Sesaat kemudian, Dadang keluar dari pintu gudang, suasana mendadak terasa lebih sunyi, meskipun suara pintu gudang yang berderit mengisi udara. Sepertinya ia baru selesai istirahat makan. Langkahnya ringan, tanpa banyak bicara, dan hanya sekejap matanya menoleh ke arah Pak Rendi. Ada semacam bahasa tubuh yang tak tertulis di antara mereka—saling paham tanpa kata. Pak Rendi mengangguk kecil, dan aku tahu itu pertanda giliran Pak Rendi untuk istirahat. Seperti ritual yang telah diulang ribuan kali, Dadang mengambil alih tugas di rak minuman tanpa perlu perintah, sementara Pak Rendi melangkah ke arah gudang dengan langkah yang selalu terasa tenang, penuh percaya diri. Dan seperti bayangan yang selalu mengekor, aku mengikuti di belakangnya, tanpa diminta.
Gudang itu dingin, seolah menyerap semua kehangatan dari luar. Langit-langit rendah dan deretan kardus yang tertumpuk acak menciptakan suasana yang selalu membuatku merasa terasing. Tapi anehnya, ketika aku di sini bersama Pak Rendi, perasaan itu berbaur dengan rasa nyaman. Pak Rendi membuka tasnya, mengambil bekal yang ia bawa dari rumah.
"Bade tuang? (Mau makan?)" tanyanya, sembari menunjukkan bekalnya padaku.
Aku menggeleng tanpa berkata-kata, meskipun di dalam hati, aku menolak lebih dari sekadar tawaran makanan. Aku menolak untuk terlihat lebih lemah lagi di hadapannya. Dia lalu membuka bekalnya, dan mulai makan dalam keheningan yang hanya diisi suara gesekan sendok dan kotak bekal plastik. Namun, perhatianku segera teralih saat ia mengambil ponsel dari saku celananya, membuka layar, dan tanpa ragu-ragu, mulai mengetik sesuatu dengan jari-jari tangannya yang cekatan.
Layar ponsel yang menyala memantulkan cahaya ke wajahnya, dan di antara suapan nasi, aku melihat senyum kecil bermain di sudut bibirnya. Siapa yang dia kirimi pesan? Dengan siapa dia tertawa di balik layar itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogoti hatiku seperti angin dingin yang menyelinap masuk di sela-sela dinding gudang. Tapi kali ini, aku menahan diri untuk tidak bertanya. Aku tidak ingin mengulangi apa yang terjadi sebelumnya, di mana setiap pertanyaan yang kuajukan hanya dijawab dengan ketidakpastian, seakan aku hanyalah bagian dari permainan yang sedang ia mainkan.
Aku duduk tak jauh darinya, berpura-pura sibuk dengan ponselku. Jemariku menggulir layar, tapi pikiranku tidak ada di sana. Sesekali aku mencuri pandang, memerhatikan senyum kecil di wajahnya yang terbit setiap kali ia membaca sesuatu di ponselnya. Senyum itu seakan menghancurkan sebagian dari diriku, seperti kaca yang retak pelan-pelan, tak terdengar, namun aku bisa merasakannya. Rasa cemburu mengalir perlahan, seperti racun yang menjalar tanpa aku bisa menahannya. Tapi, aku diam. Ku kunci mulutku rapat-rapat, menolak untuk melontarkan pertanyaan yang pasti tak akan dijawab dengan pasti.
Sepuluh menit berlalu dalam hening. Pak Rendi selesai makan. Ia berdiri, memegang tempat nasi yang sudah kosong, dan melangkah menuju toilet yang terletak di sebelah pintu gudang. Tanpa berpikir, kakiku bergerak mengikuti langkahnya, seperti sebuah kebiasaan yang tak bisa kuhentikan. Entah kenapa, aku merasa seolah-olah ke mana pun Pak Rendi pergi, aku harus ikut, meskipun aku tahu tidak ada yang bisa kudapatkan dari langkah-langkah itu selain rasa sakit yang semakin dalam.
Pak Rendi memasuki toilet tanpa menutup pintunya, dan mulai mencuci tempat nasi di bawah kucuran air dari keran. Bunyi air yang mengalir seolah menjadi soundtrack yang memecah keheningan di antara kami. Dari luar, aku memandangnya, melihat punggungnya yang tegap, seolah-olah ia tak pernah memikirkan apapun selain apa yang ada di depannya.
Kemudian, ia menoleh, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuterjemahkan. Matanya tajam, seolah-olah ia melihat sesuatu di dalam diriku yang bahkan aku sendiri tak mampu melihatnya. Sejurus kemudian, tatapannya kembali ke tempat nasi yang sedang ia cuci.
Setelah mencuci tempat nasinya, Pak Rendi menatapku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam, lebih menusuk. Waktu terasa berhenti. Lalu, dengan nada serius, ia berkata, "Mau masuk? Atau mau dimasukin?"
Pertanyaan itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Aku terkejut, terdiam, tak tahu harus merespons bagaimana. Kata-katanya seperti angin yang menampar wajahku tanpa ampun. Hatiku tiba-tiba terasa kosong, seperti ada bagian dari diriku yang hilang, tersesat dalam kata-katanya.
Sebelum aku bisa berkata apapun, Pak Rendi menarik lenganku dan membawaku masuk ke dalam toilet bersamanya. Tangannya kuat, namun tidak kasar. Jantungku berdebar begitu kencang, seakan hendak meledak. Suara air yang masih menetes dari keran menjadi latar belakang aneh untuk adegan ini. Kepalaku berputar, antara takut, bingung, dan perasaan lain yang tak bisa kujelaskan.
Aku tak bisa berkata apa-apa, tak mampu memproses apa yang sedang terjadi. Hatiku berkecamuk, antara kebahagiaan yang tak terduga dan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul. Ini salah, tapi pada saat yang sama, ini adalah momen yang sudah lama kuimpikan. Namun, kenyataan bahwa kami berdiri di toilet minimarket, ruang sempit dengan aroma sabun dan air, menambah absurditas situasi ini.
Pak Rendi menatapku lekat-lekat, senyumnya hilang, digantikan oleh tatapan yang intens, hampir seperti memerintah. Tatapan itu seolah berkata bahwa aku harus menerima ini—bahwa inilah satu-satunya cara agar aku bisa lebih dekat dengannya. Dan di dalam hatiku, pergolakan dimulai.
Aku merasa seperti boneka yang ditarik ulur oleh perasaan yang bertolak belakang. Di satu sisi, aku menginginkannya, menginginkan perhatian yang lebih dari sekadar tatapan iseng atau senyum nakal. Tapi di sisi lain, aku tahu ini tidak benar. Atau mungkin aku hanya takut dengan kenyataan bahwa aku selalu menjadi pilihan terakhir. Rasa malu dan harapan bercampur aduk, seperti awan gelap yang bergulung di dalam dadaku.
Pak Rendi, ia menatapku lagi, lebih dalam kali ini, seakan mencari sesuatu di dalam diriku, sesuatu yang aku sendiri mungkin belum temukan. Tatapan itu membakar setiap pertahanan yang aku bangun selama ini, menyisakan hanya keinginan yang rapuh.
Aku tahu, di luar sana, Vera mungkin sedang menunggu pesan darinya. Mungkin dia yang sedang membuat Rendi tersenyum saat membuka WhatsApp tadi. Mungkin aku hanya pengalih perhatian sementara, seseorang yang bisa ia mainkan ketika ia bosan atau lelah. Tapi meski aku tahu itu, aku tetap di sini, tak bisa bergerak. Seolah-olah aku tak punya pilihan lain selain menerima peran yang ia tawarkan—meski itu berarti aku hanya bayang-bayang.
Dan di dalam hati, aku berkata pada diriku sendiri: “Kalau ini satu-satunya cara agar bisa dekat dengan Pak Rendi, aku akan terima. Walaupun hatinya milik Vera, biarkan raganya milikku. Anggap saja aku berbagi... berbagi suami.”
Aku tenggelam dalam keresahan dan ketidakpastian, bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan dilakukan Pak Rendi padaku. Apakah semua ini hanya keisengannya, membuatku terombang-ambing dalam harapan dan bayangan yang kubuat sendiri? Ataukah dia benar-benar akan melakukan sesuatu yang selama ini diam-diam aku inginkan dan harapkan? Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu dalam ketegangan yang semakin menyiksa. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, sementara pikiranku terus bermain dengan segala kemungkinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diskon Cinta Di Minimarket
RomanceWarning❗❗❗❗ Gay LGBTQ+ 18+ 21+++ 🔞🔞🔞 Mengandung adegan dewasa tanpa filter Harap bijak dalam memilih bacaan --------------------------------------------- Nizam telah lama menyimpan perasaan mendalam untuk Rendi, seorang rekan kerja yang telah men...