Prolog: Bayang-bayang Merah

41 5 0
                                    


Aku selalu ingat warna itu. Merah pekat, seolah menodai setiap jengkal udara di sekelilingnya.

Gaun ibuku berkibar liar di tengah angin sore. Menari-nari di tepi danau yang tenang. Jauh lebih liar daripada langkah-langkahnya yang tergesa namun tak beraturan.

Aku berdiri tak jauh dari sana. Dari balik pepohonan yang rimbun. Ilalang kering menggores kakiku. Meninggalkan noda kecil yang perih. Boneka beruang yang kupegang lunglai di tanganku. Jari-jemariku basah oleh keringat.

Aku menahan napas. Menatap Ibu dengan rasa ingin tahu. Napasku memburu. Menahan debar di dada. Biasanya, Ibu melarangku pergi bermain di hutan mungil ini. Tapi, aku terlalu bandel dan keras kepala.

Saat itu aku masih terlalu kecil, belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Belum mengerti kenapa senyum ibuku hilang sejak lama, dan kenapa kini matanya tak lagi melihatku. Mata indah itu kosong, seperti tak berpenghuni.

Angin berhembus lembut, membawa serta bisikan-bisikan yang samar. Aku masih ingat suara gemericik air ketika ujung kakinya menyentuh permukaan danau.

Awalnya perlahan, seakan merayu air untuk menerimanya. Gaun merah panjangnya terus mengekor di belakang, seperti semburat darah di air yang dingin dan kelabu.

Aku tak bisa bergerak. Kakiku terasa seakan terkunci di tanah berlumpur, dan dalam ketidakberdayaan. Tubuhku kaku seperti batang pisang.

Aku melihat semuanya.

Ibuku berjalan ke dalam danau. Seperti menyongsong hal yang paling dirindukannya. Tanpa ragu, tanpa kembali menoleh. Air mulai menghisap tubuhnya. Setinggi lutut, lalu setinggi pinggang. Langkahnya masih terhuyung, tapi tidak pernah berhenti.

Aku membuka mulut, ingin berteriak. Tapi, suaraku tertelan oleh suara lembut angin dan gemerisik dahan-dahan.

Kemudian, air itu mencapai lehernya. Saat wajahnya perlahan tenggelam, gaun merah itu menjadi satu-satunya yang tersisa di permukaan—seperti bekas luka yang tak pernah sembuh. Mengambang di atas air, sebelum akhirnya lenyap bersamanya.

Aku tidak pernah bertanya kenapa Ibu melakukan itu.

Mungkin, di dalam hati—aku sudah tahu jawabannya sejak saat itu. Cinta bisa membuat orang berjalan ke arah kehancuran tanpa rasa takut, tanpa penyesalan. Sama seperti ibuku, aku juga mulai berjalan di jalan yang sama.

OOO

"Terima kasih lho, sudah berkenan diwawancara." Lelaki di depanku tersenyum puas. Membuyarkan lamunanku.

"Ya. Sama-sama." Aku menjawab pendek, tanpa ekspresi. Udara di sekitarku terasa menyesakkan.

"Bagaimana kabarmu, Ran?"

"Baik." Aku menggeser tempat duduk yang kurang nyaman. Kedua tanganku harus berada di pangkuan atau di atas meja. Mata penjaga seperti mengulitiku perlahan-lahan. Rasanya membara.

Tapi, aku sudah tak peduli apapun sekarang.

Pada pintu yang tertutup rapat, dengan sedikit jendela kaca dan teralis besi mengkilat, ada papan putih mencolok yang bertuliskan kalimat sakti.


DILARANG MASUK DI LUAR JAM KUNJUNGAN


Aku menahan napas.

"Kenalkan, nama saya Roy. Royan Almahendra. Saya jurnalis di sini." Dia memberikan kartu nama berwarna kebiruan dengan tinta hitam.

Aku membacanya dalam hati.

Suasana terkesan begitu canggung. Namun, aku menikmatinya. Aku tidak suka kehidupanku dikorek-korek untuk menghasilkan keuntungan orang lain. Tetapi, jika wawancara ini kuhindari—aku tidak akan tega.

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang