#. Bab 5 - Marah

25 6 2
                                    

“Mama!”

Sallyana terperanjat kaget karena suara Sevi terdengar dari area sekitar. Ia berbalik ke berbagai arah dan menemukan putrinya sedang berlarian. Savi bahkan juga tengah berlari di belakang sang adik.

Snow tertawa senang, “Halo babi kecil, bertemu lagi dengan bibimu yang cantik ini!” Kedua lengannya terentang. Dan segera saja, Sevi masuk ke pelukannya.

“Halo juga, keledai besar!” Seru Sevi sangat senang karena dia lumayan akrab dengan Snow. “Bibi terlihat semakin tua dan gendut! Apakah karena kekurangan pria tampan?”

Meski agak tertusuk oleh kata-kata keponakannya. Snow menjawab dramatis, “Benar, hah ...” Ekspresi wajahnya bahkan sangat mendalami peran. Putus asa dan sengsara. “Pria tampanku berkurang!”

Dari seberang, Sallyana dan Savi memasang raut wajah aneh.

Sallyana menggendong Savi, bertanya setengah marah, “Kenapa kalian kemari? Bersama Papa? Dimana Papamu?”

Savi mengangguk, berkata seraya menunjuk ke sudut, “Tadi Papa ada di sana. Lalu tiba-tiba berlari mengejar seseorang. Papa juga terlihat sedang marah. Jadi kami berlari ke Mama karena ada banyak orang asing.”

Jangan-jangan, suaminya bertemu Veen? Tidak, dia dan Veen sudah berpisah hampir setengah jam lebih. Mana mungkin pria itu baru keluar?

“Sekarang jelaskan pada Mama. Kenapa kalian dan Papa mengikutiku?”

Savi dan Sevi saling bertukar pandangan mata. Lantas menyentuh telinga mereka masing-masing. Seolah merasa bersalah. Pekerjaan menguntit bukanlah sesuatu yang baik.

“Maaafkan Savi, Mama.”

“Sevi juga minta maaf ... Tapi!” Gadis kecil tersebut cemberut. Yang mana tampak manis, “Semua karena Papa! Papa ingin bermain mata-mata dan kita harus mengawasi pergerakan Mama. Sekarang kita ketahuan, Sevi gagal menjadi seorang mata-mata!”

Sallyana tidak tega harus marah-marah atau bersikap keras. Alhasil menenteng tas belanjaan. Sedangkan tangan lain masih membawa Savi. “Mari pulang dulu dan cari Papa. Kalian ingat dimana Papa parkir mobil?”

Savi menggeleng. Namun Sevi mengangkat tangannya bersemangat, “Aku ingat! Aku ingat!”

“Baiklah, kita pulang sekarang.”

Snow ikut membawa barang belanjaan pribadinya. Berjalan sebagai pemimpin karena Sevi yang tahu lokasinya. Dia melirik sekilas Sallyana. Perempuan itu tampak pucat.

Sallyana pucat karena perempuan tersebut merasa lelah. Bukan lelah fisik, melainkan lelah mental. Sebab dengan kembalinya Veen, rumah tangganya akan terusik. Kehidupan damai yang susah payah dia dapatkan, bisa beresiko hancur sekejap mata.

“Mama?”

“Ada apa sayang?”

“Mama, oke? Wajah Mama terlihat pucat,” ucap Savi khawatir. “Biarkan aku berjalan sendiri, Ma.”

“Tidak, tidak perlu. Mama baik-baik saja. Mallnya terlalu ramai, lebih baik tetap digendongan,” kata Sallyana sesaat kemudian. Ia memeluk Savi kian erat, lantas mencium dahinya penuh kasih sayang. “Mama sungguh baik-baik saja.”

Savi terlihat masih khawatir serta ragu-ragu. Tetapi pada akhirnya tetap percaya pada perkataan Sallyana. Kemudian memeluk leher sang Mama. “Katakan padaku jika Mama merasa sakit. Aku dan Papa akan merawat Mama.”

Mendengar suara sedih melirih putranya, Sallyana berhasil dihangatkan kembali. “Tentu,” sahutnya lembut.

Mereka sampai ke basement lantai nomer 3. Menunggu di sana selama lima belas menit. Sallyana sempat menerima telefon Vino dan berkata mereka telah menunggu diparkiran.

Jangan Berusaha Merayuku, Tuan! - [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang