0.7 - Berjuta Cinta untuk Laya

24 8 15
                                    

Dalam setiap perjalanan hidup, sahabat adalah rumah yang kita bawa di dalam hati, memberikan rasa aman di setiap langkah.

* * *

Setelah insiden gadis yang terjatuh di aula beberapa hari lalu, Laya semakin sering terdiam. Entah apa yang ia alami belakangan ini, namun jelas ia tidak seperti biasanya. Ia jarang menyapa teman-teman, matanya sering terlihat sembab, dan earphone yang selalu terpasang di telinganya. Kini, Laya hanya berbicara seperlunya.

Runda, Litha, Dayi, dan Asyi tentu menyadari perubahan tersebut. Mereka bingung harus bersikap bagaimana. Di satu sisi, mereka ingin memberi ruang bagi Laya untuk menyendiri jika itu yang ia butuhkan. Namun, di sisi lain, mereka juga ingin siap sedia untuk mendukung dan membantu jika Laya menghadapi masalah.

Bel tanda pergantian jam pelajaran telah berbunyi. Sekarang, mereka akan memasuki jam pelajaran SKI. Bu Nisa, sebagai wali kelas sekaligus guru SKI, memasuki ruang kelas dengan membawa buku nilai dan LKS di tangannya. Kebetulan, hari ini mereka akan melaksanakan penilaian harian.

"Sudah siap untuk penilaian harian SKI hari ini?" tanya Bu Nisa kepada seluruh siswa kelas XI Agama.

"Belum siap, Bu!" jawab mereka serempak dengan nada cemas.

Bu Nisa hanya menggelengkan kepala. Setiap kali ditanya siap atau tidak untuk penilaian harian, seluruh siswa pasti menjawab tidak dengan lantang. Namun, suka atau tidak, mereka tetap harus melaksanakannya. Penilaian harian bertujuan untuk mengukur pemahaman siswa dan memastikan mereka menguasai materi yang telah diberikan.

"Ibu akan membagi penilaian ini menjadi dua sesi. Sesi pertama untuk nomor absen genap, dan sesi kedua untuk nomor absen ganjil. Paham, semua?" tanya Bu Nisa untuk memastikan.

"Paham, Bu," jawab mereka serempak.

Laya, Runda, dan Litha masuk ke sesi yang sama, sesi pertama. Dari gerak-geriknya, Runda terlihat sedikit canggung. Mungkin setelah penilaian harian selesai, Runda berencana mengajak Laya berbicara. Tapi, kemudian dia berpikir ulang—mungkin lebih baik jika dia mengirim pesan duluan.

Dalam waktu 90 menit, penilaian harian pun selesai. Para siswa dipersilakan mengambil handphone mereka di kotak penyimpanan. Runda menjadi siswa terakhir yang mengambil handphone, bukan karena belum selesai mengerjakan, tetapi karena malas mengantre. Pandangannya tertuju pada Laya yang dengan cepat melangkah keluar kelas. Runda segera membuka ruang obrolan WhatsApp-nya.

Anda
Assalamualaikum Laya, maaf kalau aku harus kirim pesan ini. Aku sadar akhir-akhir ini ada perubahan dari kamu. Kalau boleh tahu, ada apa, Laya? Kamu bisa cerita ke aku, kalau kamu mau

Laya
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Runda membaca balasan Laya lewat notifikasi pesan di layar handphone-nya. Laya hanya membalas salamnya saja. Runda tahu, Laya memang sedang tidak baik-baik saja. Dia paham perasaan ingin menyendiri itu. Namun, tak lama kemudian, notifikasi pesan kembali berbunyi.

Laya
Nda, boleh nggak aku ngobrol sama kamu?

Anda
Boleh banget, Laya. Kita mau ngobrol di mana nih?

Laya
Di taman belakang perpustakaan

Anda
Oke, tunggu aku di sana, ya

Runda segera bergegas menuju taman belakang perpustakaan, tanpa menghiraukan tali sepatunya yang terlepas. Pikirannya kini hanya tertuju pada Laya. Ia merasa perlu mengetahui alasan di balik perubahan Laya belakangan ini. Tanpa disadari, beberapa orang mengikuti langkahnya menuju taman belakang perpustakaan.

Runda menatap Laya dari kejauhan. Gadis itu meneteskan air mata tanpa ada yang menyadari. Runda segera menghampiri dan memegang kedua tangan Laya. Laya terus menangis tanpa henti, tampak benar-benar kalah oleh emosinya.

"Nggak apa-apa, Laya. Di sini, kamu boleh menangis sepuasnya. Jangan ditahan, lepaskan semua perasaanmu. Aku tahu pasti ada sesuatu yang membuat hatimu sakit," ucap Runda dengan tatapan penuh kepedihan.

"Rasanya sakit, Nda. Aku ingin pergi dari rumah. Dunia ini terasa sangat jahat," ucap Laya sambil menangis tersedu-sedu.

"Napas dulu, Laya. Coba ceritakan detailnya. Kenapa setelah insiden Nur jatuh saat LDK, kamu jadi lebih pendiam?" ucap Runda sambil memberikan sebotol air mineral kepada Laya.

Laya berusaha menetralkan napasnya. "Jadi, setelah aku membantu Nur, aku langsung pulang ke rumah. Kedua adikku juga sudah pulang. Saat itu, aku merasa capek, Nda, jadi suasana hatiku nggak stabil. Bunda minta tolong aku untuk mencuci piring, dan aku nggak menolak. Air yang Bunda masak juga mendidih, jadi aku minta tolong Hana untuk mematikan. Tapi ..." Laya menggantungkan kalimatnya. Runda mengusap bahu Laya untuk menenangkan.

"Bunda mencubit lenganku, Nda. Bunda marah ketika aku minta tolong Hana mematikan air yang mendidih. Bunda bilang, aku sudah besar, jadi tidak perlu minta tolong Hana yang masih kelas 5 SD. Setelah itu, Bunda juga melemparkan panci panas bekas masak air ke tanganku. Ini bekasnya," ucap Laya sambil menunjukkan cubitan dan lepuhan di tangannya.

"Ya, Allah! Aku kira kamu memakai handsock karena memang ingin memakainya. Laya, maaf kalau aku kurang peka. Apa luka-luka ini sudah diberi obat?" tanya Runda. Namun, tiba-tiba seorang gadis berlari ke arahnya.

"Layaaaaa," seru gadis tersebut.

"Asyi, tunggu!" panggil Litha dan Dayi bersamaan.

Ternyata, beberapa orang yang mengikuti Runda tadi adalah Litha, Dayi, dan Asyi. Mereka telah menguping obrolan Laya dan Runda sejak awal. Awalnya mereka berusaha kuat, tapi lama kelamaan, si bungsu Asyi tidak tahan melihat Laya yang sesegukan saat bercerita.

"Nda, apakah Bunda begitu karena aku bukan anak kandungnya?" tanya Laya dengan wajah basah oleh air mata.

Runda menggelengkan kepala. "Sstt, kamu jangan berpikir begitu, Laya. Mungkin Bunda hanya sedang emosi."

"Laya, tangan kamu kenapa?" tanya Asyi, masih dengan air mata di wajahnya.

"Nggak apa-apa, Syi. Luka dikit aja," jawab Laya.

Litha merasa bingung harus berbuat apa, dan Dayi pun merasakan hal yang sama. Mereka saling berbicara melalui kontak mata, tanpa perlu kata-kata. Tanpa bersuara, mereka saling memahami. Litha dan Dayi mulai memeluk Laya, dan Runda serta Asyi yang melihat itu juga ikut berpelukan. Keempatnya berusaha menghangatkan Laya, menjadi tempat yang nyaman dan aman, serta menjadi rumah bagi Laya saat dia merasa lelah dengan dunianya.

"Jangan diamkan kami lagi, Laya! Aku sedih melihatmu seperti ini," ucap Dayi dengan air mata yang mengalir.

"Iya, jangan diamkan aku juga!" tambah Litha, wajahnya juga basah oleh air mata.

Runda sedikit tersenyum melihat kelakuan ketiga adiknya. Menggemaskan! Satu kata yang sangat cocok untuk mereka. Senyuman yang lama tak terlihat itu kini akhirnya kembali lagi.

Terima kasih, Laya. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini, batin Runda.

* * *

Lima Senja di Langit Madrasah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang