Meita mengambil tas di lokernya. Di gudang ada beberapa rekannya sedang memasukkan barang yang baru saja datang termasuk Firman. Wanita itu mengambil uang dari dompetnya. Kemarin ia belum membayar lauk yang di pesannya. Sebenarnya Firman menolak untuk menerima. Namun, Meita tidak enak hati. Sehingga akan mencobanya lagi untuk membayar.
"Firman," panggilnya. Pria itu menoleh. "Ini yang kemarin," ucapnya.
"Nggak usah, Mei. Cuma enam ribu ini," jawab Firman.
"Tapi enam ribu juga uang. Apa lagi aku di beliin es juga kan. Aku nggak mau ah." Meita masih bersikukuh untuk membayarnya.
"Nggak apa-apa kok. Itung-itung aku yang traktir."
"Emangnya ada acara apaan pake traktir segala?" ucap Meita.
Firman tertawa. "Nggak ada acara apa-apa sih."
"Hadeuh kalian ini, orang lagi repot. Malah ngobrol, entar lama-lama jadian lagi," celetuk seseorang sambil tertawa.
Meita memelototinya. "Orang ada urusan juga," ucapnya. Firman hanya tersenyum. "Ya udah nanti aja ya, Firman. Aku pulang dulu." Pada hari itu Firman dan Meita beda shift. Meita pulang lebih dulu sedangkan Firman baru datang. Setelah Meita pergi, rekan lainnya meledek Firman.
"Ciye... Ciyee yang gercep."
"Hush, apaan sih. Coba kalau dia denger!" gerutu Firman. Ia menutupi rasa malunya. Rata-ratanya teman-teman sudah pada tahu perasaan Firman pada Meita. Cinta bertepuk sebelah tangan karena Meita mempunyai kekasih. Memendam perasaan yang begitu lama. Kini Firman memberanikan diri untuk mendekati pujaan hatinya.
"Mei, bapak minta uang."
Meita membaca chat dari ayahnya. Baru juga kakinya keluar dari minimarket. Ia mengelus-elus dada. Dirinya saja saat ini bingung.
"Buat apa, Pak?"
Meita membalasnya.
"Ada perlu."
"Bukan buat main judi slot kan?"
Ia sudah tahu tabiat ayahnya tersebut. Suka sekali bermain judi slot sampai hutangnya dimana. Dirinyalah yang membayarnya.
"Kamu sok tau. Bapak ada perlu pokoknya."
"Nggak ada, Pak. Bulan lalu Meita baru bayar utang rentenir yang Bapak pinjam itu. Sekarang Meita nggak pegang uang."
Bebannya memang sangat berat. Meita harus gali lubang tutup lubang demi membayar hutang ayahnya dan juga keperluan adiknya yang masih sekolah. Hanya ia yang di andalkan. Meita menjadi kesal. Ayahnya terlalu menggampangkan.
"Pinjam sama pacar atau teman kamu, Mei. Bapak butuh banget."
Lagi-lagi ayahnya mengirimkan chat. Emosi Meita terpancing ketika membacanya.
"Meita nggak punya pacar, udah putus. Aku juga udah punya hutang sama temen. Nggak ada lagi yang mau minjemin Meita."
Ingin rasanya membanting ponselnya detik itu juga. Namun, ia masih sadar. Benda itu satu-satunya yang berharga. Untuk pekerjaan dan komunikasi. Ayahnya chat dirinya hanya untuk meminta uang. Tidak pernah menanyakan apakah anak pertamanya itu sehat atau baik-baik saja. Anak gadis di perantauan seorang diri. Tidak ada khawatirnya. Kenapa Tuhan memberikannya keluarga yang seperti itu? Rasanya tidak sanggup bagi Meita.
"Pelit kamu!"
Meita tidak menggubrisnya lagi. Seperti biasa memang ayahnya begitu jika tidak di kasih uang. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya. "Sabar-sabar ya, Mei," ucapnya pada diri sendiri. Ini lah kehidupan yang harus di jalaninya. Pandangannya mengabur karena tidak terasa air matanya menggenang di pelupuk matanya. Kakinya melangkah melanjutkan tujuannya pulang ke kontrakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEITA (GOOGLE PLAY BOOK)
RomantizmSudah tersedia di GOOGLE PLAY BOOK. Dalam keluarga, Meita menjadi sandwich generation, mengesampingkan ego demi keluarga. Hingga menginjak usia 29 tahun, dirinya belum menikah. Bukannya tidak ingin, hanya saja banyak pertimbangan. Seperti, bagaimana...