#. Bab 2 - Selamat Tinggal

38 10 35
                                    

“Omong kosong,” balas Sallyana. Paras cantiknya berkerut dengan sepasang netra caramel melotot. “Tampaknya, kecerdasanmu telah menurun setelah sebelas tahun berlalu. Aku memiliki urusan lain, jadi selamat tinggal.”

“Jangan ucapkan selamat tinggal. Kata itu hanya diucapkan untuk dua orang saling membenci yang berharap tidak pernah bertemu kembali.” Veen masih berdiri diposisi. “Kita masih akan bertemu lagi di masa depan.” Ucapnya.

Sallyana medengus keras, lalu tertawa sumbang disertai ejekan. “Bukankah kami saling membenci sekarang? Lagi pun, aku tidak akan keluar lagi.”

Perempuan itu berakhir pergi meninggalkan area perumahan. Selama perkembangan era, perumahan sudah dirombak habis-habisan. Hanya rumah pribadi Veen dan Sallyana yang masih utuh tak berubah sama sekali.

Veen melirik sekilas rumah lama Sallyana, bergumam ringan seraya tersenyum, “Bahkan saat kesal, wajahnya sangat manis.” Juntaian surai hitamnya terjatuh, menutupi iris pekatnya dalam bayang-bayang.

Mari kita lihat, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Namun, perlu digaris bawahi. Veen, tidak akan pernah menyerah atau kehilangan untuk kedua kalinya.

Seorang sopir berlari mendekati Veen, bertanya sopan, “Tuan, ingin pulang sekarang?”

“Tidak, bawa aku ke perusahaan. Aku ingin bertemu Kakek.”

“Baik. Tuan muda.”

***

Mansion Alderion.

Suasana rumah lumayan sepi karena Bram dan Cecil pasti sedang beristirahat. Sedangkan Vino juga pasti sibuk di ruang kerja karena pekerjaan perusahaan secara alami tertumpuk padanya.

Hanya sekelompok pelayan yang menyambut kedatangan Sallyana bersama anak-anaknya.

Pikirannya belum terkumpul, Sallyana masih terjebak oleh pertemuannya dengan Veen tadi. Rasa-rasanya, dia memiliki firasat bahwa kehidupannya tidak bisa setenang dulu. Entah mengapa, dia mulai cemas.

Pandangan mata Veen ... sorot matanya terlalu obsesif dan menakutkan. Selayaknya maniak gila yang kehilangan akal. Tetapi masih terlihat seperti orang normal pada umumnya.

“Mama?” Savi bertanya cemas dari bawah. Masih menggenggam erat jemari sang Ibu. “Mama baik-baik saja?”

Sevi ikut khawatir karena Sallyana senantiasa diam sepanjang perjalanan pulang. Lantas berkata manja, “Mama, ayo buat kue bersama untuk Papa!”

Lamunan terpaksa pecah berkat suara anak-anak. Sallyana kembali ke dunia asli, tersenyum lembut sembari membelai puncak kepala anak kembarnya.

“Savi, Sevi,” panggil Sallyana, wajah keibuannya berubah serius. “Di masa depan, saat kalian bertemu pria tadi. Larilah, mengerti? Dia bukan pria yang baik, dia adalah pria jahat yang sudah mencelakai Ibu di masa lalu.”

Savi langsung menggangguk, berbeda dari Sevi yang memunculkan ekspresi terusik. Seakan keberatan.

“Mama, bisakah aku tidak membencinya? Wajahnya terlalu tampan!” Sevi berseru memohon, mengandalkan mata bonekanya yang bersinar.

Sallyana menghela nafas panjang. Bingung harus tertawa atau menangis kala menghadapi putrinya ini. “Lakukan sesukamu, tapi Mama tidak bertanggung jawab jika suatu saat kamu diculik olehnya. Mama bisa melahirkan putri baru jika Sevi diculik.”

Savi menggerutu, “Benar! Biarkan Ibu melahirkan adik perempuan baru untukku. Kau hanyalah pengacau!” timpalnya bersemangat.

Wajah bulat kecil Sevi memerah, takut benar-benar akan diculik kemudian dilupakan. Anak kecil tetaplah anak kecil. Gadis itu menangis dan memohon maaf kepada Sallyana sebelum akhirnya pergi ke kamar untuk tidur siang bersama Savi.

Jangan Berusaha Merayuku, Tuan! - [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang