0.3 - Kurang Satu, Tambah Dua

36 7 6
                                    

Pada awal masuk kelas sepuluh, pertemanan mereka terdiri dari empat orang. Awalnya, pertemanan tersebut hangat karena didasari oleh nilai-nilai agama yang kuat. Mereka selalu saling menemani dalam suka dan duka, tetapi hubungan tersebut tidak berlangsung lama. Salah satu dari mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang membuatnya harus meninggalkan Madrasah Al-Inayah.

Selama sekitar enam bulan, ketiganya merasa terpuruk. Mereka merasa gagal sebagai teman, terutama Runda karena ia adalah yang paling dekat dengan gadis tersebut. Setiap malam, tangis menghiasi kamarnya, membuatnya takut untuk berkenalan dengan teman baru karena ketakutan akan kegagalan sebelumnya.

"Nda, kenapa kau terdiam?" tanya Laya sambil duduk di samping Runda.

Runda menatap mata Laya dengan gemetar, "Aku takut, Laya."

"Hei, apa yang terjadi? Coba cerita," ucap Laya sambil memegang tangan Runda.

"Aku senang kita semakin dekat dengan Dayi dan Asyi, tapi aku takut masalah lama akan terulang," ujar Runda sambil meneteskan air mata.

"Laya, bagaimana jika kita kehilangan lagi seperti sebelumnya? Bagaimana jika kita gagal lagi?" tanya Runda penuh kekhawatiran.

"No! Insyaallah, tidak akan terjadi. Ucapkan yang baik-baik saja agar semesta mendukung pertemanan baru kita. Semoga Allah dan para penduduk langit merestui pertemanan tanpa ada kesalahan seperti sebelumnya," kata Laya.

"Iya, Laya. Aku akan berusaha," jawab Runda sambil menghapus air mata di pipinya.

"Good job, adikku yang satu ini. Tetap berpikir positif," ucap Laya sambil tersenyum.

Runda mengangguk. Ia merasa beruntung memiliki Laya dalam hidupnya. Sebagai anak pertama, Laya adalah figur yang harus ada di setiap rumah. Laya, tolong hidup lebih lama untuk keempat adikmu, ya!

* * *

Kemudian, kelima gadis berjalan bersama ke kantin. Bakso Enyak, seblak Mang Tarso, dan nasi kebuli menjadi menu favorit di Madrasah Al-Inayah. Mereka memilih tempat duduk di pojok kanan yang asri dan strategis karena bentuk mejanya yang melingkar.

"Mau pesan apa?" tanya Dayi sebelum duduk.

"Runda dan Litha harus makan nasi, kalian belum sarapan," celetuk Laya.

"Huft, pasti bunda yang kasih tahu kamu," kata Litha.

"Kamu kaya nggak tahu bunda kita, Tha. Laya lebih dekat dengan bunda," ucap Runda.

"Ini demi kebaikan kalian. Sakit lambung itu tidak enak," kata Laya dengan wajah sinis.

"Aku seblak, Day. Jangan terlalu pedas," ucap Asyi.

"Aku dan Runda pesan rice bowl Enyak aja, deh," ucap Litha.

"Kamu, Laya?" tanya Dayi.

"Aku bawa kentang goreng, lagi kurang mood makan berat," jawab Laya.

"Okay! Yang lain tunggu sebentar, ya," ucap Dayi.

Setelah memesan, mereka melanjutkan obrolan untuk saling mengenal. Tanpa disadari, mereka memiliki latar belakang keluarga yang hampir sama.

Saat sedang asyik mengobrol, dua sosok familiar mendekat. Zahra dan Syahida, MC andalan di setiap peringatan hari besar Islam di sekolah menghampiri mereka.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Zahra dan Syahida serempak.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka berlima.

"Maaf banget jadi ganggu kalian ngobrol," kata Zahra dengan sedikit rasa tidak enak.

"Eh, nggak apa-apa, Zahra. Ada keperluan apa?" tanya Laya.

"Izin, ya, Laya, mau memberitahu Litha untuk rapat persiapan LDKR," ucap Syahida dengan sopan.

"Oh iya, boleh. Memang jam berapa rapat persiapan LDKR, Sya?" tanya Laya penasaran.

"Setelah pulang sekolah, kok, cuma pengurus inti saja nanti yang rapat," jawab Zahra.

"Semangat rapat, ya, Ibu wakaput!" ucap Asyi memberi semangat kepada Litha.

"Pusing deh aku, padahal niatnya pulang sekolah mau langsung balik ke rumah. Dadakan terus kalau ada info rapat," ucap Litha dengan nada sedikit kesal. Sudah berkali-kali info rapat selalu diberitahukan secara mendadak.

"Kayanya ribet banget, si, jadi pengurus inti," celetuk Runda sembari menyeruput es teh manis miliknya.

"Plottwist-nya Runda jadi pengurus inti di periode ini," sahut Dayi meledek.

"Oh, tidak akan! Ada Zahra, Syahida, Litha, mereka lebih cocok," ucap Runda dengan senyuman terpaksa.

"Hm, tapi kita nggak bisa jadi pengurus inti, Nda," ucap Syahida perlahan.

"Loh, memang kenapa?" tanya Runda sedikit terkejut.

"Kita kan MPK (Majelis Perwakilan Kelas), jadi nggak boleh memegang jabatan penting di ekskul," sahut Litha.

"What?!"

* * *

Lima Senja di Langit MadrasahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang