya menyipit, menatapku seperti aku adalah teka-teki yang lucu.

Aku menggigit bibir, mencoba menahan perasaan yang semakin menggelegak di dalam diriku. Aku tahu aku tidak bisa saingan dengan Vera. Bagaimana bisa? Vera adalah wanita, sedangkan aku? Waria. Hahaha...
"Saingan apaan sih...!" jawabku, berusaha menepis ucapannya, meskipun aku tahu di balik senyum itu ada kenyataan pahit yang harus kuterima.

Kalimat itu melayang di udara, menyesakkan dadaku. Ada kebenaran yang tak bisa kutolak. Di mana posisiku sebenarnya di antara mereka? Kalau pun Pak Rendi memilih Vera, apa aku punya hak untuk merasa sakit hati? Aku bukan siapa-siapa. Tapi entah kenapa, rasa cemburu ini seperti api yang terus menyala, membakar dari dalam.

Aku menatapnya, mencoba mencari jawabannya di matanya. “Jadi beneran udah jadian?” tanyaku lagi, meski dalam hati aku tahu, jawaban itu mungkin tak akan pernah datang dengan pasti. Pak Rendi selalu punya cara untuk membuat segalanya terasa seperti permainan, permainan yang membuatku tersesat dalam perasaanku sendiri.

Dia tertawa pelan, menikmati situasi ini. “Kepo deh. Ini mah beneran cemburu ya..? Hehe..” Dia kembali menggodaku, senyum nakalnya menambah rasa sakit di hatiku. Seolah-olah dia tahu betapa lemahnya aku di hadapannya, dan dia memilih untuk mempermainkannya.

Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang semakin dalam. "Ya sudah, kalau kamu memang jadian sama Vera, aku nggak masalah. Aku rela jadi yang kedua," ucapku setengah bercanda, meskipun aku tahu kata-kata itu lebih serius dari yang terlihat.

Rendi terdiam sesaat, tatapannya sedikit berubah. “Yang kedua? Kamu ngomong apaan sih?”

Aku tersenyum pahit, berusaha terlihat santai. "Iya, hatimu milik Vera, tapi ragamu... milikku. Hahaha, anggap aja berbagi suami, ya kan?" candaku, meskipun di dalam, hatiku penuh dengan kepahitan. Kata-kata itu keluar seperti pedang yang menusuk diriku sendiri.

Dia menggelengkan kepala sambil tertawa. "Apaan sih..." Jawaban singkat itu, meski terdengar ringan, terasa seperti tamparan di wajahku.

Tawa kecilnya membuat perasaanku semakin kacau. Bagaimana mungkin dia tak menyadari betapa seriusnya ini bagiku? Atau mungkin, dia tahu, tapi memilih untuk tidak menanggapinya. Atau lebih buruk, dia memang tak pernah melihatku sebagai sesuatu yang serius. Aku terjebak dalam dilema ini—antara mencintainya dengan sepenuh hati atau menerima bahwa aku hanyalah angin yang lewat dalam hidupnya.

Aku mencoba menelan rasa sakit ini dengan senyuman, meskipun di dalam diriku, ada jurang yang semakin dalam. Aku bertanya-tanya, apakah aku bisa terus seperti ini? Terus berada di sampingnya, meski aku tahu dia mungkin tak akan pernah memilihku sepenuhnya.

Perasaan ini seperti ombak yang terus menghantam karang. Aku menunggu, berharap ada celah di hatinya untukku, meskipun kenyataannya, aku mungkin hanya satu dari sekian banyak ombak yang datang dan pergi.

Dalam diam, aku mengutuk diriku sendiri. Mengapa aku rela berada di posisi ini? Mengapa aku rela menjadi bayangan yang hanya muncul ketika dia membutuhkan? Tapi di sisi lain, aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dia. Bahkan jika itu berarti aku hanya akan menjadi bagian kecil dari kehidupannya, bagian yang tak pernah benar-benar penting.

Aku sadar, aku terperangkap dalam labirin perasaanku sendiri. Terjebak dalam cinta yang tak bisa kusuarakan dengan lantang. Hanya bisa kusimpan dalam hatiku, meskipun tahu bahwa akhir cerita ini mungkin tak akan berpihak padaku. Tapi jika itu harga yang harus kubayar untuk tetap berada di sisinya, aku rela. Karena meskipun hatinya mungkin milik Vera, aku masih berharap bisa memiliki sebagian kecil dari dirinya, bahkan jika hanya dalam bayanganku sendiri.

Diskon Cinta Di MinimarketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang