Aku menatap Vera dan Iyan sekali lagi. Mereka tertawa pelan penuh kehangatan, suaranya mungkin tak bisa kudengar, tapi jelas dari cara Vera memandang Iyan, ada sesuatu yang lebih dari sekedar pertemanan. Apa selama ini Vera hanya berpura-pura dekat dengan Pak Rendi? Untuk apa? Untuk membuat mantannya cemburu? Atau mungkin untuk sesuatu yang lebih egois? Aku tak tahu, dan bagian terburuknya adalah aku mungkin tak akan pernah tahu jika aku tidak berbuat apa-apa. Aku menahan nafas, mencoba meredakan badai yang mengamuk di dalam diriku.
Perutku, yang tadinya terasa kosong, kini diisi oleh rasa pahit dan pedih yang menyelinap tanpa ampun. Rasanya seperti terjebak di persimpangan jalan yang kabur. Apakah aku harus menghadapi Vera, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi? Ataukah aku harus diam, membiarkan kebenaran ini hancur sendiri? Motor di bawahku bergetar pelan, menunggu perintah untuk melaju kembali. Namun, kakiku seakan enggan bergerak. Aku hanya duduk di sana, menatap dua sosok di restoran itu, berharap ada penjelasan yang masuk akal atas apa yang kulihat. Tapi sepertinya tak ada jawaban yang bisa menenangkan hatiku malam ini. Angin malam yang tadi terasa menenangkan kini menjadi dingin dan menusuk. Aku menunduk, menghela nafas panjang, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan yang terus memburu.
Detik-detik terasa berjalan lambat, seperti waktu pun ikut mempermainkan perasaanku. Satu hal yang pasti, ini bukan akhir dari drama ini. Hati kecilku tahu, bahwa apa pun yang terjadi di sini akan membawa konsekuensi yang lebih besar nantinya. Dan aku, entah bagaimana, telah terjebak di tengahnya. Perutku kembali keroncongan, tapi anehnya, aku jadi tak ingin makanan berat. Rasanya ada beban tak kasat mata yang terus menekan dadaku. Di tengah kebingungan, mataku tertuju pada penjual jamur krispi di pinggir jalan. Mungkin camilan ringan bisa sedikit menenangkan. Aku membeli sebungkus jamur krispi, namun rasa tak enak itu tetap tak mau hilang. Bukannya membuatku tenang, justru rasa cemas semakin mencengkeram erat. Aku tak bisa terus menyimpan ini sendiri. Apa pun yang terjadi, Pak Rendi harus tahu. Bagaimana pun, dia berhak mengetahui apa yang sedang terjadi di belakangnya.
Dengan tangan gemetar, aku mengetik pesan. “Pak Rendi, di mana?” Pesan terkirim, dan tak lama kemudian balasannya datang. “Sedang beres-beres, mau tutup toko.” Jantungku berdetak lebih cepat. “Jangan pulang dulu, aku mau ke sana,” balasku. Tanpa pikir panjang, aku tancap gas, membawa motor melewati jalanan yang mulai sepi.
Sesuatu dalam diriku merasa berat, seolah apa yang akan kusampaikan nanti akan mengubah segalanya. Sesampainya di depan toko, semuanya sudah tutup. Lampu-lampu toko telah padam, hanya 1 lampu luar sengaja dibiarkan menyala untuk menerangi teras dan parkiran toko, dan hanya ada motor Pak Rendi yang masih terparkir di depan. Aku turun dari motor, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari keberadaannya.
Beberapa saat kemudian, aku melihatnya datang dari arah kanan toko, dari warkop tak jauh dari toko, dengan dua gelas cup kopi susu panas di tangannya. Kehadirannya terasa tenang, seolah dunia ini tak menyimpan apa-apa selain damai. Tapi bagiku, kedamaian itu tak lebih dari ilusi. “Ada apa?” tanya Pak Rendi sambil duduk di teras toko yang dingin dan sunyi. Dia memberikan salah satu gelas kopi susu padaku. “Ini buatku?” tanyaku, mencoba meredakan guncangan di hatiku. “Iya,” jawabnya singkat, tersenyum sedikit. Aku mengambil gelas itu dengan tangan yang dingin, namun rasa hangat dari kopi susu di genggamanku tak cukup untuk mengusir kedinginan yang menyelimuti hatiku.
Perlahan, aku meraih sebungkus jamur krispi yang tadi kugantungkan di motorku. Kami duduk di teras depan toko, sambil menyeruput kopi, aku tak bisa menahan lagi. “Coba tanya Vera sedang di mana. Tanyakan sekarang,” ucapku, suaraku bergetar meski aku berusaha terlihat tenang. Pak Rendi menatapku sebentar, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia menelepon Vera, namun panggilannya tak diangkat. Dia mencoba dengan pesan singkat. “Lagi di mana?” tulisnya. Jawaban yang datang tak lama kemudian membuat dadaku semakin bergemuruh. “Lagi di rumah saudara, ada acara keluarga, jadi nggak bisa angkat telepon, maaf ya.” tulis Vera. Aku menelan ludah, mencoba menahan diri agar tak meledak. Aku tahu dia sedang berbohong. Pak Rendi lalu menatapku, ekspresinya penuh tanda tanya. “Ada apa?” tanyanya lagi, lebih serius kali ini.
Tanpa berkata-kata, aku merogoh saku jaket dan menunjukkan foto yang tadi kuambil. Dengan jantung yang berdegup kencang, kutunjukkan gambar Vera yang sedang duduk bersama Iyan di restoran cepat saji. “Ini siapa?” tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. Pak Rendi memegang ponselku, menatap foto itu dalam-dalam. Ekspresinya sulit diterka. Dia tak berkata apa-apa, tak ada kejutan atau kemarahan. Hanya keheningan yang semakin menambah beban di hatiku. Dia menyeruput kopi susu di tangannya dengan tenang, seolah gambar yang kulihat itu hanyalah foto biasa, tak ada makna yang lebih dalam.
Aku berharap dia akan mengatakan sesuatu, memberikan penjelasan, atau bahkan marah. Tapi dia tetap diam. Waktu terasa melambat, dan suara angin malam yang menggigil semakin mengisi ruang kosong di antara kami. Aku meletakkan bungkus jamur krispi di lantai. Dia mengambil satu potong, dan mulai memakannya. Aku pun mengikuti, mencoba menelan sepotong jamur krispi yang terasa hambar, sama sekali tak berasa di lidahku. Kopi susu yang kurasakan seolah menjadi cairan pahit yang tak mampu menenangkan hati yang berkecamuk. Hanya keheningan yang menyelimuti kami. Di balik senyum dan tatap mata Pak Rendi, aku tahu ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang ia enggan untuk diungkapkan.
Hatiku bergejolak. Ingin rasanya meneriakkan segala amarah yang kupendam. Tapi aku hanya bisa diam, menelan semuanya dalam kesunyian. Aku menatap langit malam yang pekat, mencoba mencari jawaban di antara bintang-bintang yang bersinar samar. Apakah aku salah telah menunjukkan foto itu? Apakah aku telah menghancurkan sesuatu yang tak bisa diperbaiki lagi? Atau mungkin, aku hanya membuka kebenaran yang memang sudah ada di depan mata, namun selama ini diabaikan? Pak Rendi menyeruput kopi susunya lagi, namun tak ada kata yang keluar. Aku ingin dia mengatakan sesuatu, apapun, untuk menghapus rasa hampa yang mulai menggerogoti diriku. Tapi dia hanya tersenyum kecil, seperti mengatakan, “Sudahlah, semuanya baik-baik saja.”
Padahal, di dalam diriku, aku tahu tak ada yang baik-baik saja. Malam terus berlalu, ditemani jamur krispi yang perlahan habis dan kopi susu yang mulai tinggal ampasnya. Dan di sanalah kami, duduk di teras toko yang sepi, seolah dunia ini hanya milik kami berdua, namun masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku mencoba memahami, tapi hati ini terlalu lelah.
Mungkin, malam ini aku hanya perlu menerima bahwa ada hal-hal yang tak bisa aku ubah, tak peduli seberapa keras aku berusaha. Satu yang sungguh ingin ku tahu, apa yang kini dirasakan Pak Rendi. Tapi aku tetap tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diskon Cinta Di Minimarket
RomanceWarning❗❗❗❗ Gay LGBTQ+ 18+ 21+++ 🔞🔞🔞 Mengandung adegan dewasa tanpa filter Harap bijak dalam memilih bacaan --------------------------------------------- Nizam telah lama menyimpan perasaan mendalam untuk Rendi, seorang rekan kerja yang telah men...