JUNGKOOK hanya bisa mengedipkan mata bingung. Dirinya kini tengah berdiri bak orang bodoh di depan pintu bercat tembaga dimana dia telah menghabiskan hampir empat jam lamanya di dalam sana—bersama River yang juga sedang berdiri tak kalah canggung di sisinya.
Yang sebenarnya terjadi adalah kedua pasangan baru kita baru saja di depak— di instruksikan, untuk keluar dari ruangan Raja sebab para orang tua akan berdiskusi mengenai masa depan kedua klan yang akan bersatu itu; atau barangkali lebih mudahnya adalah persoalan politik pernikahan.
River berdehem bermaksud untuk meredam suasana hening yang tercipta, justru membuat Jungkook semakin dilanda kikuk. Anak itu barangkali masih mencoba untuk mengumpulkan kewarasannya yang tercecer kemana-mana, memaksa otak kecil itu kembali fokus dan menenangkan diri. Jadi, Jungkook tidak terlalu menaruh perhatian akan keberadaan River yang sedari tadi memandang dirinya dengan sapuan manik elang berbayang birunya cakrawala.
“Haruskah kita pergi sekarang?” barithon River menyadarkan Jungkook seketika.
“Uh?”
“Kau mau berdiri disini saja sampai nanti?” sontak saja pemuda Winston menggeleng. “kalau begitu ku antar ke kamarmu.”
“Kau belum ganti baju ya?” hampir setengah hari berlalu sejak ranum semerah berries itu memutuskan bungkam, dan ini adalah kata pertama yang dia ucapkan. Sepertinya Jungkook harus meluangkan sedikit waktu untuk merutuki betapa bodohnya pertanyaan itu.
“Seperti yang kau lihat.” Jungkook tidak tahu apakah pria itu tersinggung oleh pertanyaannya sebab raut wajah River terlalu sulit ditebak.
“Kau—basah.” damn you, Jungkook. Ada baiknya kalau dia menutup mulut saja.
“Apa aku membuatmu tidak nyaman?”
Ranum berries-nya sedikit mengerut, “Salah, harusnya pertanyaan itu ditujukan untukmu. Tidakkah kau merasa tidak nyaman?”
“Tidak juga.” sang pangeran mengendik ringan.
Sedang Jungkook justru mengerutkan hidung, “Kau tahu bau cucian yang tidak kering?” lanturnya, “harusnya kau bau seperti cucianku yang kehujanan dua hari karena aku lupa mengangkatnya dari jemuran.”
“Hah?”
“Tapi kau masih saja wangi.”
“Aku tidak mengerti—”
“...dan aku juga tidak mengerti kenapa aku malah membahas cucianku padahal harusnya aku marah padamu.” raut anak itu memerah, “tapi sudahlah, aku sudah tidak punya tenaga lagi buat nonjok mukamu.” dan karena sudah kepalang malu, Jungkook berjalan cepat mendahului River.
“Apa aku diizinkan mengantarmu ke kamar?” seru River.
“Terserah kau saja.” tanpa menoleh, suara Jungkook terdengar hampir melengking. Maka, diiringi dengan persetujuan itu, kaki jenjang River tanpa kesulitan telah berada di sisi Jungkook.
“Apa kau tidak kedingingan?” Jungkook melirik, keduanya berjalan beriringan melewati lorong-lorong istana yang lengang.
“Aku tidak punya waktu untuk berganti pakaian.” pria itu sedikit merunduk untuk menemukan pahatan jelita Jungkook yang begitu fokus mengarah depan.
Dari sudut ini, rona merah yang menyatu diantara kulit pucat Jungkook menjadi begitu jelas dalam pandangan mata River. Rasa bersalah segera meyarapi dada pria itu sebagaimana ngengat yang mengerubungi cahaya.
“I'm sorry, Casey.” helaan napasnya begitu berat.
Langkah Jungkook mendadak terhenti, dan tatapan River padanya telah terkunci rapat hingga perubahan singkat pada raut wajahnya tertangkap oleh iris biru pria itu— sebelum Jungkook memutuskan untuk berbalik sepenuhnya menghadap tubuh River yang menjulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ɪ ᴏɴᴄᴇ ᴡᴀꜱ ᴘᴏɪꜱᴏɴ ɪᴠʏ, ʙᴜᴛ ɴᴏᴡ ɪ'ᴍ ʏᴏᴜʀ ᴅᴀɪꜱʏ [ᴛᴀᴇᴋᴏᴏᴋ]
Fiksi PenggemarJungkook menemukan dirinya terjebak dalam sebuah terowongan misterius saat ia dalam perjalanan pulang dari kantor. Ketika terowongan tersebut berakhir, ia justru mendapati dirinya berada di dalam dunia novel yang baru saja ia baca. Di himpit antara...