#. Bab 11 - Mengubah Taktik?

29 7 0
                                    

Malam harinya.

Vino bersama Sallyana membawa anak-anak pergi bermain ke pasar malam terdekat. Mengingat mereka belum bisa berlibur semenjak kembali ke Indonesia, Sallyana ingin memberi kompensasi ringan sampai suaminya punya waktu luang lebih di masa depan.

“Sevi, jangan berlarian ke sana, nak!” Sally berteriak cemas karena putri bungsunya terus berlarian ke berbagai arah tanpa lelah. “Kemarilah! Mama membelikan kaliam cumi-cumi bakar!”

“Wow! Cumi-cumi bakar! Sevi mau! Sevi mau!” Gadis kecil itu akhirnya berhenti berlarian. Lantas mendekati Sallyana, berkata semangat, “Beri aku dua tusuk, Mama!”

“Dasar babi rakus,” ketus Savi dari sebelah. Anak laki-laki tersebut menerima satu tusuk. Kemudian berbicara marah, “Selain makanan, apa lagi yang bisa kamu ketahui?”

Sevi menjulurkan lidahnya. Tidak mau beradu mulut karena baginya, Savi terlalu memaksakan diri terlihat seperti orang dewasa.

Vino melerai anak kembarnya. “Kenapa kalian terus bertengkar? Bukankah saat masih janin kalian hidup akur diperut Mama kalian?”

“Tanya saja pada kakak, dia menyebalkan. Selalu saja memaksakan diri ingin terlihat dewasa,” Sevi meledek puas. Tak lupa menjulurkan lidah kecilnya sebelum sibuk memakan tusukan cumi bakar.

Savi mendengus, membuang wajah ke arah lain. Ikut memakan tusukan cumi bakar. Berkat makanan, mereka berdua menjadi lebih damai.

Sallyana tertawa kecil melihat interaksi anak-anaknya. Lalu Vino sering menghela nafas disertai gelengan kepala pusing. Mengurus dua anak terlalu sulit, beruntung ada Sallyana.

Mereka berempat berhenti di salah satu stand melukis berisi anak-anak kecil.

Sevi menatapi kerumunan teman baru dengan senang, berbeda dari Savi. Jiwa sosial kedua anak itu cukup bertolak belakang. Jikalau Sevi suka bertemu banyak teman, maka Savi lebih suka berdiam diri sambil membaca buku atau belajar.

Sebut saja, kasarannya Savi tidak terlalu suka orang-orang. Hanya menyukai manusia tertentu.

“Mau bermain bersama teman-teman lainnya?” Sallyana bertanya perhatian, sembari berjongkok di samping Sevi. “Mama bisa membelikan kursi untukmu.”

Sevi mengangguk mantap dan bersorak senang. Langsung berbalik ke arah sang kakak laki-laki. Meski sempat berdebat, mereka sudah akur secara alami. Sehingga Sevi segera menarik lengan Savi, “Kakak, temani aku! Ayo kita melukis bersama!”

“Tidak, tidak mau! Terlalu ramai!” Tolak Savi tegas. Tanpa tedeng aling-aling. Akan tetapi wajah kecilnya berkerut karena adiknya mengeluarkan tatapan memberatkan. “Baiklah ... aku ikut,” ujarnya pasrah diikuti helaan nafas panjang.

“Berapa usiamu? Papa lebih tua darimu, anak kecil,” dari atas, Vino menyahut santai. Kemudian menjentik dahi putranya, “Anak kecil tidak boleh menghela nafas seperti itu. Atau kau akan tumbuh tua lebih cepat dan memiliki keriput.”

“Hahahaha! Kakak pasti akan terlihat jelek mirip—umh!” Mulut kecil beracun milik Sevi berhasil dibungkan lebih awal oleh sang mama.

Sallyana melotot, berbisik rendah, “Jangan mempermainkan kakakmu lagi. Lihatlah wajahnya.”

Sevi cemberut, mengaku salah. Lalu berlari ke stand lukisan setelah Sallyana selesai dengan pembayaran. Ia sengaja menunggu di luar bersama Vino.

Sekaligus demi melatih anak-anak supaya lebih mandiri dan saling membantu satu sama lain saat tidak ada orang dua di sisi mereka.

“Savi sebenarnya sangat menyayangi adiknya, pria kecil itu hanya sedikit pemalu,” kata Sallyana, mengulum senyuman tulus. “Dia mirip denganmu, kak.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan Berusaha Merayuku, Tuan! - [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang