Pak Rendi kemudian bangkit dan menaiki motornya dalam diam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, hanya tatapan kosong yang terlihat sebelum ia melaju pergi, meninggalkanku yang masih duduk di teras toko. Bunyi mesin motor yang semakin jauh seolah menggema di dadaku, mengisi kekosongan yang tiba-tiba menyeruak.
Aku bisa merasakan serpihan perasaan Pak Rendi yang terjatuh di sepanjang jalan yang ia lalui. Setelah semua yang ia lalui, melihat foto itu mungkin telah menghancurkan hatinya lebih dari yang bisa kubayangkan. Aku tahu perih yang ia rasakan. Bahkan, rasa sakit itu terasa menguap dari kepergiannya, memenuhi udara dengan kesedihan yang tak terucapkan. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin mengecil di kejauhan, sambil berharap ada sesuatu yang bisa kulakukan, tapi tak ada. Hanya keheningan yang menjadi saksi.
Hari berikutnya, aku kembali ke rutinitas. Aku masuk kerja shift siang. Hari ini aku tahu aku tidak akan bisa melihat Pak Rendi. Dia libur, dan entah kenapa, ada rasa hampa yang tak bisa kuabaikan. Seperti ada ruang kosong yang tidak bisa diisi meski aku terus bergerak dari satu tugas ke tugas lain. Memajang barang, membersihkan rak, melayani pelanggan—semuanya terasa mekanis, seperti rutinitas yang kuselesaikan tanpa jiwa. Aku bergerak, tapi hatiku tertinggal di belakang.
Hari-hari berlalu tanpa ada kabar dari Pak Rendi. Aku tidak berusaha menghubunginya, dan juga tidak ada pesan darinya. Setiap hari tanpa dia, seolah menambahkan beban pada pundakku, membuatku merasa semakin tersesat di dalam labirin perasaanku sendiri. Aku seolah memberi dia waktu untuk menyelesaikan dulu urusannya dengan Vera. Ketika aku bertemu Vera di toko, aku hanya berbicara seperlunya.
Tidak ada percakapan tentang Pak Rendi, tidak juga tentang Iyan. Hanya tentang pekerjaan. Aku tidak mau terlibat lebih jauh dalam urusan yang bukan milikku. Tapi, jauh di dalam hati, ada sesuatu yang terus menggelitik, seperti bisikan halus yang menanyakan apakah yang terjadi antara Vera dan Pak Rendi sudah selesai, atau justru baru saja dimulai.
Namun, aku memilih diam. Diam adalah perlindungan, tembok yang kubangun untuk menjaga hatiku dari keterpurukan lebih jauh. Meski di setiap senyum yang kutunjukkan pada pelanggan, di setiap langkah yang kuambil di toko, ada kepingan kecil diriku yang hancur, seperti kaca yang retak perlahan namun pasti. Aku mencoba menjalani hari seperti biasa, tapi setiap detik tanpanya terasa seolah ada sesuatu yang hilang.
Dan aku bertanya-tanya, berapa lama lagi aku bisa bertahan dalam perasaan yang tak bernama ini?
***
Setelah beberapa hari kemarin aku shift siang, hari ini aku kebagian shift pagi. Waktu berjalan seperti biasa dengan semua pekerjaanku di toko. mengurus barang dan melayani konsumen. Sampai tiba sore hari waktunya aku pulang, aku coba chat Pak Rendi, "Pak hari ini shift apa?" "Shift siang." Jawabnya singkat seolah dia sudah tahu inti dari pertanyaan itu. Seperti biasa, ketika Pak Rendi masuk siang, aku akan menemani dia sampai tutup toko. Ada kebahagiaan tersendiri bisa menghabiskan waktu bersamanya, meski tanpa status yang jelas.
Rasanya, aku tak butuh apa-apa lagi selain ini—sekadar berada di dekatnya, mendengar suaranya, dan merasakan kehadirannya cukup membuatku tenang. Aku tahu, hubungan kami abu-abu, tak ada kejelasan yang pasti. Tapi, mungkin memang tak perlu ada kata atau status. Yang penting, aku bisa terus di sisinya.
Ku parkirkan motor di depan toko, lalu menghampiri Pak Rendi yang sedang duduk di kursinya. Ia tak menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang. Aku tak menyapanya. Kami berdua diam tanpa kata. Aku bingung harus berkata apa.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya Pak Rendi memecah keheningan itu, ia tiba-tiba bercerita bahwa ia memutuskan untuk menemui Vera beberapa hari yang lalu saat ia libur kerja. Dia menelponnya, lalu mengatur pertemuan di sebuah kafe. “Dia ngaku... Dia bilang, dia balikan sama Iyan karena masih sayang,” Pak Rendi bercerita dengan nada yang datar, seperti mencoba meredam emosi yang bergemuruh di dalam dirinya. "Dan selama ini, dia deketin aku cuma buat bikin Iyan cemburu." Kalimat itu terasa seperti pukulan keras yang menghantam dada.
Aku tak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Di satu sisi, aku marah—bukan hanya karena Vera telah mempermainkan perasaan Pak Rendi, tapi juga karena aku tahu rasa sakit ini tak hanya akan berhenti di sini. Di sisi lain, ada rasa lega yang samar. Mungkin, ini adalah akhir yang sudah kutunggu, kesempatan bagi Pak Rendi untuk melihat kenyataan. “Tapi aku nggak bisa marah sama dia,” lanjut Pak Rendi. "Dia jujur, meskipun itu sakit banget buatku."
Aku tak tahu harus mengatakan apa. Melihatnya duduk di sampingku, dengan mata yang kosong dan senyum getir, membuatku semakin terluka. Aku ingin sekali merengkuhnya, memberitahunya bahwa aku ada di sini untuknya, tapi aku tahu ini bukan saatnya. Pak Rendi sedang patah hati, dan apapun yang terjadi setelah ini, aku tak ingin dia melihatku sebagai pelarian. Selesai Pak Rendi bercerita, aku tak banyak berkomentar, aku takut salah bicara.
Aku juga bingung apakah harus senang atau sedih. Suasana kembali sepi. Hanya terdengar suara langkah Dadang di sudut toko sedang memajang barang.Tiba-tiba, terdengar suara motor, lalu pintu toko terbuka, dan seseorang masuk. Dia lalu berjalan ke arah Dadang yang sedang sibuk merapikan barang di sudut toko. Mereka terlihat berbincang-bincang, namun terlalu pelan untuk bisa kudengar. Tapi gerak tubuh dan ekspresi wajahnya terlihat berbeda. Mereka terlihat sangat dekat. Atau lebih tepatnya mesra.
Aku seolah menemukan topik baru untuk mengalihkan obrolan yang berat tadi. “Siapa tuh, Pak?” tanyaku berbisik sambil menatap pria itu dengan penuh rasa penasaran. Pak Rendi mengalihkan pandangannya dari daftar barang yang sedang ia cek, lalu melirik pria tersebut. "Oh, dia karyawan minimarket juga. Tapi beda area sama kita, dia di Area B1, di bawah supervisornya Pak Beni.
Namanya Pak Didi." Dada rasanya langsung tersentak. Pak Didi? Seketika aku teringat ucapan Bu Tina beberapa waktu lalu. "Hati-hati sama yang namanya Pak Didi," katanya waktu itu dengan nada setengah berbisik. "Dia belok. Suka cowok. Denger-denger dia suka cari 'mangsa' karyawan minimarket yang masih muda. Kalo ada yang ganteng, dia bakal deketin buat diajak kencan. Kamu harus hati-hati."
Saat itu, aku hanya mengangguk-ngangguk tanpa banyak komentar. Bu Tina mungkin tak tahu kalau aku sendiri juga suka cowok. Tapi yang jelas Pak Didi bukan tipeku. Sekilas kulirik pria itu lagi. Tidak, aku sudah punya Pak Rendi. Hatiku sudah sepenuhnya untuknya. Tapi... kenapa dia ada di sini?
Pak Rendi melanjutkan pekerjaannya, tampak tak terlalu peduli. Namun, hatiku tak tenang. Aku berusaha tetap santai, tapi saat Pak Didi berbalik dan mulai melangkah keluar, pandangan kami bertemu. Tatapan matanya... tajam, penuh arti, seolah dia sedang menilai sesuatu dari diriku.
Aku menelan ludah, merasa canggung. Apa dia sedang menatapku? Rasanya seperti tubuhku kaku seketika, terserang perasaan takut yang tak bisa dijelaskan.
Apakah aku salah satu 'mangsanya'? Tapi di sisi lain, ada rasa aneh. Apa aku masuk kriterianya? pikirku dengan perasaan campur aduk. Jangan kegeeran, Nizam. Tapi, aku kan lumayan manis. Hehe..
KAMU SEDANG MEMBACA
Diskon Cinta Di Minimarket
RomanceWarning❗❗❗❗ Gay LGBTQ+ 18+ 21+++ 🔞🔞🔞 Mengandung adegan dewasa tanpa filter Harap bijak dalam memilih bacaan --------------------------------------------- Nizam telah lama menyimpan perasaan mendalam untuk Rendi, seorang rekan kerja yang telah men...