0.13 - Ombak Pertemanan

6 1 0
                                    

Terkadang aku takut, jika suatu hari kita berjalan di jalan yang berbeda dan lupa bagaimana caranya kembali.

* * *

"Terus, karena siapa?" tanya Runda, semakin penasaran.

"Karena aku sendiri yang punya cemburu sosial besar banget sama kalian. Padahal, wajar kan kalau kamu main sama Alya, dan Litha serta Dayi main sama Selina. Toh, kita semua sekelas. Tapi tetap saja, rasanya ada yang berbeda," jawab Laya dengan senyum getir.

Runda yang mendengarnya merasa bersalah. Beberapa hari terakhir, terutama hari ini, Runda memang lebih sering bersama Alya. Sementara itu, Litha dan Dayi menjadi lebih dekat dengan Selina karena rumah mereka searah. Mungkin, Runda perlu membicarakan hal ini dengan Litha dan Dayi setelah pulang sekolah nanti.

Bel tanda dimulainya jam pelajaran berikutnya berbunyi, mengisyaratkan semua siswa untuk segera kembali ke kelas. Litha, Dayi, dan Selina masuk ke kelas sambil asyik mengobrol. Runda memperhatikan tawa lepas mereka, terasa berbeda dibandingkan ketika mereka bersamanya. Apa yang bikin kalian bisa selega itu saat sama Selina? batin Runda.

Asyi menyadari bahwa pandangan Runda tak lepas dari kedua temannya itu. Ada yang tampak tak beres, meski sulit dikatakan salah. Kalau dibilang semuanya baik-baik saja, dua temannya itu belum berinteraksi dengan mereka bertiga sejak pagi.

Waktu berlalu seperti biasa, namun terasa begitu cepat. Runda melirik jam tangan yang dipakainya, menunjukkan pukul 16.45 WIB. Dia menunggu Litha dan Dayi di pos satpam. Niatnya ingin membicarakan apa yang dirasakan oleh Laya dan dirinya. Namun, pikirannya dan hatinya tak sejalan. Pikirannya berkata bahwa ini hal yang wajar, tetapi hatinya tidak bisa menolak rasa sakit saat melihat kedua temannya semakin akrab dengan orang lain.

"Loh, Nda, kamu belum pulang?" tanya Litha dari kejauhan.

Runda pun mendekat. "Belum, Tha. Eh, kalian sibuk nggak hari ini? Yuk, kita makan bakso teteh!"

Litha dan Dayi saling bertukar pandang, tampak canggung. "Maaf, Nda, kayaknya kita nggak bisa. Kita udah ada janji duluan sama Selina, mau main ke rumahnya. Soalnya, hari ini mamanya ulang tahun."

"Oh, gitu. Nggak apa-apa, kalian have fun, ya! Aku duluan, assalamualaikum," ujar Runda sambil melangkah meninggalkan Madrasah Al-Inayah.

Runda berjalan sendirian menuju halte. Biasanya, ia selalu bersama Litha, tapi kali ini berbeda. Sesampainya di halte, dia hanya duduk diam, menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Dalam kesendiriannya, ia mulai introspeksi diri. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Dia merasa ada yang berubah, seperti dirinya menjadi aneh. Ya, aneh.

Setelah beberapa menit menunggu, bus sekolah tiba. Saat masuk, hanya ada satu kursi kosong, dan itu di sebelah seorang laki-laki. Runda memilih berdiri daripada duduk berdekatan dengan yang bukan mahram. Namun, laki-laki berseragam putih abu-abu itu segera bangkit dan mempersilakan Runda duduk.

Kenapa harus bangun sih? Toh, berdiri juga nggak capek-capek banget. Tapi, lumayan deh, bisa tidur, batinnya.

Tanpa Runda sadari, keputusannya untuk tidur di bus sekolah menjadi salah satu keputusan terburuk yang pernah ia buat. Pasalnya, hal itu menjadi awal mula dari sakit yang akan ia derita di kemudian hari.

* * *

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Bunda Nova menghubungi keempat teman Runda, tetapi mereka tidak bersama Runda. Rasa khawatir terhadap putri satu-satunya itu semakin menggebu. Ia mencoba menghubungi Runda untuk kesepuluh kalinya. Handphone-nya berdering, tetapi mengapa Runda tidak mengangkatnya? Ayahnya pun sudah beberapa kali bolak-balik ke halte dekat rumah, namun Runda tidak ada di sana.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari arah pintu.

Bunda Nova langsung menoleh ke pintu rumah, dan tak disangka, itu adalah Runda. Tangisnya seketika meledak tanpa peduli siapa yang ada di sebelah putrinya. Badan Runda dingin dan bibirnya pucat. Juna, adiknya, segera bergegas mengambil air hangat untuk kakaknya.

"Kamu siapa?" tanya Ayah Runda dengan tegas.

"Saya Arnan, Om. Bukan teman Runda, kami hanya satu bus sekolah. Tapi ada kejadian yang sepertinya nggak baik terjadi pada Runda. Jika berkenan, saya ingin menjelaskan kronologi keterlambatan Runda pulang," jawab Arnan dengan sopan.

"Boleh, masuklah, Arnan. Tapi sebelumnya, jangan panggil saya Om, panggil saja Ayah," ujar Ayah Runda dengan sedikit candaan.

Arnan pun masuk ke ruang tamu bersama Ayah Runda. Dari foto-foto yang terpajang di sana, terlihat jelas bahwa Runda adalah seorang penari tradisional. Keren, satu kata yang muncul di pikiran Arnan saat itu. Tak lama kemudian, Bunda Nova turun seorang diri dari lantai atas. Sepertinya, Runda sudah beristirahat karena stamina tubuhnya menurun.

"Izin menjelaskan, Ayah, Bunda," ucap Arnan, yang dibalas dengan anggukan oleh keduanya.

"Saat pertama kali Runda naik ke bus sekolah, semuanya tampak biasa saja. Runda tertidur di dalam bus karena wajahnya sudah terlihat kelelahan saat masuk. Sampai tiba di tempat di mana seharusnya saya turun, tiga halte sebelum halte terakhir, tapi Runda belum juga bangun. Saat itu, bus sekolah sudah hampir kosong, hanya tersisa saya dan Runda," jelas Arnan dengan rinci.

"Runda seharusnya turun lima halte sebelum halte terakhir," kata Bunda Nova dengan wajah sedikit sedih.

"Iya, Bunda. Saya nggak tahu Runda harus turun di halte mana, jadi saya antar dia dulu sampai halte terakhir. Eh, ternyata itu bukan halte yang seharusnya," ucap Arnan, merasa tidak enak kepada orang tua Runda.

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanya Ayah Runda dengan nada serius.

"Saya bangunkan Runda karena sudah sampai di halte terakhir. Dia turun, lalu menatap kosong ke arah case handphone-nya. Tapi tiba-tiba Runda menangis. Saya nggak tahu pasti kenapa," jawab Arnan.

Orang tua Runda saling bertukar pandang. Bunda Nova segera naik ke kamar putrinya. Tak lama, ia kembali dengan membawa handphone Runda. Ia menunjukkan sesuatu kepada suaminya dan Arnan. Mereka cukup terkejut, karena di dalam case handphone itu terselip foto Runda bersama keempat temannya. Kenapa Runda menangis saat melihat foto itu?

"Awalnya saya pikir Runda lagi patah hati, karena saat saya tanya kenapa, dia cuma bilang, 'sepertinya masanya sudah habis'," ucap Arnan, masih dengan wajah penuh kebingungan.

Bunda Nova menarik napas panjang. "Dia memang sering berlebihan. Mudah sekali memikirkan hal-hal yang sebenarnya nggak penting. Ini pasti gara-gara ada masalah sama temannya. Padahal, sebentar lagi pasti akan baik-baik saja."

"Maksud Bunda ngomong begitu apa?"

* * *

Lima Senja di Langit MadrasahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang