0.12 - Cemburu Sosial

5 1 0
                                    

Kadang, bukan jarak yang membuat kita merasa jauh, tapi waktu yang mereka habiskan dengan orang lain.

* * *

Hari ini adalah jadwal pelajaran keterampilan untuk kelas XII Agama dan XII IPS 3. Madrasah Al-Inayah merupakan salah satu sekolah Islam terbaik yang menawarkan pelajaran keterampilan tambahan. Terdapat empat bidang keterampilan yang diajarkan, yaitu tata busana, elektro, otomotif, dan desain grafis. Awalnya, mereka berlima memilih kelas keterampilan yang sama, yaitu tata busana. Namun, pada bulan kedua kelas X, salah satu dari mereka memutuskan untuk pindah ke desain grafis.

Mereka yang memiliki jadwal kelas tersebut segera bergegas menuju ruangannya masing-masing. Karena keterbatasan kursi, siswa kelas XII Agama dan XII IPS 3 sering kali harus berebut kursi, sebab jika tidak kebagian, mereka harus belajar secara lesehan. Berkat keberanian Laya dan Runda, mereka selalu diandalkan oleh teman-teman sekelas untuk mengamankan 20 kursi. Semua itu dilakukan demi kenyamanan mereka saat belajar.

Laya, Runda, Litha, dan Dayi duduk berdampingan, sementara Asyi tidak ada bersama mereka karena ia mengambil kelas desain grafis. Mereka berempat bertanya-tanya materi baru apa yang akan diberikan oleh Bu Yuna. Sebelumnya, mereka telah menyelesaikan pembuatan rok yang dirancang masing-masing untuk diri mereka sendiri. Apakah setelah ini mereka akan membuat celana, atau mungkin baju?

Bu Yuna memasuki ruangan dengan spidol dan penggaris panjang di tangannya, lalu mulai menggambar sebuah bentuk di papan tulis. Bukan hanya mereka berempat yang menerka-nerka, seluruh siswi di kelas pun ikut penasaran. Beberapa menit kemudian, sebuah pola besar lengkap dengan rumusnya terpampang jelas di papan tulis.

"Sudah terlihat jelas, kan? Pola apa ini?" tanya Bu Yuna sambil mengetukkan penggaris ke papan tulis.

"Pola celana wanita dewasa," jawab salah satu siswi.

"Benar, ini adalah pola celana wanita dewasa. Sekarang kalian gambar pola kecil dulu, gunakan skala ¼ seperti biasa, ya," perintah Bu Yuna kepada seluruh siswinya.

"Baik, Bu," jawab mereka serempak.

Mereka kembali fokus pada tugas masing-masing, tak ada yang menghiraukan hal-hal tak penting. Setiap orang berusaha memahami setiap garis yang dicontohkan oleh Bu Yuna dengan saksama. Dalam waktu kurang lebih 30 menit, tak ada lagi yang memegang pensil. Menyelesaikan tugas dengan durasi sepanjang itu bukan masalah bagi mereka.

Bu Yuna menjelaskan langkah berikutnya setelah membuat contoh pola kecil. Ia menginstruksikan para siswinya untuk mengukur ukuran tubuh masing-masing. Laya mencolek Litha, ingin meminta tolong untuk mengukur lingkar panggul dan lingkar pesaknya. Namun, Litha tidak merespons dan tetap fokus membantu teman di sebelahnya, Selina. Runda yang menyadari hal itu segera membantu Laya, karena dia sudah selesai mengukur dengan bantuan Alya.

Litha benar-benar tidak merasakan atau bagaimana, ya? batin Laya.

Runda melirik ke arah Laya yang fokus menatap Litha. Ada rasa penasaran dalam hatinya, apakah Litha tidak merasakan atau tidak mau membantu Laya. Namun, Runda segera menepis pikiran itu. Mana mungkin Litha bersikap seperti itu; mungkin dia hanya tidak merasakan sentuhan Laya.

"Sudah selesai, tadi angkanya sudah dicatat kan? Jangan lupa itu angka penting sampai materi baju selesai ya Laya," ucap Runda seraya memberikan pita ukur kepada Laya.

Setelah semua siswi mengukur ukuran tubuh masing-masing, Bu Yuna memberitahu mereka untuk menghitung ukuran sesuai dengan rumus yang ada di papan tulis. Mereka akan membuat pola kecil berdasarkan ukuran masing-masing, sehingga celana yang mereka jahit nanti akan bermanfaat.

Bel tanda berakhirnya jam pelajaran keterampilan berbunyi. Setelah tiga jam berkutat dengan penggaris dan hitung-hitungan, akhirnya mereka bisa bernapas lega. Kebetulan, mereka memiliki jam istirahat selama 45 menit sebelum melanjutkan ke pelajaran berikutnya. Namun, istirahat kali ini berbeda; tak satu pun dari mereka berlima yang mengajak pergi ke kantin.

Asyi melihat Litha bersama Selina pergi keluar kelas, diikuti oleh Runda dan Alya. Ia menoleh ke arah meja Dayi, namun tak ada siapa pun di sana. Asyi ingin ke kantin, tetapi merasa ragu untuk pergi sendiri karena banyak siswa laki-laki IPS berkumpul di pintu masuk kantin. Apa aku harus ajak Laya? pikirnya. Namun, sepertinya Laya sedang tidak mau diganggu.

Asyi memberanikan diri pergi ke kantin sendirian. Dari kejauhan, ia tidak melihat ada kumpulan siswa laki-laki di pintu masuk, dan itu membuatnya lega. Ia hanya ingin membeli rice bowl karena perutnya sudah lapar, apalagi ia harus segera minum obat dan vitamin untuk menjaga staminanya. Saat tiba di kantin, matanya menyapu ruangan, dan ia melihat Runda dan Alya di satu sisi, lalu Litha, Dayi, dan Selina di sisi lain. Tapi aneh, kenapa mereka tidak duduk di satu meja? Padahal meja itu cukup besar untuk lima orang.

Runda yang melihat Asyi segera mendekat dan mengajaknya bergabung di mejanya bersama Alya. Alya pun tampak setuju tanpa keberatan. Namun, Asyi dengan halus menolak ajakan itu, mengingat Laya yang sendirian di kelas. Runda tiba-tiba teringat bahwa ia belum banyak berinteraksi dengan Laya hari ini. Akhirnya, Runda mengajak Alya untuk kembali ke kelas bersama Asyi.

Setibanya di kelas, Runda melihat Laya yang asyik mendengarkan musik dengan earphone. Ia mencolek Laya, "Lagi dengerin lagu apa?"

Laya melepas earphone dari telinganya dan menjawab singkat, "Run BTS."

Runda menatapnya dengan bingung, "Kamu kenapa sih? Kok tumben sikapnya kayak gini?"

"Kenapa sih? Perasaan aku fine-fine aja," balas Laya dengan nada dingin.

"Fine apanya? Karena aku atau karena siapa kamu berubah gini?" tanya Runda, sedikit kesal.

Laya menghela napas kasar, "Emang penting ya, Nda?"

"Ya, aku cuma mau minta maaf kalau ini karena aku," ucap Runda. Ia merasa ada yang berubah dari sikap Laya, terutama setelah seharian ini ia lebih banyak bersama Alya, teman sebangkunya.

"Bukan karena kamu," jawab Laya pelan.

"Bukan juga karena Litha, Dayi, atau Asyi," lanjutnya.

"Terus karena siapa?" tanya Runda semakin penasaran.

"Karena..."

* * *

Lima Senja di Langit MadrasahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang