08. PERIHAL LUKA

62 27 46
                                    

Hallo

Gak kerasa udah up lagi

Lama atau cepet sih menurut kalian?

Semoga selalu suka sama alur cerita ini💓

08. PERIHAL LUKA

"Atau aku pulang ke atas sana aja, ya? Langit, menurut kamu, kalau aku pulang ke atas sana, apa Kakak sama Bunda akan berbahagia?" -Haura

****

Hujan yang terus-menerus turun berkontribusi memberikan suasana sepi dan hening di sekitar halte. Pohon-pohon di tepi jalan berkibar-kibar, melepaskan tetesan air yang tersisa setelah guyuran hujan. Langit yang kelabu dipenuhi awan hitam yang terus menggumpal, menyiratkan bahwa hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Di sebuah halte tua, Haura duduk seorang diri dalam keadaan menyedihkan. Sesekali dia berlari dan berjalan bolak-balik karena merasa lelah dengan posisi duduknya. Dingin begitu menusuk, terlebih dia masih mengenakan seragam yang basah gara-gara kelakuan Hexa tadi. Di momen ini, dia teringat kembali percakapan dengan kakak-kakaknya pagi tadi.

"Bang...."

"Apa?"

"Emmm, aku tahu aku ngerepotin dan nggak tahu diri, tapi nanti pulang aku boleh bareng lagi?"

"Ya."

Jawaban Zidan pagi tadi jelas membuat Haura senang dan banyak berharap. Meski harus siap menerima perkataan menyakitkan dari Ethan, meski nantinya akan berurusan lagi dengan Bianca dan gerombolannya, setidaknya dia bisa terus berada di dekat kedua kakaknya. Namun, bahkan setelah menunggu lebih dari tiga jam dalam keadaan hujan deras, kenapa Zidan tidak kunjung datang....

Haura menatap ponsel tanpa nyawa dalam genggaman tangan dinginnya. Tidak ada harapan. Semua salahnya karena terlalu banyak menaruh harap. Namun, memangnya apa yang salah dengan menaruh harap?

"Yah... dingin," keluh Haura dengan suara teramat rendah. Kepalanya kemudian mendongak, menatap langit yang tidak kunjung berhenti menurunkan air dengan derasnya.

"Langit, kamu juga lagi sedih kayak aku ya, makanya kamu nangis terus?" Haura menjeda ucapannya. "Tapi langit, boleh tahan sebentar tangisnya, nggak? Aku capek banget, aku mau pulang...."

"Atau aku pulang ke atas sana aja, ya? Langit, menurut kamu, kalau aku pulang ke atas sana, apa Kakak sama Bunda akan berbahagia?" Tangan yang mulai membiru mengeratkan cardigan basah yang membalut tubuhnya.

"Pasti bahagia, kan, ya? Soalnya selama ini mereka bilang seharusnya aku yang mati. Jadi, dibanding bersedih, mereka pasti akan merayakan kepergian aku, bukan?"

Haura menunduk saat bulir air mata jatuh, membentuk aliran sungai di pipinya. Mengapa hidupnya begitu menyedihkan? Terkadang dia berpikir, dosa besar apa yang telah dia lakukan sehingga harus dihukum sekejam ini.

Sebuah sinar dan deru motor yang mendekat membuatnya mengangkat kepala. Matanya menyipit, memastikan penglihatannya. Saat yakin siapa sosok di balik helm full face dan balutan jas hujan, Haura bangkit berdiri.

"Aa?" ucap Haura nyaris berbisik.

Cowok yang masih duduk di motor mengangkat kaca helmnya, menampilkan sorot tajam penuh amarah.

HAURA JASMINE [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang