0.11 - Syafakillah, Asyi

13 1 2
                                    

Sakitmu adalah hadiah terbaik dari-Nya, karena melalui itu, dosa-dosa yang disengaja maupun tidak disengaja, insyaaallah akan diampuni.

* * *

Setelah satu bulan memasuki kelas XII, perasaan bahagia dan sedih bercampur di hati para siswa kelas XII Agama. Bahagia karena sebentar lagi mereka akan melangkah ke dunia perkuliahan, namun sedih karena perpisahan sudah di depan mata. Lima gadis yang aktif dalam ekstrakurikuler Kerohanian Islam kini tengah sibuk mempersiapkan LDK untuk periode berikutnya. Waktu terasa berjalan begitu cepat; rasanya baru kemarin Runda dilantik sebagai ketua keputrian, namun sebentar lagi ia akan menyerahkan jabatannya.

Hari ini adalah rapat ketiga persiapan LDK. Kehadiran Laya dari divisi kepengawasan, Litha dari divisi pembinaan, Dayi sebagai bendahara 1, dan Asyi dari divisi desain sangat penting dalam rapat ini. Agendanya adalah membahas perlengkapan yang diperlukan saat LDK. Sayangnya, Asyi tidak masuk sekolah hari ini, jadi tidak dapat mengikuti rapat.

Syahzan, selaku ketua Rohis, bertanya kepada Runda mengenai sakit apa yang dialami oleh Asyi. Anehnya, Runda dan ketiga temannya tidak mengetahui detailnya. Yang mereka tahu hanyalah Asyi sudah tidak bersekolah selama empat hari. Kemarin, Dayi telah mencoba menghubungi keluarga Asyi, namun sayangnya tidak ada jawaban.

Setelah rapat selesai, mereka berempat berdiskusi di pendopo depan kelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Asyi. Mereka bertanya-tanya mengapa Asyi tidak memberi kabar dan mengapa orang tua Asyi tidak membalas pesan atau mengangkat telepon.

"Fiks, kita harus jenguk," celetuk Runda tiba-tiba.

Litha mengangguk setuju, "Benar, kalau nggak jenguk, kita nggak akan tahu apa yang terjadi pada Asyi."

"Gimana mau jenguk, rumah sakitnya aja kita nggak tahu," ucap Dayi dengan nada pesimis, karena mereka memang tidak tahu di mana Asyi dirawat.

"Tanya Bu Niar, pasti Bu Niar tahu," ucap Laya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Bu Niar adalah wali kelas baru mereka di kelas XII. Beliau memiliki sikap lembut, tidak mudah marah, dan tutur kata yang menyenangkan. Mereka berempat yakin Bu Niar akan menjawab semua pertanyaan mereka. Ini demi Asyi, karena kabarnya hal ini sangat penting bagi mereka.

Keesokan harinya, Runda dan Dayi berjalan menuju kantor guru, melewati anak-anak yang sedang berolahraga di lapangan. Berdasarkan jadwal pelajaran, Bu Niar tidak memiliki kelas hari ini. Karena itu, Runda dan Dayi memutuskan untuk bertanya sekarang juga. Rasa rindu pada Asyi sudah semakin membuncah—rindu akan suara dan candaannya.

Mereka mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Para guru yang ada di sana mempersilakan Runda dan Dayi masuk. Mereka segera berjalan menuju meja kerja Bu Niar untuk menanyakan tentang kondisi Asyi. Namun, kali ini ada perasaan berbeda—rasa deg-degan menyelimuti mereka. Apakah Bu Niar akan memberikan informasi atau tidak, menjadi pertanyaan yang menghantui.

"Assalamualaikum, Bu Niar," ucap mereka serempak.

"Waalaikumussalam, ada perlu apa, Nak?" tanya Bu Niar sambil memutar kursinya menghadap Runda dan Dayi. Keduanya hanya saling menatap, merasa sedikit canggung untuk bertanya.

"Loh, kenapa malah saling tatap? Ayo, ngomong saja. Pasti ada yang mau ditanyakan, kan?" kata Bu Niar dengan lembut.

Runda, yang merasa lebih tua, mengambil inisiatif untuk bertanya, meskipun selisih usia dengan Dayi hanya dua bulan sembilan belas hari. "Kami ke sini mau menanyakan tentang Asyi, Bu."

Bu Niar berdecak kecil. "Sudah Ibu tebak, pasti kalian akan menanyakan soal itu."

"Iya, Bu. Kami sudah mencoba menghubungi keluarganya, tapi sampai sekarang belum ada jawaban," ucap Dayi dengan wajah sedih.

Bu Niar tersenyum lembut kepada mereka berdua. Sebagai wali kelas, ia tahu betul penyakit yang diderita Asyi. Sebenarnya, Bu Niar juga ingin memberi tahu Runda dan Dayi, mengingat Asyi adalah sahabat dekat mereka, bahkan sudah dianggap seperti adik sendiri. Namun, keluarga Asyi melarang Bu Niar untuk mengungkapkan kondisi penyakitnya kepada mereka.

Bu Niar dengan lembut menjelaskan bahwa ia tidak bisa memberi tahu apa yang mereka tanyakan. Beliau telah berjanji kepada keluarga Asyi untuk menjaga amanah tersebut hingga keluarga sendiri yang menyampaikannya. Mendengar penjelasan Bu Niar, Runda dan Dayi hanya bisa terdiam, merasa kecewa. Namun, mereka paham bahwa menjaga amanah adalah hal yang sangat penting.

Bel istirahat berbunyi, mereka keluar dari kantor guru dan kembali ke kelas. Memang, sebelumnya kelas mereka tidak ada guru karena guru Ushul Fiqh sedang melaksanakan ibadah umrah. Mereka bingung harus mencari cara lain untuk mengetahui kabar Asyi. Rasa sesak dan air mata yang tertahan mulai menguasai hati mereka saat ini.

Saat baru tiba di kelas, mereka sedikit heran melihat Litha menangis di pelukan Laya. Ada apa ini? Mengapa Litha menangis?

"Kenapa?" tanya Runda dengan gerakan bibir.

Laya, yang mengerti maksud Runda, perlahan melepas pelukan Litha. "Aku mau bicara sama kalian, tapi tolong tenang dulu, ya."

"Ah, kalau sudah begini pasti ada kabar nggak enak," ucap Dayi dengan malas, yakin bahwa firasatnya benar.

"Asyi... dia sakit lemah jantung," ucap Laya dengan suara bergetar, menahan tangis. Namun, tidak demikian dengan Dayi dan Litha—tangis mereka langsung pecah setelah mendengar kabar itu.

Runda memeluk Dayi, sementara Laya merangkul Litha. Sebagai yang tertua, Runda dan Laya berusaha tetap tegar. Laya kemudian menjelaskan bahwa paman Asyi telah meneleponnya dan memberi tahu kondisi tersebut. Beliau juga menyampaikan bahwa Asyi bisa dijenguk setelah pulang sekolah nanti.

"Ayo, kita jenguk Asyi. Kita harus ketemu dia," rengek Dayi dengan napas tersengal-sengal.

"Kita beli hadiah juga, ya, buat Asyi. Kan, hari ini ulang tahunnya," pinta Litha. Runda dan Laya mengangguk setuju dengan ucapan Litha dan Dayi. Mereka berusaha menenangkan diri dan melanjutkan pelajaran hingga akhir.

Begitu bel tanda selesai pelajaran berbunyi, mereka berempat segera bergegas menuju Rumah Sakit Husada Bakti, tempat Asyi dirawat. Mereka membawa buah-buahan dan hadiah untuk Asyi. Sesampainya di sana, mereka memeluk Asyi dengan ceria, tidak ingin membuatnya sedih karena mereka sendiri pun sedih.

"Asyi, ini buat kamu," ucap Dayi sambil menyerahkan hadiah ulang tahun.

Asyi tersenyum haru—senyuman yang sudah lama tak terlihat. Rasanya menghangatkan hati melihat si adik bungsu tersenyum lagi.

"Tetap bersyukur ya, Syi. Sakit kamu ini adalah hadiah terindah dari Allah," ucap Litha sambil mengelus kepala Asyi yang tertutup hijab.

"Iya, alhamdulillah," jawab Asyi pelan.

Mereka berempat memeluk Asyi dengan penuh kehangatan. Rasa rindu akhirnya tersalurkan, dan senyum-senyum indah menghiasi wajah mereka. Syafakillah, Asyi, ayo segera kembali ke sekolah.


* * *

Lima Senja di Langit MadrasahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang