BAB 8 - Rahasia Terungkap

22 1 0
                                    

Hari ini adalah hari liburku yang ditunggu-tunggu. Dalam seminggu, ada satu hari di mana aku akhirnya mendapatkan kesempatan untuk merasakan sedikit kebebasan. Aku ingin istirahat, bukan hanya dari pekerjaan, tapi dari segala sesuatu yang telah menguras energi dan emosiku. Ini adalah hariku untuk sepenuhnya bersantai, meresapi keheningan, dan membiarkan pikiran melayang tanpa beban.

Pagi dimulai dengan kabut samar yang membelai lembut melalui jendela kamar. Aku terbangun dengan perasaan kosong yang menyenangkan, sebuah ruang hampa di dalam hati yang terasa seperti oase di tengah gurun pasir. Aku mengulurkan tangan ke samping tempat tidur, meraba-raba untuk mematikan alarm yang tergeletak di meja samping. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, dan aku mengabaikan segala jenis kewajiban. Hari ini adalah tentang diriku sendiri.

Aku melangkah malas dari tempat tidur, kakiku menyentuh dinginnya lantai. Tubuhku terasa berat, seperti berusaha keluar dari lapisan selimut yang membungkusku dengan kelembutan. Dengan langkah lambat, aku menuju ke dapur. Aroma kopi yang mulai diseduh mengisi udara, menyapa mataku dengan kehangatan yang bersahaja.

Setelah membuat secangkir kopi, aku duduk di kursi dapur yang nyaman, menyandarkan punggung pada sandaran dan meneguk kopi yang masih panas. Tidak ada yang perlu dipikirkan hari ini. Tidak ada debu yang harus dibersihkan dari rak dan barang-barang pajangan. Tidak ada konsumen yang harus dilayani transaksi pembeliannya. Hanya aku dan kopi, saling menemani dalam kesunyian.

Siang hari, lapar perlahan menggerogoti perutku. Aku menyadari bahwa sudah saatnya untuk mengisi perut dengan makanan. Aku memilih untuk keluar sejenak dan pergi ke warteg di seberang jalan, tempat yang sederhana namun nyaman, untuk membeli nasi. Aku berjalan dengan langkah malas, menghindari tatapan mata orang-orang di sekitar. Semua terasa jauh, seolah aku berada dalam gelembung yang memisahkan diriku dari dunia luar.

Di warteg, aku membeli seporsi nasi dengan lauk sederhana—sepotong ayam goreng dan sayur kangkung. Makanan ini tidak ada yang istimewa, tetapi cukup untuk memuaskan kebutuhan fisikku. Kembali ke rumah, aku menyantap makan siang sambil menonton televisi, tanpa memperhatikan program yang sedang tayang. Momen itu terasa seperti ritual, sebuah pelarian dari realitas yang sering kali menghimpit.

Setelah makan, aku meneguk secangkir teh tawar panas, sungguh nikmat. Seletah itu, aku kembali ke kamar, merasakannya sebagai tempat pelarian terakhirku dari dunia luar. Aku menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur, menikmati keleluasaan yang jarang kurasakan. Mataku menutup, dan aku membiarkan diri tenggelam dalam tidur siang yang panjang. Rasa malas dan kepenatan menguasai tubuhku, menjadikannya seolah aku mengambang di antara mimpi dan kenyataan.

Terkadang, aku terbangun dalam keadaan setengah sadar, memandang sekeliling kamar yang sunyi. Langit di luar jendela mulai memudar menjadi rona jingga saat matahari mulai merunduk, aku memilih untuk menutup mata kembali dan membiarkan pikiranku melayang tanpa arah.

Hari ini, aku tidak perlu memajang barang di rak, tidak perlu berhadapan dengan konsumen judes, dan tidak ada tanggung jawab yang harus dipenuhi. Ini adalah hari di mana aku merasa seperti bintang yang tak beranjak dari orbitnya, diam dan tenang di tengah kosmos yang luas. Aku membiarkan diriku hanyut dalam perasaan tenang ini, seolah seluruh dunia di luar sana tidak ada.

Saat malam tiba, aku duduk di sofa dengan lampu redup membiarkan diriku tenggelam dalam perenungan. Pikiran-pikiranku berkisar pada berbagai hal—mulai dari masa lalu yang penuh kesalahan, hingga masa depan yang tak pasti. Hari ini adalah hari tanpa resolusi, tanpa harapan yang harus dipenuhi, hanya hari untuk beristirahat dan membiarkan perasaan mengalir.

Ketika hari mulai beranjak larut, aku kembali ke tempat tidur. Aku membungkus diri dalam selimut, menikmati kehangatan yang menenangkan, dan membiarkan diriku melayang ke dalam tidur malam yang penuh damai. Hari ini telah berlalu dengan lambat dan tenang, seperti aliran sungai yang tak pernah terburu-buru.

Di dalam hening malam, aku akhirnya menemukan ketenangan yang kucari. Hari ini adalah tentang diriku—tentang memberi ruang bagi jiwaku untuk bernafas, tanpa harus memikirkan apapun. Ini adalah pelarian kecilku dari kenyataan, sebuah oasis dalam padang gurun kehidupan yang sering kali kering dan penuh tantangan.

Namun tiba-tiba kurasakan perutku bernyanyi keroncongan, seperti ada lubang yang mendesak untuk segera diisi. Sepertinya makanan tadi siang sudah habis dicerna perutku. Rasa lapar perlahan-lahan muncul kembali menjadi sinyal bahwa tubuhku memerlukan sesuatu yang bisa kumakan. Aku bangkit dari tempat tidur, mengenakan jaket, dan meraih helm. Mungkin sekalian untuk sekedar jalan-jalan malam, mencari makanan pinggir jalan, mulai terasa menarik. Mungkin sedikit angin malam akan membantu menenangkan hatiku yang masih bergulat dengan berbagai emosi.

Aku menyalakan motorku, dan suara mesinnya yang bergetar di bawahku terasa seperti satu-satunya hal yang pasti malam ini. Aku memacu motor perlahan, meresapi udara dingin yang menerpa wajahku, mencoba untuk melebur dalam keheningan malam yang mulai larut. Jalanan tampak lengang, hanya ada satu dua kendaraan yang melaju, dengan lampu-lampu jalanan yang redup menemani sepanjang perjalanan. Mataku mencari-cari jajanan pinggir jalan—nasi goreng atau apapun yang bisa segera mengisi perutku. Tapi entah kenapa, tak satu pun yang menarik minatku.

Aku terus melaju tanpa tujuan jelas. Restoran dan tempat makan yang kulewati satu per satu tak ada yang membuatku ingin berhenti. Ada perasaan yang sulit dijelaskan, seperti aku sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekedar makanan. Mungkin ketenangan. Mungkin jawaban atas perasaan cemburu yang terus membayangiku sejak beberapa hari terakhir.

Saat melewati beberapa restoran cepat saji, aku mulai berpikir untuk berbalik arah dan pulang. Tapi tiba-tiba, pandanganku tertuju pada sebuah restoran di pinggir jalan. Bukan karena menunya, bukan karena lampunya yang terang, melainkan dua sosok yang duduk saling berhadapan di meja di depan restoran itu. Sejenak, hatiku terasa berhenti berdetak. Itu Vera, dan Iyan—mantannya yang bekerja di cabang B21.
Vera hari ini memang shift pagi, sehingga sorenya sudah bisa pulang. Ternyata malamnya ketemuan sama mantan.

Aku menghentikan motorku perlahan di pinggir jalan, memilih tempat yang cukup tersembunyi agar mereka tidak bisa melihatku. Dari jarak ini, aku bisa melihat mereka berbicara. Vera tersenyum pada Iyan, senyum yang pernah kulihat ia berikan pada Pak Rendi. Hatiku tiba-tiba diselimuti kabut gelap. Ada rasa yang aneh, meski aku tahu itu bukan tempatku untuk merasa begitu.

Aku merogoh ponsel di saku jaket, tanganku gemetar. Aku tak tahu apa yang mendorongku untuk memotret mereka. Mungkin sebagai bukti. Mungkin sebagai senjata. Tapi untuk apa? Untuk siapa? Jari-jariku bergerak, menekan tombol kamera, memotret mereka yang masih asyik berbincang. Hasil fotonya kabur, namun cukup jelas untuk mengenali siapa mereka.

Hatiku bergejolak. Di satu sisi, aku merasa ini adalah hukuman bagi Vera. Mungkin dia hanya memanfaatkan Pak Rendi untuk memanas-manasi mantannya, agar Iyan kembali padanya. Tapi di sisi lain, aku merasa iba pada Pak Rendi. Dia, yang selama ini kuanggap serius dengan Vera, mungkin tak tahu bahwa wanita itu masih berhubungan dengan masa lalunya. Ini akan sangat menyakitkan baginya.

Perasaan yang bercampur aduk membuat dadaku terasa sesak. Haruskah aku memberitahukan ini kepada Pak Rendi? Atau haruskah aku membiarkannya? Benar-benar tak tahu harus merasa apa—bahagia karena Vera mungkin tak sungguh-sungguh dengan Pak Rendi, atau sedih karena ini akan menghancurkan Pak Rendi.

Sebuah bagian dari diriku ingin merasa lega. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mendekat lagi pada Pak Rendi, tanpa harus cemburu pada Vera. Tapi perasaan itu cepat hilang, tenggelam oleh rasa bersalah yang mulai menjalar. Seolah aku juga berperan dalam drama ini, menjadi saksi bisu dari kebohongan yang sedang dipertontonkan.

Diskon Cinta Di MinimarketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang