Pagi ini, aku terbangun dengan kepala yang penuh kebingungan. Bayangan kejadian semalam terus berputar di pikiranku, seolah menolak untuk pergi. Pak Rendi... apa yang sebenarnya terjadi antara kami? Aku masih bisa merasakan kehangatan sentuhannya, masih bisa mendengar bisikan samar suaranya di telingaku. Aku bertanya-tanya sendiri sambil menatap langit-langit kamar, berharap ada jawaban yang turun dari langit. Antara rasa senang karena akhirnya aku bisa melakukan itu dengannya dan kebingungan tentang makna di balik semuanya. Semalam seperti mimpi, tapi kenyataannya tetap menggantung di antara kenyataan dan ilusi. Aku berguling ke sisi lain tempat tidur, mencoba menenangkan hati, tapi semakin aku mencoba melupakan, semakin kuat rasa itu muncul. Semua masih terasa berat dengan kebingungan yang memenuhi kepalaku.
Aku mencoba menyingkirkan pikiran itu dan bersiap untuk bekerja. Aku bangkit lalu berjalan ke kamar mandi. Pikiranku melayang kembali pada kejadian semalam—setiap detailnya berputar seperti film yang tak bisa kuputar balik. Air yang menyiram tubuhku terasa dingin, namun tak cukup untuk mendinginkan gejolak di dadaku. Aku mencoba fokus pada rutinitas, mengenakan seragam dan menyiapkan sarapan, tapi semuanya terasa hambar. Sambil menyesap teh hangat, pikiranku terus bertanya: Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Pak Rendi rasakan? Perasaanku terasa hampa, hanya dipenuhi oleh kekacauan di hatiku yang tak pernah menemukan jawaban. Aku berangkat kerja dengan segudang kebimbangan dalam dadaku.
Aku parkirkan motorku di depan toko seperti biasa. Namun segalanya terasa lebih berat. Langkah kakiku menuju toko seperti dipenuhi oleh beban yang tak terlihat. Semua hal kecil yang biasanya kulakukan setiap pagi terasa membosankan, seakan ada lapisan kesedihan yang membungkus setiap gerakanku. Kenapa aku begini? Aku bertanya pada diri sendiri berkali-kali, namun jawabannya tetap menggantung tanpa arah.
Di toko, rutinitas berjalan seperti biasa. Aku mulai membersihkan rak, mengelap debu yang menempel di barang-barang. Tapi pikiranku terus melayang kembali ke semalam. Lamunanku semakin dalam sampai aku tak mendengar suara pembeli yang sudah menunggu di kasir. Mataku kosong, pikiranku melayang entah ke mana, sampai tiba-tiba suara Bu Tina membuyarkan semua itu.
"Jam..! Enjam....! Pembeli sudah lama nunggu di kasir, kok kamu nggak dengar sih?" tegur Bu Tina dengan suara tajam.
Aku tersentak, terbangun dari lamunanku dan segera bergegas ke kasir. Pembeli itu tampak kesal, tapi aku hanya bisa meminta maaf dengan senyum canggung. Dalam hati aku tahu, hari ini aku tidak bisa fokus. Kenapa semua ini jadi begitu rumit?
Setelah pembeli pergi, aku kembali ke pekerjaanku. Tapi pikiranku tidak pernah benar-benar kembali. Aku terus memikirkan Pak Rendi. Bagaimana bisa dia melakukannya denganku tadi malam, tapi satu sisi aku merasakan jarak yang begitu jauh dengannya.
Menjelang siang, ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah satu, aku melihat sosok yang membuat hatiku kembali bergejolak. Pak Rendi datang... dengan Vera di belakangnya. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Seperti kemarin, Vera dibonceng oleh Pak Rendi. Aku merasa dadaku sesak melihat mereka berdua. Biasanya Vera datang tepat pukul satu untuk shift siang, tapi kali ini mereka datang lebih cepat, bersama-sama.
Pikiranku langsung dipenuhi oleh rasa cemburu yang tak terkendali. Kenapa Vera? Kenapa mereka begitu dekat? Semalam dia bersamaku, tapi hari ini, dia dengan mudahnya membawa Vera seolah-olah tidak ada apa-apa di antara kami. Aku mencoba menenangkan diri, tapi melihat mereka berdua membuat perasaanku makin kacau.
Kemarin Pak Rendi setelah mengantar Vera, ia langsung pergi. Tapi hari ini Pak Rendi dan Vera masuk ke gudang, Vera menyimpan tas dan jaketnya di loker. Aku memperhatikan dari kejauhan, tak bisa benar-benar menjauhkan pandangan. Kenapa aku merasa seolah aku kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kumiliki? Pikiranku terus bermain-main dengan perasaanku, membuat semuanya semakin rumit.
Saat Vera melihat kuku Pak Rendi yang sudah mulai panjang, ia berkata, "Kuku kamu udah panjang. Aku potongin ya." Vera lalu mengambil catut dari loker dan mulai memotong kuku Pak Rendi dengan hati-hati. Tangannya yang lembut menyentuh tangan Pak Rendi, dan aku merasa jantungku berdegup kencang. Apa mereka sudah sedekat ini? Rasanya seperti aku sedang menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya kulihat. Semalam dia bersama denganku, tapi hari ini, dia membiarkan Vera memperlakukannya dengan penuh perhatian.
"Ciieee... mesra banget, nih!" Suara Cecep yang baru datang tiba-tiba terdengar.
"Cocok banget kalian!" sambung Bu Tina, yang juga masuk ke gudang sambil tersenyum ke arah Pak Rendi dan Vera.
Dadaku semakin sesak. Apa ini hanya kebetulan? Atau Pak Rendi sengaja melakukan ini untuk membuatku cemburu?Aku tak bisa menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang dadaku. Tapi aku juga tidak bisa melakukan apa-apa. Aku bukan siapa-siapa. Hanya orang biasa yang kebetulan terlibat dalam sesuatu yang salah semalam. Apa aku berharap terlalu banyak?
Sambil Vera memotong kuku Pak Rendi, mereka berbincang ringan dengan tawa-tawa kecil. Seolah sedang pamer kemesraan di depanku. Sesekali mereka saling pandang dengan senyum tipis yang memperlihatkan kedekatan mereka. Setelah kegiatan potong kuku selesai, mereka berdua berjalan ke depan menuju meja kasir. Pak Rendi lalu pamit.Sampai akhirnya giliranku untuk istirahat makan siang tiba. Aku berjalan ke arah meja kasir tempat Vera berdiri. "Ver, aku istirahat dulu ya," kataku dengan suara yang berusaha setenang mungkin.
"Oh, iya, Zam. Silakan," jawab Vera dengan senyum manis. Senyum yang membuat perutku terasa berputar, bukan karena indah, tapi karena aku merasa dia tidak tahu apa yang terjadi di balik senyumnya itu.
Aku meninggalkan toko dan menyeberang jalan menuju warteg langgananku. Sesampainya di sana, aku disambut oleh senyum ramah Simbok penjaga warteg. "Mau makan sama apa?" tanyanya sambil mengambilkan piring untukku.
Aku hanya tersenyum tipis dan memesan makan seperti biasa. Nasi, sayur, dan ati ampela bumbu merah kesukaanku. Namun rasanya kali ini aku kurang berselera untuk makan, tapi aku harus tetap makan.
Aku duduk di depan etalase dengan berbagai macam menu warteg, mencoba menikmati makan siangku, tapi rasanya semuanya hambar. Kenapa hatiku terasa begitu sakit?Aku memikirkan Vera dan Pak Rendi. Bayangan mereka berdua terus menghantuiku, membuat setiap suapan terasa seperti beban. Apa semalam tidak berarti apa-apa bagi Pak Rendi? Apakah hanya aku yang merasa ada sesuatu Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, tanpa ada jawaban yang pasti.
Setelah selesai makan, aku kembali ke toko. Hari kerja berlanjut hingga sore. Aku mencoba fokus pada pekerjaan, tapi setiap detik terasa berat. Rasanya seperti ada awan gelap yang menggantung di atasku, membuat segalanya terasa lebih berat dari biasanya.
Saat waktu pulang tiba, aku mengambil keputusan yang berbeda. Biasanya, aku akan mampir ke cabang B23, menemui Pak Rendi seperti biasa. Tapi hari ini, aku tidak sanggup. Hatiku terlalu panas, terlalu cemburu. Aku tidak ingin melihatnya lagi hari ini. Aku takut hatiku akan semakin hancur.
Cemburu... Rasa itu menggerogoti hatiku, tapi aku tidak berhak untuk merasa begitu. Aku bukan siapa-siapa. Pak Rendi sudah memberikan perhatian yang lebih semalam, itu seharusnya sudah cukup bagiku. Tapi mengapa aku merasa ingin lebih? Apa aku salah berharap?
Dengan hati yang berkecamuk, aku memutuskan untuk langsung pulang. Langit sore terlihat muram, mencerminkan perasaanku yang gelap. Setiap langkah terasa berat, setiap pikiran terasa menusuk. Apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini?
Aku mengendarai motorku dengan perasaan yang melayang-layang. Entah apa yang sedang ku rasakan. Semua rasa campur aduk sekarang.Aku tahu, semalam mungkin hanya sesaat. Tapi kenapa hati ini terus berharap lebih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diskon Cinta Di Minimarket
RomanceWarning❗❗❗❗ Gay LGBTQ+ 18+ 21+++ 🔞🔞🔞 Mengandung adegan dewasa tanpa filter Harap bijak dalam memilih bacaan --------------------------------------------- Nizam telah lama menyimpan perasaan mendalam untuk Rendi, seorang rekan kerja yang telah men...