009 𑁍ࠬܓ heather

119 26 22
                                    

BAGAIKAN tetes-tetes air hujan yang menghapus coretan-coretan kapur di trotoar, kewarasan Jungkook mengabur selama sesaat. Dia tidak ingat mengapa dia bisa berlari kesetanan untuk mencari River, dan tanpa malu mendekap pria itu begitu erat.

Semua hal yang telah ia lalui beberapa hari ini terlalu banyak, bahkan bagi Jungkook sekalipun. Dia kira, dia bisa mengendalikan keadaan sebab dia sudah tahu bagaimana semua ini akan berakhir, nyatanya justru dialah yang terombang-ambing oleh takdir yang mengikat cerita ini. Dan, atas semua cecapan pahit yang mana segalanya terasa asing ini, River adalah satu-satunya yang paling dekat dengan kehangatan yang ia butuhkan kini.

"Casey?" suara pria itu yang sedikit menuntut menyadarkan Jungkook, sedikit banyak dia baru merasakan kuatnya cengkeraman tangan River pada bahunya. Seakan memaksa Jungkook untuk membeberkan semuanya lewat tatapan mata setajam deburan liar ombak samudra.

Ranum berries yang mulai kehilangan rona itu terbuka, hanya untuk kembali bungkam sebab Jungkook tidak tahu harus mengatakan apa. Ada sesuatu yang menghentikannya mengatakan perbuatan Atlas pada pria dihadapannya ini, tidak sebesar keinginan Jungkook untuk melihat Atlas mendapatkan ganjaran atas apa yang sudah dia lakukan padanya, namun dorongan itu cukup mampu untuk membuatnya bungkam.

Hal itu sontak membuat River mengerang, namun barangkali pria itu menyadari betapa berantakannya kondisi Jungkook saat ini, hingga tanpa mengatakan apapun lagi, Jungkook merasakan cengkeraman River dibahunya mengendur, untuk selanjutnya berganti mendekap seluruh punggungnya dan mengarahkannya untuk masuk.

Walaupun Jungkook tahu ini salah—tidak seharusnya dia menerima ajakan River, tapi tubuhnya sama sekali tidak menolak.

Kamar pria itu adalah segala hal yang pernah Jungkook bayangkan dari ruangan seorang pangeran, begitu megah, sekaligus terasa sangat pribadi. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan kuno, rak-rak buku penuh dengan karya-karya dari banyak penulis terkenal Arcadia. Sementara cahaya bulan yang tipis menerobos jendela besar di kamar itu, seakan tengah mengintip kerapuhannya yang terekspos begitu memalukan.

River mendudukkannya di tepi ranjang kayu mahoni besar, mata rusanya seketika terpejam, berusaha mengendurkan segala ketegangan yang selama beberapa saat membuatnya lupa cara bernapas yang benar. Sampai iris sekelam batu obsidian terbuka cepat sebab dia merasakan sesuatu yang sangat lembut menyelimuti tubuhnya, dan iris biru kelam River adalah hal pertama yang dia lihat saking dekatnya jarak mereka saat ini.

"Kau bisa beristirahat disini," kata-kata itu dituturkan sehalus mungkin, namun Jungkook masih mampu mendengar ada amarah yang berusaha ditahan disana.

Jungkook tidak menjawab, anak itu justru semakin merapatkan selimut yang membungkus dirinya— berusaha mencari lebih banyak kehangatan terlepas dari perapian di kamar River yang menyala-nyala.

Jungkook bisa tahu dengan cepat hanya dari gurat tegang di wajah River bahwa pria itu menuntut banyak jawaban, yeah, dia barangkali juga akan bereaksi demikian jika seseorang tiba-tiba menggedor pintu kamarnya tengah malam dan menangis tersedu-sedu dengan memar disana sini. Hanya saja, Jungkook benar-benar berterima kasih sebab pria itu justru memilih untuk tidak mendesaknya dan memberi Jungkook ruang untuk menenangkan diri.

"Jangan khawatir, aku akan menjagamu. Kau aman disini." barangkali River menyadari keresahan yang terpancar dari matanya hingga pria itu lagi-lagi meyakinkannya.

Oh, River, andaikan dia tahu bahwasannya Jungkook memutuskan untuk lari padanya sebab pemuda itu memang merasa aman hanya karena berada didekatnya saja.

Dan selama sesaat yang terasa mengabur, ia merasa begitu terlena sampai-sampai Jungkook tidak sadar maniknya telah terpejam—sebab, untuk pertama kalinya setelah malam-malam yang ia lalui dengan penuh kekhawatiran, Jungkook merasa begitu damai.

ɪ ᴏɴᴄᴇ ᴡᴀꜱ ᴘᴏɪꜱᴏɴ ɪᴠʏ, ʙᴜᴛ ɴᴏᴡ ɪ'ᴍ ʏᴏᴜʀ ᴅᴀɪꜱʏ [ᴛᴀᴇᴋᴏᴏᴋ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang