Pukul 12.00 WIB Meita menunggu Ira di dekat minimarket. Ira sedang libur kerja sedangkan Meita tidak. Sehingga ia harus menunggu jam istirahat untuk bertemu. Ia duduk di pinggir jalanan. Tidak lama Ira datang dengan es teh di tangannya.
"Buat kamu," ucapnya.
"Makasih ya, Ra. Tau aja aku lagi haus." Meita menyengir.
"Taulah, hawanya panas pengap gini. Aku juga jadi haus terus," ucapnya sambil duduk di samping Meita. "Jadi gimana kamu mau?"
"Mau, Ra." Meita mengangguk senang. Itulah pekerjaan yang di inginkannya. Ia hanya perlu melakukan seminggu sekali saja. Karena terbentur pekerjaannya di minimarket. Itu pun menjadi rahasia mereka berdua. Tidak ada yang boleh tahu.
"Oke kalau gitu. Tadi aku udah nanya-nanya kerjaannya gimana. Jadi kamu tuh ngegantiinya tetangga aku. Dia kerjanya seminggu sekali jadi asisten rumah tangga. Berhubung dia lagi hamil terus mabok. Jadi dia mau berenti di suruh suaminya. Kerjaannya seperti biasa cuma bersih-bersih aja. Kalau nyuci baju biasanya dia laundry. Yg punya itu tinggal sendiri. Kata tetangga, istri sama anaknya meninggal karena kecelakaan. Jadi dia tinggal sendiri sekarang, jarang di rumah juga." Ira menjelaskan apa yang tetangganya ceritakan.
"Ya ampun, kasian banget ya." Meita menjadi iba. Kehilangan istri dan anaknya juga sekaligus.
"Iya, aku aja ngedengerinnya sedih." Ira pun merasakan hal yang sama. "Pantes rumahnya nggak ada yang ngurus ya. Kehilangan istri itu sama aja kehilangan jantung. Nggak bisa ngapai-ngapain, terus anak juga. Rasanya hampa pasti hidupnya."
"Tergantung juga, Ra. Ada juga tanah kuburan masih merah. Eh, tau-tau suaminya nikah lagi," ucap Meita berdecak.
"Iya, sih. Beda kalau cewek ya. Buat nikah lagi kayaknya mikir-mikir. Apa lagi kalau udah punya anak. Mereka lebih mandiri. Udah nggak mau tergantung lagi sama laki-laki."
"Betul, kalau cewek itu selalu ingetnya anak. Gimana nanti kalau nikah lagi terus suaminya nggak suka sama anaknya? Udah banyak kejadian kan. Nggak semua laki-laki bisa nerima anak dari pernikahan pertamanya. Kebanyakan suka sama ibunya aja. Sama anaknya nggak. Jadi lebih baik sama anak aja," ucap Meita.
"Yang aku denger sih. Istrinya udah meninggal sekitar lima tahun yang lalu." Ira memberitahukan infonya.
"Oh, udah lama juga ya. Serba salah juga sih ya. Kalau laki-laki nggak nikah lagi katanya nggak ada yang ngurus lah."
"Iya, ada yang bilang juga kalau laki-laki itu nggak kuatan." Ira terkikik. Mereka tahu maksud dari kata Ira tersebut.
"Hush!" omel Meita yang mengerti maksud dari kata 'kuatan'. Memang ia pun mendengar seperti itu.
Ira tertawa. "Kamu kapan liburnya?"
"Minggu besok itu hari sabtu, Ra."
"Oh, oke. Nanti aku kasih tau ke tetanggaku."
"Emang rumahnya di mana?"
"Di komplek apa ya, aku lupa. Paling nanti kamu dateng sama Rena. Ngejelasin juga kalau kamu pengganti dia selama cuti."
"Seminggu berapa gajinya, Ra?" tanya Meita.
"Dua ratus kadang dua ratus lima puluh ribu perminggu. Cuma beres-beres rumah kayak ngepel gitu. Kalau masak sama cuci nggak. Oia, rumahnya dua lantai. Tapi nggak gede-gede amat kok."
"Kok kamu tau?" tanya Meita
"Itu kata Rena tetanggaku," Ira terkikik. "Aku mana tau rumahnya gimana. Tau juga nggak," ucapnya. "Upahnya segitu masih mau?"
"Mau deh, Ra. Buat tambahan. Kebutuhanku lagi banyak-banyaknya. Adik aku udah kelas tiga sebentar lagi lulus. Butuh biasa gede, buat perpisahanlah belum lagi nembus ijazah kan. Belum praktek inilah itulah." Dipikirkan membuat kepalanya pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEITA (GOOGLE PLAY BOOK)
RomansaSudah tersedia di GOOGLE PLAY BOOK. Dalam keluarga, Meita menjadi sandwich generation, mengesampingkan ego demi keluarga. Hingga menginjak usia 29 tahun, dirinya belum menikah. Bukannya tidak ingin, hanya saja banyak pertimbangan. Seperti, bagaimana...