0.17 - Tersayat Kata

10 2 0
                                    

Meskipun hati terluka karena kesalahan di antara kita, tapi perasaan saat bersama itu benar-benar nyata.

* * *

Hari ini adalah hari ketiga mereka tak saling bicara. Tak ada lagi kebersamaan di kantin, tak ada lagi menunggu senja berlima, dan tak ada lagi cerita yang dibagi. Renggang—satu kata yang paling tepat menggambarkan keadaan mereka saat ini. Di dalam hati, masing-masing merasa ada yang hilang, namun ego mereka masih menang. Mengapa begitu sulit untuk meminta maaf? Mengapa tak berani jujur tentang apa yang dirasakan? Sayangnya, sikap mereka masih kekanak-kanakan. Entah akan kembali bersama, atau justru berakhir tanpa kata.

Laya, gadis tertua yang tetap setia berusaha mempersatukan kembali persahabatan mereka. Runda, gadis kedua yang teguh dengan prinsipnya: people come and people go. Litha, gadis ketiga yang tak terkalahkan dalam memberi silent treatment. Dayi, gadis keempat yang ingin meminta maaf, namun terlalu malu akan respon teman-temannya. Terakhir, Asyi, si bungsu yang hanya bisa menangis tanpa suara setiap hari.

Empat dari mereka adalah anak pertama, yang tak pernah punya kesempatan untuk mengeluh tentang lelahnya. Menjadi anak bungsu pun bukan berarti selalu dimanja, sering kali justru menjadi yang tersisih. Ada kalanya mereka merindukan kehangatan keluarga, namun harus menunggu seribu purnama untuk merasakannya. Satu-satunya jalan adalah dengan tetap bersama berlima, tapi apakah semesta akan merestui?

Di meja belajar masing-masing, mereka fokus membaca buku untuk penilaian harian Bahasa Indonesia, pelajaran favorit Runda. Pemandangan ini jarang terjadi dalam pertemanan mereka. Biasanya, hanya Runda yang serius belajar Bahasa Indonesia, sementara yang lain lebih suka mendengarkan penjelasannya. Katanya, penjelasan Runda lebih mudah dipahami. Namun kali ini berbeda, mereka harus memahami semuanya sendiri.

Semoga mereka paham apa yang sedang dipelajari, batin Runda sambil menatap ke arah meja keempat temannya.

Laya berjalan mendekati Runda, terus membujuknya agar mau membantunya berbicara dengan yang lain. Laya tak ingin persahabatan mereka hancur begitu saja. Ia masih memikirkan Litha, Dayi, dan Asyi yang kini tak punya tempat untuk mengadu atau sekadar berbagi cerita. Namun, Runda berbeda. Meski ia peduli pada mereka, untuk kembali bersatu sebagai teman dekat tampaknya tidak mudah bagi Runda.

“Kamu beneran udah nggak mau?” tanya Laya, menatap Runda dengan sedih.

Runda tetap diam, menatap buku di tangannya. Sejujurnya, ia ragu untuk menjawab ya atau tidak. Bukan karena ia tidak ikhlas dengan segala yang sudah dilakukan, tapi rasa sakit karena tak pernah mendapat feedback perlahan meresap ke dalam hatinya. Kenapa bisa begitu? Runda sendiri tak tahu. Ia tak ingin merasakan hal itu, ingin mengalahkan perasaan itu, tapi ia tak sanggup.

"Aku bantu ngomong—"

"Yeay!" teriak Laya dengan senang.

Runda segera memegang tangan Laya, berusaha meredakan semangatnya. "Dengerin aku dulu! Aku bantu ngomong hanya untuk mengucapkan maaf. Kita kembali berteman biasa saja, nggak perlu terlalu dekat. Nggak perlu ada istilah kakak beradik lagi. Cukup jadi teman biasa seperti teman sekelas."

"Tapi, Nda—"

"Mau atau nggak, cuma dua itu pilihan jawabannya," jawab Runda dengan suara yang masih ragu.

Laya berpikir sejenak. "Iya, mau."

"Oke."

Bel tanda masuk berbunyi, menandakan bahwa penilaian harian Bahasa Indonesia akan segera dimulai dalam beberapa menit. Laya kembali ke mejanya untuk bersiap-siap, sama seperti teman-teman sekelasnya. Syukurnya, tidak ada sesi terpisah; penilaian dilakukan secara serentak untuk nomor absen ganjil dan genap. Semua siswa kelas XII Agama pasrah menyerahkan hasil penilaian mereka kepada Allah Swt, seperti biasanya.

Penilaian harian selesai dalam waktu 60 menit. Sisa waktu 30 menit digunakan untuk mengoreksi bersama. Tiba-tiba, aura gelap menyelimuti ruang kelas mereka. Meskipun mereka mengucapkan bahwa tidak peduli dengan nilai yang didapat, hati mereka berkata lain. Terlebih lagi, setiap nilai di pelajaran Bahasa Indonesia harus ditandatangani oleh orang tua.

"Bagaimana dengan nilai kalian? Ada yang di bawah KKM atau tidak?" tanya Bu Tya, guru Bahasa Indonesia.

Suasana hening seketika, semua hanya tersenyum sambil memandang nilai masing-masing.

"Runda dan Litha, bagaimana hasil kalian? Kalian adalah siswi yang paling sering meraih nilai tertinggi di Bahasa Indonesia dan si juara kelas empat semester ini," ujar Bu Tya sambil mendekat ke baris meja pertama dekat pintu masuk.

"Spill nilainya dong, Kak!" ledek Dafi dari baris meja keempat yang khusus untuk laki-laki.

"Saya, 95, Bu."

"Saya, 90."

"Nggak apa-apa, tepuk tangan untuk kelas agama semuanya," ucap Bu Tya sambil menginstruksikan agar mereka bertepuk tangan bersama.

Setelah itu, Bu Tya meninggalkan ruang kelas XII Agama. Anak-anak bersorak-sorai senang karena guru pelajaran selanjutnya hanya menitipkan tugas dan tidak masuk ke kelas. Hal ini terjadi karena guru Akidah Akhlak mereka sedang mengambil cuti melahirkan selama tiga bulan. Laya memanfaatkan waktu senggang ini untuk mengobrol bersama teman-temannya. Mereka semua setuju dan beranjak menuju depan kelas, di mana kebetulan tidak ada guru yang lalu-lalang.

"Aku mau bicara, tapi tolong jangan terbawa emosi, bisa?" tanya Laya dengan nada selembut mungkin. Mereka semua mengangguk.

"Sebelumnya, aku ingin minta maaf atas kejadian yang tidak menyenangkan sebelumnya. Maaf sudah mengecewakan kalian, dan maaf telah memaksakan kehendak untuk kembali bersama. Aku di sini hanya ingin menyampaikan bahwa mulai saat ini, kita berlima akan menjadi teman sekelas saja. Kita masih bisa berinteraksi seperti biasa, cuma bedanya istilah 'kakak beradik' tidak kita gunakan lagi," ucap Laya, namun ia belum menyelesaikan kalimatnya.

"Mulai sekarang, masing-masing dari kita bebas untuk berteman dengan siapa pun tanpa takut cemburu satu sama lain. Tidak ada lagi kewajiban untuk mengurus satu sama lain jika sakit atau hal lainnya," sambungnya.

Semua tertegun mendengar pernyataan Laya. Tidak sekali pun ada di benak mereka Laya akan mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkan. Bohong kalau mereka tidak merasa sakit akan hal itu. Runda yang awalnya sudah meneguhkan hati untuk perpisahan ini, tiba-tiba melemah. Ternyata ia tidak sekuat itu, hatinya sangat ingin menangis dengan lantang.

"Baiklah, terima kasih untuk satu setengah tahun ini," ucap Dayi dengan senyuman getir menghiasi bibirnya. Memang, bagi Dayi dan Asyi, semua ini baru berlangsung satu setengah tahun.

Runda menghembuskan napas kasar. "Oke deh, mungkin ini yang terbaik."

Litha membatin, Seandainya aku nggak egois, apa mungkin akhirnya bisa berubah?

* * *

Lima Senja di Langit Madrasah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang