Prolog-Menepi

104 68 104
                                    

"Anak sang pelacur" sebuah sebutan yang sering kali kutangkap di telinga, mereka yang berbicara tanpa pikir panjang dan melontarkan ucapnya begitu saja. Sesederhana itu menyakiti hati orang lain tanpa mereka tahu sebab asal yang telah terjadi, sehingga sebutan tersebut datang begitu saja dan mereka ucapkan saat melihatku.

Siapa yang tidak akan marah dan sedih saat mendengarnya? Namun, aku sudah cukup terbiasa dengan para oknum yang menyebut diriku adalah anak sang pelacur, karena pada kenyataannya memang begitu.

Tentu saja harus kuterima bukan? Aku tidak ingin menghilangkan sebuah fakta yang ada dengan apa yang sudah mereka lihat, walaupun awal mula semua ini mungkin tidak seperti apa yang telah mereka bayangkan. Menyedihkan, kenapa aku harus terlahir dari sebuah rahim yang menjijikan, itu adalah pikirku selama ini dengan kemarahan diri yang begitu kacau melihat Ibuku dengan entengnya menyerahkan dirinya untuk melayani para pria sialan.

Dan yang lebih sialnya, aku menikmati uang kotor Ibu untuk kebutuhan hidupku, karena aku sama sekali tidak mengetahui siapa sosok Ayah yang membersamai Ibu membuatku datang ke dunia ini dengan penuh ketidak pedulian juga ujaran kebencian dari semua orang yang melihat diriku sebagai anak sang pelacur itu.

Hari ini, umurku telah menginjak lima belas tahun dan malam ini aku menyaksikan kembali dengan mata kepalaku sendiri mengenai Ibu yang sedang menemani seorang Pria di dalam rumah, kulihat mereka dengan begitu asiknya berbincang panjang sambil mabuk-mabukan, saat ini terjadi Ibu tidak pernah menganggap diriku ada dan aku juga bersikap seolah-olah tidak melihatnya juga mengetahuinya karena aku begitu jijik saat melihatnya, sehingga aku memilih untuk menghabiskan waktuku di luar rumah bermain dengan para kucing yang kutemukan di jalanan.

Akan tetapi, malam ini langit sedang mengeluarkan tangisnya dengan begitu deras, sehingga aku hanya bisa menghabiskan waktu pada halaman belakang rumah, menunggu hujan mereda dan menunggu Ibu juga Pria tua itu menyelesaikan permainannya. Akan tetapi saat aku membukakan pintu untuk menuju halaman belakang, tanpa sengaja aku melihat seorang pria tengah bersender tenang pada tembok rumah sambil menghisap rokok yang sudah tertempel pada tangannya.

Keningku berkerut, aku berpikir bahwa pria itu mungkin sedang menunggu Ibu, entah kenapa secara tiba-tiba aku menghampirinya dan berdiam diri di sebelahnya, bersender pada tembok rumah sambil melipatkan kedua tangan menahan udara dingin yang datang pada malam ini.

Keningku berkerut, aku berpikir bahwa pria itu mungkin sedang menunggu Ibu, entah kenapa secara tiba-tiba aku menghampirinya dan berdiam diri di sebelahnya, bersender pada tembok rumah sambil melipatkan kedua tangan menahan udara dingin yang datan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#picturepinterest

"Apakah Paman sedang menunggu Ibuku?" Tanyaku pada Pria tersebut yang tengah memejamkan matanya, kemudian Pria itu hanya sekilas menatapku dengan senyuman miringnya ia perlihatkan.

"Siapa namamu Nak?" Tanya Pria tersebut.

"Apa untungnya jika aku menjawab pertanyaamu?" Jawabnya melirik Pria itu secara sekilas.

"Kamu tumbuh menjadi gadis cantik seperti Rose." Ujarnya.

"Menjijikkan, jangan samakan aku dengan Ibuku. Aku tidak ingin berurusan dengan para laki-laki bajingan seperti Paman."

Pria tersebut terkekeh dengan sebuah tawa ia keluarkan. "Benar, aku memang laki-laki bajingan yang sudah tergila-gila pada Ibumu. Tapi aku harap kamu tumbuh menjadi gadis yang baik, Nona kecil Berlin." Ucapnya, membuat gadis yang berada disebelahnya itu terkejut.

Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau lipatnya dengan tatapannya yang begitu tajam, kemudian menarik kerah baju Pria tersebut sehingga pisau yang digenggamnya mengarah pada mata Pria itu menjadikannya sejajar dengan wajahnya.

"Siapa kau, dari mana kau tahu nama itu?" Tanyanya dengan suara yang tegas.

Berlin adalah sebuah marga nama yang diberikan pada gadis itu, dan nama tersebut berasal dari sosok Ayahnya yang ia sendiri tidak tahu keberadaannya, dan yang pastinya laki-laki itu telah pergi begitu saja layaknya bajingan yang tidak bertanggung jawab meninggalkan Ibunya juga dirinya.

"Wow, dari mana kamu mempelajari teknik seperti ini? Apakah kamu sudah mempunyai niat untuk membunuhku?" Tanya pria tersebut dengan tenangnya.

"Bukan urusanmu, sekarang jawablah pertanyaanku sebelum kau kehilangan matamu itu." Tegasnya kembali, akan tetapi pria itu hanya mengukir senyumannya, kemudian tanpa gadis itu sadari pria tersebut menghindari serangan yang telah dilakukan olehnya. Lalu, bergerak cepat membuang pisau lipat yang di arahkan kepadanya kemudian melipat tangan gadis itu kebelakang. Sehingga sekarang gadis itu yang tertahan oleh dirinya.

"Sial." Ujarnya yang kalah telak dengan tangannya yang telah di tahan ke belakang, juga posisi dirinya yang membelakangi Pria itu.

"Kamu harus terus belajar, Nak. Sekarang mari kita bertukar tanya, siapa namamu? Setelah kamu menjawabnya, aku juga akan menjawab pertanyaanmu itu."

"Sky, Skyella Berlin." Jawabnya dengan begitu kaku, dengan pandangan matanya yang mengarah pada pisau lipatnya yang telah dilemparkan oleh pria itu.

Pria itu tersenyum, kemudian melepaskan cengkaraman tangannya yang menahan tangan Sky dengan begitu kuat, saat Pria itu melepaskannya ia melihat Sky yang sudah bersiap untuk mengambil kembali pisau tersebut.

"Jangan mengambilnya, itu hanyalah pisau usang yang seharusnya sudah di buang." Ucap Pria itu dengan tegasnya pada Sky.

Anehnya saat itu Sky hanya menurut saja, karena ia masih membutuhkan sebuah jawaban dari Pria tersebut. "Jelaskan semua yang kau ketahui padaku." Pintanya pada Pria itu.

Namun Pria tersebut hanya tertegun diam, kemudian merogoh saku celananya mengambil sebuah kartu yang berisi nama juga alamat, lalu ia berikan pada Sky.

"Dataglah ke alamat itu Sky, aku akan menunggumu." Ucapnya, kemudian pergi meninggalkan Sky begitu saja, melewati derasnya hujan sehingga membasahi tubuhnya.

"Hei! Ini benar-benar tidak adil!" Pekiknya dengan begitu kesal, melihat Pria tersebut hanya melambaikan tangannya dengan dirinya yang perlahan menghilang seolah disembunyikan oleh deras air hujan.

Sky berdecak kesal, kemudian ia melihat sebuah kartu yang telah diterimanya dari Pria itu. Tertulis di sana akan alamat yang harus Sky temukan dan kunjungi. Namun Sky cukup dibuat bingung dengan kartu nama tersebut yang juga tertulis Heilder Company.

"Heilder Company? Apa itu?" Tanya Sky pada dirinya, kemudian mengambil pisau lipatnya yang dikatakan usang itu, namun bagi Sky pisau tersebut sudah menjadi salah satu temannya, dan selalu ia bawa kemana pun.

NEXT TO THE MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang