BAB 7 - Ulang Tahun Vera

18 1 0
                                    

Pagi itu, notif dari WhatsApp yang biasanya sepi tiba-tiba saja berbunyi beberapa kali. Aku sedang duduk di kasur, masih setengah mengantuk setelah malam yang panjang dan penuh dengan pikiran yang tak menentu. Semalam, bayangan Pak Rendi dan Vera terus mengusik tidurku. Rasa bingung dan cemas masih menggantung di udara seperti kabut tebal yang tak mau pergi.

Saat aku melihat notifikasi di layar, ada grup baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya: “Surprise Vera.” Grup ini hanya berisi Bu Tina, Cecep, Pak Rendi, dan aku. Aku membuka obrolan itu dengan rasa penasaran.
Bu Tina: "Guys, ini grup khusus buat kita rencanain surprise ulang tahun Vera. Jangan sampai dia tahu ya, hehe."
Cecep: "Wah, seru nih! Ada rencana gimana, Bu?"

Bu Tina: "Rencananya, nanti Pak Rendi nggak jemput Vera seperti biasanya, biar Vera bingung. HP Pak Rendi nanti juga bakal dimatikan biar Vera nggak bisa hubungi dia."

Aku membaca pesan itu dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Vera dan Pak Rendi. Lagi-lagi, kedekatan mereka terus menghantuiku. Apalagi sekarang ini tentang ulang tahun Vera—momen spesial yang mereka buat bersama, dan aku? Aku cuma penonton yang tak pernah punya peran penting.
Bu Tina: "Nah, nanti jam 9 malam, pas toko mau tutup, Pak Rendi bakal datang bawa kue ulang tahun buat kejutan. Keren kan? Hehehe."

Cecep: "Asik! Terus kita nyanyiin lagu ulang tahun deh. Pasti Vera bakal terharu."

Pak Rendi: "Nizam, nanti sore pulang kerja, motor biarin aja di toko, kamu naik ojol ke cabang B23, nanti biar saya yang bayar ojolnya. Nanti Kamu bantu bawain kue, soalnya kalau saya sendiri bawa di motor, agak repot."

Dadaku terasa sesak saat membaca pesan dari Pak Rendi. Di satu sisi, aku ingin menolak. Aku tak ingin terlibat dalam semua ini—dalam momen kemesraan yang bukan milikku. Tapi, bagaimana mungkin aku menolak? Bagaimana aku bisa mengelak permintaan dari Pak Rendi, meski itu berarti aku harus menyaksikan mereka lebih dekat lagi?

Dengan hati yang berat, aku mengetik balasan.
Aku: "Oke, Pak. Nanti sore ke sana."

Sepanjang hari, pikiranku melayang-layang. Aku bekerja seperti robot, mengangkat barang-barang di rak, membersihkan debu, tapi tak benar-benar berada di sana. Di pikiranku, aku terus memikirkan apa yang akan terjadi malam ini. Bagaimana aku akan berdiri di samping Pak Rendi, membawa kue ulang tahun untuk Vera, sementara di hatiku, ada luka yang menganga, penuh dengan cemburu dan rasa tak berdaya.

Ketika siang tiba, Vera datang sendiri. Sesekali Vera bergumam, "Kenapa Pak Rendi hapenya mati ya. Ada yang tau?" Kami semua pura-pura tidak tahu.
Saat istirahat siang, aku merasa tidak ingin bicara dengan siapa pun. Vera seperti biasa tersenyum padaku saat aku pamit untuk makan siang, tapi senyum itu hanya menambah beban di hatiku. Kenapa harus Vera? Kenapa bukan aku yang mendapatkan perhatian itu dari Pak Rendi?

Aku pergi ke warteg di seberang, seperti biasa. Simbok penjaga warteg menyapaku ramah, tapi aku hanya bisa membalas dengan senyum tipis. Makananku terasa hambar, seperti cermin dari hatiku yang terasa hampa dan tak ada gairah. Pikiranku terus melayang ke arah Vera dan Pak Rendi, ke kejutan yang akan terjadi malam ini. Kenapa aku harus ikut dalam semua ini? Kenapa aku harus jadi saksi dari kebahagiaan yang seharusnya tidak aku rasakan?

Jam terus bergerak lambat, dan akhirnya, setelah menuntaskan pekerjaanku, sore aku keluar dari toko. Aku pergi menuju cabang B23 naik ojol, seperti kesepakatan.
Saat aku tiba di cabang B23, perasaan aneh menghantamku. Jam masih menunjukkan pukul lima sore, dan suasana di toko sepi. Dadang sibuk memajang barang di rak. Sementara Pak Rendi sedang duduk di belakang meja kasir, tangannya sibuk dengan layar komputer di depannya. Tapi kali ini, aku merasa ada jarak yang tak terlihat, sesuatu yang sulit aku pahami, sesuatu yang semalam mungkin seharusnya mengubah segalanya, tapi malah membuatku semakin tak mengerti.

Diskon Cinta Di MinimarketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang