0.16 - Tak Lagi Sama

1 1 0
                                    

Manusia berubah, begitu pula perasaannya. Apa yang dulu begitu pasti, kini bisa memudar seiring waktu.

* * *

Lima gadis kini berkumpul di sebuah ruangan sunyi, tanpa ada orang lain selain mereka. Keheningan terasa begitu pekat, seolah tak berujung. Masing-masing duduk diam di mejanya, tanpa sepatah kata. Laya, yang sebelumnya berbicara di telepon dengan Runda, tampak masih ragu untuk memulai percakapan yang direncanakan. Ketidakpastian melingkupi pikirannya. Rasa takut juga menggerogoti—takut kalau apa yang akan terjadi tak sesuai harapan.

Di sisi lain, seorang gadis berusaha menjelaskan sesuatu, tapi gengsi menahannya. Ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan bahwa apa yang terjadi kemarin tak seperti yang mereka bayangkan. Gadis itu memilih diam, berpura-pura tak peduli pada apa yang sedang mereka alami. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan perih—melihat sahabat yang selama ini ia anggap sebagai rumah yang hangat, kini perlahan-lahan terguncang.

Dalam keheningan yang mencekam, Laya berdehem pelan. "Mau sampai kapan kita begini terus?" katanya, memecah kesunyian. Namun, tak ada jawaban. Mereka hanya melirik sekilas ke arah Laya, lalu kembali tenggelam dalam layar handphone masing-masing.

"Hei, aku bicara sama kalian!" suara Laya meninggi, emosinya mulai memuncak.

Tiba-tiba, suara gebrakan meja menggema dari arah Dayi. "Jadi, kamu maunya apa?" tanyanya dengan nada tajam. Suasana yang semula hening kini berubah panas, dengan kemarahan yang mulai merayap di antara mereka.

"Kenapa waktu aku pertama ngomong kalian diam saja? Kenapa nggak ada yang mau respon?" Laya menatap satu per satu keempat temannya, mencari jawaban dari kebisuan mereka.

Runda, Litha, dan Asyi tetap diam, membiarkan Laya dan Dayi terjebak dalam perdebatan sengit. Tak ada yang tahu pasti apa penyebab semua ini. Yang jelas, menyaksikan dua di antara mereka saling meluapkan emosi setinggi ini sungguh menyakitkan. Tak lama kemudian, Runda, sebagai yang tertua kedua, akhirnya angkat bicara. Ia mencoba menengahi perdebatan antara kakak dan adiknya. Jika perdebatan ini terus berlanjut, mereka tidak akan pernah menemukan solusi.

Semuanya kembali terdiam, berusaha meredam ego masing-masing. Laya merasa bersalah karena membiarkan emosinya meluap saat berbicara dengan Dayi, begitu pula dengan Dayi. Runda dan Litha menahan air mata mereka meski terasa begitu berat. Sementara Asyi, ia membiarkan air matanya jatuh, tak seorang pun menyadarinya.

"Kayaknya ada yang salah deh di antara kita berlima," ucap Runda dengan nada serius. Mereka semua memperhatikan setiap kata yang diucapkannya.

"Coba jelasin, kamu ngerasa salah apanya?" tanya Litha, suaranya terdengar sedikit tidak tenang, tapi tidak juga tinggi.

"Gini deh, Tha. Kamu anggap aku dan Laya itu apa sih?" tanya Runda dengan nada yang lebih tegas.

"Ya, teman. Memang kenapa?" jawab Litha. Lagi-lagi ia menyesal, tak berani mengakui bahwa sebenarnya ia menganggap Laya dan Runda sebagai kakaknya.

Laya dan Runda mengernyitkan dahi mendengar ucapan Litha. Selama ini, mereka selalu menganggap Litha sebagai adik. Bahkan dibandingkan dengan Dayi dan Asyi, justru Litha yang paling sering mendapat perhatian dan kasih sayang dari mereka berdua. Bukan karena mereka tak sayang pada Dayi dan Asyi, tapi Laya dan Runda merasa Litha masih butuh lebih banyak bimbingan, sementara Dayi dan Asyi dianggap lebih dewasa.

"Tha, kamu sadar nggak sih kalau kamu paling sering dapat perhatian dari Laya dan Runda?" tanya Asyi dengan nada geram. Namun, Litha hanya diam.

"Loh, kenapa kamu yang emosi?" jawab Dayi membela Litha.

"Kamu bela orang yang nggak tahu terima kasih? Dia sakit lambung, siapa yang ngurus? Dia nyeri haid, siapa yang ngurus? Siapa yang sibuk nyari obat pereda nyeri?" tanya Asyi dengan suara bergetar, air mata sudah pecah.

"Litha juga nggak minta semua itu, emangnya Litha minta bantuan kalian?" balas Dayi dengan nada tak kalah kesal.

"Oh iya, Litha emang nggak minta bantuan, tapi sebagai teman dan kakak, Laya dan Runda punya inisiatif. Nggak kayak kamu!" ucap Asyi. Setelah itu, ia meninggalkan ruangan yang merupakan kelas mereka. Hatinya terasa pedih; ia tak sanggup berlama-lama di sana.

Litha terdiam, mencerna semua kata yang keluar dari mulut Asyi. Rasa bersalah menyelimuti wajahnya, meskipun ia juga merasa ucapan Dayi benar. Ia tak pernah minta tolong, jadi kenapa harus merasa bersalah?

Dayi kembali ke mejanya, membereskan semua barang di atas meja. Ia mengenakan hoodie dan topi, seperti biasanya saat ingin pulang sekolah. Di antara mereka berempat, tak ada satu pun yang tersenyum. Runda kemudian menyusul ke mejanya. Bedanya, ia hanya duduk di sana, belum ada niat untuk pulang ke rumah. Litha menatap Laya yang duduk tak jauh darinya. Saat Laya menyadari tatapan itu, ia membalas dengan tatapan kosong. Namun, secepatnya Litha mengalihkan pandangannya ke layar handphone.

Ya Allah, kenapa semuanya jadi begini? batin Laya.

Litha dan Dayi pergi meninggalkan kelas tanpa sepatah kata pun. Saat menutup pintu, mereka melakukannya dengan sedikit keras, membuat Laya dan Runda memejamkan mata. Setelah keduanya pergi jauh, tangis Runda pecah. Rasa sesak di batinnya kini berhasil menenggelamkannya. Mendengar tangis Runda, Laya segera mendekatinya. Ia tahu Runda juga menderita sakit lambung seperti Litha. Dengan lembut, Laya membantu Runda mengatur napas perlahan hingga Runda kembali tenang.

"Setiap orang memiliki masanya, dan setiap masa memiliki orangnya. Apa mungkin masa pertemanan kita sudah berakhir?" tanya Runda, menatap kosong ke arah depan.

"Sstt, jangan ngomong gitu. Aku akan berusaha untuk ini, kamu dukung aku terus, ya!"

* * *

Dayi tiba di rumah dengan segala kebisingan yang ada di kepalanya. Rasa salah, sedih, dan kesal bercampur aduk di dalam hati kecilnya. Di satu sisi, ia merasa bersalah atas sikapnya, tetapi di sisi lain, ia tak ingin dianggap kalah dan disalahkan. Tanpa sadar, Dayi menangis di meja belajarnya dalam kesendiriannya. Ia bingung harus bersikap bagaimana; yang ia inginkan hanyalah menghilang dari semua orang dalam hidupnya.

"Lebih baik aku keluar grup, biar nggak merepotkan yang lain," gumam Dayi sambil membuka grup WhatsApp pertemanan mereka.

Aku minta maaf, batin Dayi saat menatap fotonya bersama keempat temannya di profil grup mereka.

* * *

Lima Senja di Langit MadrasahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang