"Lebarkan kanvasnya!" Seru Rafael kepada Bruno yang mengeluarkan lembaran kain tebal berukuran 12X12 meter persegi.
Rafael menyiapkan alat lain berupa minyak, cat, brush dan semua alat yang dibutuhkan untuk melukis. Rupaya dia hendak membuat karya abstrak. Dengan alas kain seperti itu bukankah cukup sulit, lebarnya membutuhkan 2 orang dewasa untuk menata.
Dia memberikan celemek supaya tidak terkena cat dan juga masker.
"Kencangkan maskermu supaya tidak terhisap bau cat, lalu ambil warna merah dan buat setengah lingkaran di setiap ujungnya." Ucap pria itu sebari memasangkan masker padaku.
"Ini pertama kalinya aku melakukannya, bagaimana jika itu ide buruk?" Balasku ketika berpikir bahwa kedua tanganku mungkin akan membuat kesalahan.
"Seburuk apapun kamu menggambar, tidak mungkin seperti anak playground. Harusnya jangan masuk fakultas seni jika itu terjadi." Candanya membalas ketidakpercayaan diriku.
Tanganku dengan lentur memegang brush yang telah dicampuri cat mengikuti pola, mulai berhati-hati sambil menikmati setiap prosesnya. Rafael seperti mengarahkanku bagian mana saja yang harus di gambar.
Dia mengajari dengan perlahan untuk orang awam sepertiku. Aku biasanya membuat rancangan di tablet atau laptop sebagai pengganti media kanvas, karena desain interior tidak banyak menggambar dan lebih fokus mengatur struktur atau pola benda.
"Seperti ini, ambil garis lurus. Jangan terlalu bungkuk nanti pinggangmu sakit. Duduk saja dialas karena tidak akan membuat pakaianmu kotor." Rafael terus memberitahuku untuk mengikutinya, perhatian itu terlalu fokus padaku sehingga aku berpikir, dia hendak menggambar atau menjadi mentor melukis.
Beberapa jam berlalu, langit pun mulai senja. Sudah berapa lama kami menggambar?
Entah apa yang kami buat, karna dari dekat tidak terlihat jelas.
Terdengar irama musik pop dari speaker portabel yang dibawa Peter, sambil menikmati ayam goreng dan soda, kami menyelesaikan hari panjang itu dengan helaan nafas.
Aku merasa ini bukan pekerjaan sulit tapi menyenangkan, jiwaku serasa lebih bebas dibanding sebelumnya, aku merasa lega tanpa dibebani pikiran.
Sambil memejamkan mata sebentar. Aku mendongakkan kepala ke arah langit, mencoba merasakan suhu dari alam yang terhempas oleh angin.
"Jika kau ingin marah, keluarkan saja dalam kanvas. Entah apa pun masalahmu, bagiku itu cara satu-satunya tempat meluapkan emosi." Kata Rafael yang melihatku dari samping.
Aku menoleh padanya.
"Jangan mengotori tanganmu Olivia, biar para senior yang melakukan itu untukmu." Kalimat dari Rafael seolah mengatakan dia bersedia melindungiku, tapi untuk apa melakukan itu pada orang yang baru dia kenal.
Ya, awalnya aku memang berencana menyakiti Edward, meski itu harus melalui orang lain. Tapi ini bukan permainannya, semua ada ditanganku, hanya aku yang boleh memegang kendali.
Apakah kali ini aku mati saja, untuk apa mengulang waktu, perasaan sakitnya pun tidak akan hilang.
༺𓆩♡︎𓆪༻
Hari pun berganti, tepat setelah aku sudah beradaptasi dengan perbedaan waktu saat ini.
1 minggu berlalu sejak insiden amukan yang aku lakukan pada Edward, entah kenapa aku tidak mendengar kabar tentangnya akibat terluka karena pukulanku.
Aku pun tidak dipanggil oleh pihak kampus karena tindakan kekerasan.
Claudia menghampiriku sambil terduduk diatas meja, dia memperlihatkan foto dari layar ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaks Your Heart
RomanceAku berjuang untuk tetap berdiri. Darah terus mengalir dari luka di perutku, dan rasa sakit yang menyengat membuatku hampir tidak bisa berpikir jernih. Dalam keadaan setengah sadar, Aku teringat kembali pada apa yang terjadi: pelarian dari seseorang...