Prolog - "Awalan"

38 11 3
                                    

—————

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—————

Setiap hari...

Aku selalu terjebak dalam lingkaran yang sama. Makhluk yang selalu kulihat berdesas-desus seolah aku adalah buah bibir mereka, terus menerus. Mereka memperlakukanku seperti orang buangan karena menilai rendah statusku. Semua ini udah menjadi bagian dari hidupku. Aku sudah terbiasa menutup telinga terhadap perkataan mereka. Namun, ada hal yang lebih menggangguku adalah aku kerap kali melihat bayangan-bayangan mereka, bukan wujud asli mereka, tetapi kebencian itu. Hal ini pernah membuatku menganggap diriku sudah benar-benar gila. Pernah saja aku mengunjungi ke seorang dukun untuk menyembuhkanku.

Tetapi, usaha itu sia-sia.

Sering sekali, aku merasa semua orang disekitarku tidak pernah benar-benar disini, meskipun tubuh mereka ada dan tampak nyata keberadaannya. Mereka seperti ilusi yang terkoyak-koyak, bayangan yang tampak samar dan terdistorsi. Setiap menatap mereka akan selalu tampak seperti itu, manusia itu sendiri dan kebenciannya.

Kembali ke tahun 1865, di jantung kota London. Kota yang penuh kehidupan hiruk-pikuknya tak pernah berhenti dengan sejuta rahasianya. Namun, di kota di mana aku dilahirkan tepatnya di Panti Asuhan Evergreen, tempat aku tumbuh dan dibesarkan. Dari kecil, misteri tentang asal-usulku telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Tentang keberadaan orang tuaku, itu cukup misteri bagiku. Tak ada sepatah pun pernah kudengar, mereka bagaikan bayangan yang tak pernah tampak di hadapanku. Aku hanya bayi tanpa nama yang ditinggal di sebuah kardus lusuh di depan panti, hingga para biarawan datang dan memutuskan untuk merawat serta menghidupkanku. Pada akhirnya aku dinamakan, Emily Grace Levine.

Waktu terus berjalan, higga pada usiaku 16 tahun. Aku diterima di Ashgore Academy High School, sekolah terbaik di London. Berkat kecerdasanku, aku berhasil mendapatkan beasiswa. Sebuah prestasi yang bahkan aku sendiri sulit percayai. Semua ini hasil kerja kerasku sendiri, bukan pemberian atau belas kasihan siapa pun. Itu seperti mimpi yang akhirnya manjadi kenyataan yang penuh arti buatku.

Bersikeras untuk berupaya tetap fokus melanjutkan hidupku serta mengabaikan hal yang tidak penting. Namun, di pagi yang baru mulai, kesialan sepertinya tidak akan pernah berhenti menghampiriku. Rasanya seperti permainan yang selalu diwarnai oleh keberuntungan dan kesialan secara bersamaan, saling berkelindan dalam setiap episode kehidupan yang kulalui setiap hari. Baru saja aku tiba di sekolah, seragamku sudah basah kuyup oleh guyuran air dari lantai atas. Tawa mereka nyaring dan penuh kepuasan, menyambar telingaku dengan jelas. Seolah rasanya seperti dunia sedang mempermainkanku. Dengan senyuman yang sombong seolah mereka meledek, mereka meninggalkanku begitu saja, bagaikan aku hanya sekedar bahan lelucon bagi mereka. Aku mendengus dengan geram. Apa-apaan tadi? Mereka meninggalkanku begitu saja, Sialan. Aku merasa seperti menjadi korban lelucon yang tidak pernah kuinginkan.

Bahkan menurutku yang memiliki pandangan bahwa penampilan luar itu tidak terlalu penting. Karena selama ini aku tidak pernah terkesan atau tertarik dengan pria tampan, Pada hari itu, aku bertemu dengan murid baru yang misterius. Kehadirannya yang awalnya tampak biasa saja, perlahan-lahan memunculkan kejadian-kejadian tak terduga yang mengubah hidupku.

Tanpa kusadari, momen itulah yang menandai awal dari segala sesuatu yang berubah dalam hidupku.

Selamanya...

Black Lines At The End Of The LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang