× Lokal au ×
Bulan purnama menyambut, menandakan bahwa hari ini sudah memasuki pertengahan bulan pada kalender. Malam itu, 3 orang lelaki sedang makan malam bersama di meja makan dengan khidmat.
"Gimana progress belajarnya Naisa, Zeehan?"
Yang paling tua di antara ketiganya memulai pembicaraan.
"Baik, Kak, Naisa cepet belajar. Besok saya bakal adain evaluasi lagi buat ukur kemampuan Naisa setelah tiga bulan ini."
"Loh-loh, Kak Zeehan, katanya lusa! Kok tiba-tiba besok?" protes yang paling kecil.
"Ohh, tadi Kak Zeehan bilang lusa kah?" tanya Zeehan.
"Tuh kan, Kak Zeehan lupa teruuss," ucap Naisa sambil memajukan bibirnya.
Zeehan dan Davin tertawa. Anak satu ini memang lucu.
"Iya-iya, maaf yaa. Lusa, bukan besok," ucap Zeehan setelah tawanya mereda, "jangan ngambek gituu, nih Kak Zeehan kasih udang banyak banyak," lanjutnya sambil menaruh banyak udang di piring Naisa.
Naisa mulai meraih sendoknya, walaupun bibirnya masih tetap dimajukan.
Sudah 3 bulan Zeehan menjadi mentor Naisa. Selama itu mereka mulai menjadi dekat dan membuka diri. Lihat saja, Naisa menjadi lebih kekanakan dan sering mengomel dibandingkan awal-awal mereka bertemu. Belum lagi sifat keras kepalanya yang seakan sudah mendarah daging. Zeehan juga tak tanggung-tanggung memberikan perhatiannya pada Naisa atau sengaja bersikap usil untuk memancing kekesalan Naisa. Ya anggap saja mereka mulai merasa nyaman satu sama lain.
Memang tak Naisa pungkiri bahwa ia nyaman bersama Zeehan, selayaknya ia nyaman bersama kakaknya. Bedanya, rasa nyaman bersama Zeehan ini menimbulkan sensasi geli di perutnya seakan-akan banyak kupu-kupu tengah berterbangan di sana, juga sensasi pipi yang mulai memanas dan mungkin memerah ketika Zeehan mulai memberikan perhatian lebih padanya. Naisa menyadari semua hal itu dan tahu rasa apa yang tengah menyelimutinya kini, namun semakin ia menyadarinya semakin ia ingin memendam perasaan itu jauh-jauh di lubuk hatinya.
Zeehan adalah seorang laki-laki yang baik, pintar, mandiri, bertanggungjawab dan disayangi orang-orang di sekitarnya. Tipe laki-laki yang diidam-idamkan menjadi pasangan hidup paling ideal. Sedangkan dirinya? Zeehan terlalu sempurna jika bersanding bersamanya yang memiliki cacat ini.
Ya, dibalik sikap Naisa yang sedikit kekanakan itu tersimpan perasaan rendah diri yang selalu membelenggunya. Menahannya tetap berada pada 'batas' yang telah ia tetapkan. Yang menjadi salahsatu sebab juga ia tak pernah melepas kacamata hitamnya jika ada Zeehan di sekitarnya. Naisa tahu Zeehan sudah mengetahui tentang cacat pada dirinya, karena itu dia takut dan menjaga jarak dari Zeehan dengan menjadi sedikit keras kepala dan banyak bertingkah.
"Mm, acarnya enak," celetuk Zeehan setelah beberapa saat hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar.
Zeehan kemudian mengambilnya dengan sendok dan menyodorkannya ke mulut Naisa, "cobain deh, Nai, aaaaaa,"
Naisa menaikan sebelah alisnya, lalu membuka mulutnya, menerima suapan dari Zeehan.
"Enak kan?" tanya Zeehan.
Naisa mengangguk-angguk sambil mengeluarkan suara, "mmm~"
"Rekomendasi temen kantor kakak, akhirnya kakak cobain, ternyata emang enak," sahut Davin.
"Di mana tempatnya, Kak?" tanya Zeehan sambil mengambil tissue lalu mengelap ujung bibir Naisa yang terdapat remahan nasi.
"Di jalan xxx, deket kantor."
Zeehan menuang air minum ke dalam gelas, "Ohh.. nanti saya sekali-sekali ke sana deh, mau beliin buat Mama di rumah," lalu meraih tangan Naisa, "minum dulu, nih" ucapnya menyerahkan air minum tersebut.