Pak Rendi menutup pintu dan menguncinya dengan suara yang tegas, menciptakan aura ketegangan di sekitar kami. Kami berdiri berhadapan, saling bertatapan. Aku memandang setiap inci wajahnya yang tampan dan menawan. Setiap detailnya tampak sempurna, tetapi tatapannya mengandung sesuatu yang menakutkan—seperti harimau yang siap menerkam mangsanya.
Aku terpaku pada bibirnya, yang tampak seperti buah ranum yang siap dipetik. Keinginan untuk mencium bibirnya begitu kuat dan menggoda, membuatku bertanya-tanya apakah aku bisa memilikinya. Dalam lamunanku yang penuh hasrat, aku hampir kehilangan kesadaran.
Namun, tiba-tiba, aku merasakan sentuhan Pak Rendi. Kedua tangannya kuat memegang pundakku, membalikkan tubuhku dengan cepat sehingga aku bersandar pada dinding dan membelakanginya. Aku bisa merasakan napasnya di tengkukku, semakin meningkatkan ketegangan yang mengalir dalam diriku.
Dengan suara berbisik, Pak Rendi mengucapkan perintah yang mengejutkanku, “Nungging! Buka celana!”
Hatiku berdebar kencang, tetapi tubuhku bergerak seperti terprogram, mengikuti perintahnya. Aku perlahan menurunkan celanaku dan mengangkat sedikit tulang ekorku, terhanyut dalam campuran rasa takut dan hasrat yang memenuhi ruangan.
Ku dengar suara sabuk yang berderit, dan seketika aku merasakan sesuatu yang tak terduga menerobos masuk ke lubang belakangku. Aku hanya bisa pasrah, merasa seperti daun yang tertiup angin pada musim gugur. Ketika batang kejantanan itu mulai menyelinap, aku merasakan rasa panas dan dingin yang membakar setiap serat tubuhku. "Ah," aku mendesah, terjebak dalam perasaan campur aduk antara rasa sakit dan kenikmatan yang luar biasa.
Gerakan Pak Rendi mulai teratur dan berirama, setiap dorongannya seperti gelombang yang menggulung pantai. Batangnya terus menembus, menghujam ke dalam tubuhku seperti pedang yang menancap dalam-dalam. Setiap gerakan menghantam, menembus dan merangsang titik-titik sensitif di tubuhku yang membuatku melenguh penuh gairah. Rasanya seperti aliran lava panas yang mengalir melalui nadi-nadiku, memanaskan setiap inci tubuhku.
Aku merasakan kenikmatan yang tak terungkapkan, seperti air terjun yang membanjiri lembah yang kering. Setiap gerakan Pak Rendi menggugah perasaan dalam diriku, membawa aku ke ambang batas antara kesadaran dan kehilangan diri. Aku mulai memainkan batangku dengan penuh gairah, naik turun seperti ombak yang menghantam karang, hampir mencapai puncak yang kucari.
"Ah!" Aku melenguh, melepaskan cairan yang memancar dengan kuat. Cairan itu menembus udara dan membasahi dinding toilet, seperti hujan deras yang mengguyur tanah kering yang sudah lama menunggu.
Gerakan Pak Rendi menjadi lebih cepat, berubah menjadi arus deras yang melawan laju waktu. Setiap dorongannya semakin memuncak, seperti badai yang menembus langit. "Ah!" Pak Rendi melenguh, suaranya bergema seperti suara petir yang menggelegar di kejauhan. Pak Rendi menekankan pahanya kuat-kuat pada pantatku. Aku merasakan cairan hangat dari batang Pak Rendi memenuhi tubuhku, seperti aliran sungai yang penuh mengisi waduk, menekan kuat pada setiap sudut tubuhku.
Setelah rasa nikmat itu mencapai puncaknya, Pak Rendi mencabut batangnya. Ia lalu mencucinya, bergerak dengan ketenangan yang kontras dengan kekuatan sebelumnya. Lalu ia membuka kunci pintu dan melangkah keluar, meninggalkanku dalam kondisi setengah bingung. Aku menutup pintu dan menguncinya, seperti menutup babak gelap dari sebuah buku yang penuh dengan drama dan ketegangan.
Detik-detik berlalu dengan aku yang berdiri sendiri dalam kesunyian. Tubuhku terasa berat, dipenuhi dengan jejak-jejak dari pertemuan yang baru saja berlalu. Aku membersihkan tubuhku, mencuci batang dan pantatku. Cairan yang tersisa di dinding toilet pun kubersihkan, seperti menghapus jejak dari cerita yang telah berlalu, meninggalkan ruang yang bersih dan hening.
Wajah dan tatapanku kosong seperti refleksi mendalam tentang apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti aku baru saja keluar dari labirin emosional yang rumit, dan kini, di hadapan ku, hanya ada kesepian yang menggema. Aku berdiri, mengumpulkan kembali diriku, meresapi setiap sensasi yang baru saja berlalu, dan mencoba untuk mengembalikan ritme normal hidupku.
Setelah segala sesuatu berakhir, aku merasa seperti sedang berada di ujung jurang emosional. Tanganku yang gemetar meraih celanaku, yang sejak tadi terkatung di lututku. Dengan langkah yang berat dan tidak pasti, aku mengangkatnya kembali ke tempat semestinya. Rasanya seperti seluruh dunia berputar di sekelilingku, sementara aku hanya berdiri di tengah pusaran yang tak berujung. Aku membuka kunci toilet dengan jari-jari yang terasa dingin dan kaku, lalu membuka pintu dengan hati-hati, seolah-olah setiap gesekan pintu tersebut bisa memecah kesunyian yang membelenggu pikiranku.
Ketika aku melangkah keluar dari toilet, perasaan campur aduk menyergapku. Rasanya seperti baru saja keluar dari mimpi yang penuh dengan warna dan sensasi, dan kini aku harus menghadapi kenyataan yang dingin dan tak terduga. Apakah semua ini nyata? Apakah aku benar-benar telah melakukannya dengan Pak Rendi? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar-putar di kepalaku, seperti angin ribut yang mengamuk di lautan yang bergelora. Apakah baginya, ini hanya pemenuhan kebutuhan biologis semata, tanpa adanya perasaan seperti yang kurasakan?
Wajahku terasa seperti kanvas kosong yang terlukis dengan ekspresi kebingungan dan kekacauan. Dengan langkah yang terasa berat dan lambat, aku melangkah menuju ruang depan. Tatapanku kosong, seolah-olah aku sedang berada dalam dunia yang tidak dikenal. Aku melihat Pak Rendi duduk di kursinya tenggelam dalam rutinitasnya. Wajahnya terlihat serius, tenggelam dalam kesibukan yang tampaknya tak terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Sementara itu, Dadang melayani pelanggan di meja kasir 1 dengan penuh konsentrasi, antrian pembeli yang cukup panjang menunjukkan kesibukan malam ini.
Setiap langkahku menuju Pak Rendi terasa seperti melintasi medan yang berat dan penuh kesulitan. Aku merasa seperti berada di jantung badai emosional, berusaha menemukan pijakan di tengah kekacauan. Aku akhirnya berdiri di samping Pak Rendi, yang masih menatap layar komputer dengan fokus yang tak tergoyahkan. Ia menoleh sejenak, tatapannya melintas di wajahku, namun tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Sejenak, tatapan kami bertemu, namun hanya sekejap. Lalu, ia kembali menatap layar, seolah-olah layar itu adalah jendela ke dunia yang jauh lebih penting daripada apa yang terjadi di sekelilingnya.
Aku berdiri di sana, terdiam dalam kebingungan. Pikiran-pikiranku seperti puing-puing yang beterbangan di tengah angin, tidak tahu arah dan tujuan. Aku masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti berjam-jam. Seolah-olah aku terjebak dalam ruang waktu yang melambat, di mana setiap detik penuh dengan perasaan yang tak tertentukan dan rasa tidak yakin.
Tak terasa, waktu berlalu dan jam menunjukkan pukul sembilan malam. Saatnya untuk membereskan toko dan menutupnya. Suasana di toko berubah menjadi kesibukan malam yang biasa, dengan Pak Rendi dan Dadang mulai bergerak untuk menurunkan banner, melipatnya, dan mengurus hal-hal lain yang perlu diselesaikan. Sementara mereka bekerja dengan ritme yang tenang dan teratur, aku masih tenggelam dalam lautan lamunan. Setiap gerakan mereka tampak seperti bagian dari simfoni yang terpisah dari pengalaman pribadi yang baru saja ku alami.
Pak Rendi akhirnya memanggilku dengan nada yang tenang namun tegas, meminta bantuan untuk menutup toko. Suaranya seperti alunan nada yang mengingatkan aku pada kenyataan, membawa kembali ke dalam dunia yang aku coba lupakan. Malam ini terasa sangat aneh, penuh dengan ribuan pertanyaan yang mengganggu dan kebingungan yang mendalam. Setiap detik berlalu dengan beban yang semakin berat, seolah-olah setiap langkah yang kutempuh membawa aku lebih dalam ke dalam labirin emosional yang tak berujung.
Ketika aku membantu Pak Rendi dan Dadang membereskan toko, aku merasakan setiap detik sebagai perjalanan yang penuh dengan gejolak jiwa. Setiap tugas yang kulakukan tampak seperti ritual yang membantuku meredakan kekacauan di dalam hatiku. Namun, tidak peduli seberapa keras aku berusaha, perasaan campur aduk yang ku rasakan tetap ada, seperti bayangan gelap yang mengikuti langkahku.
Malam semakin larut, dan toko akhirnya siap untuk ditutup. Aku merasa seperti kapal yang terombang-ambing di lautan yang gelap, mencari arah di tengah kegelapan. Ketika semua sudah selesai, Pak Rendi dan Dadang mulai berpamitan. Aku berdiri di sudut toko, menatap mereka dengan rasa hampa yang mendalam. Semua pertanyaan yang mengganggu pikiranku tetap tidak terjawab, seolah-olah aku berada dalam teka-teki yang tidak memiliki solusi. Malam ini, aku meninggalkan toko dengan perasaan kosong, membawa serta ribuan pertanyaan dan kebingungan yang belum terpecahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diskon Cinta Di Minimarket
RomanceWarning❗❗❗❗ Gay LGBTQ+ 18+ 21+++ 🔞🔞🔞 Mengandung adegan dewasa tanpa filter Harap bijak dalam memilih bacaan --------------------------------------------- Nizam telah lama menyimpan perasaan mendalam untuk Rendi, seorang rekan kerja yang telah men...