4-Rumor Menyebar Busuk

8 0 1
                                    

4-Rumor Menyebar Busuk

Kirana 



"Oke, kalau memang kamu ngaku sebagai perempuan baik-baik. Tapi, dipikir secara logika, mana ada zaman sekarang cewek yang prinsipnya kayak kamu? Kalaupun ada aku jamin nggak akan ada laki-laki yang mau. Kamu pasti mengerti kan maksudku ini, Ki. Tindakan kamu tadi itu udah nyakitin aku," suara Aaron menggema di teras motel yang kumuh.


Baru kali ini aku melihat wujud Aaron sesungguhnya. Dia merupakan penjelmaan iblis dari neraka. Badannya tinggi besar, berwarna merah, dengan air liur menetes-netes dari ujung bibirnya. Sementara kedua tangannya menggapai-gapai mirip tentakel cumi-cumi raksasa.


Kenapa aku baru tahu sekarang?
Mengapa aku melibatkan diri dengan orang sekeji Aaron?


Aku memegang dadaku yang berdebar keras. Sungguh-sungguh aku teringat dengan perilaku Genta. Terkadang dia suka memukuliku—alasannya adalah untuk mendidikku.


Ketika Genta menghukumku. Ayah tidak pernah di rumah. Jika aku bercerita kepadanya—Ayah pun tidak pernah percaya. Dia lebih mempercayai kakak laki-lakiku.


Aku sudah terbiasa merasakan kesakitan. Tetapi rasa nyeri di dada serta tubuh yang tiba-tiba gemetar dan pikiran yang menjadi gelap—seakan-akan selalu datang ketika ada kejadian seperti ini.


"Maaf Aaron, aku nggak bisa," suaraku begitu pelan karena takut membuat pria di depanku semakin marah.


"Masa sih kamu nggak ngerti kebutuhan laki-laki? Enam bulan itu nggak sebentar lho. Belum lagi materi yang kukeluarkan untuk kamu. Juga waktu dan tenaga.

Bukannya menghina, tapi di mataku baju kamu tuh jadul banget tahu!" semburnya murka, matanya kembali melotot.


Tidak ada lagi kata-kata yang lembut ataupun kalimat-kalimat bijak yang biasanya keluar dari mulutnya.


Apa yang terjadi pada diriku? Kenapa aku bisa menjalin hubungan dengan orang seperti ini? Apakah hanya karena aku takut sendirian di kota ini?


Memang, temanku tidak begitu banyak. Itu karena aku tidak punya banyak waktu luang. Belajar dan bekerja itu adalah jadwalku sesungguhnya. Selain itu, mana sempat aku hang out ataupun nongkrong dengan teman-teman perempuan di kampus.


Padahal, mereka seringkali menawariku untuk berjalan-jalan ataupun menghabiskan sore di sebuah mall terkenal. Mungkin pulangnya nanti akan mampir di cafe menghabiskan semangkok bakso dan segelas es teh.


Mana bisa aku seperti itu? Bukankah aku mesti berhemat? Walaupun tidak terlalu banyak—tetapi uangnya bisa digunakan untuk membayar tagihan listrik dan gas. Atau untuk menu makan selama beberapa hari.


"Kamu bohong kan? Pasti kamu punya cowok lain. Mana mungkin sih cewek secantik kamu punya prinsip setolol itu," katanya lagi.


Tetapi aku hanya terdiam. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku ingin menghilang dari sini. Seharusnya benar. Aku tidak butuh laki-laki sekarang. Seharusnya, sejak dulu aku tahu akal bulus mereka.


"Kalau begitu kita putus saja. Kamu bisa nemuin cewek yang kamu inginkan. Aku memang nggak sebaik itu," jawabku tiba-tiba. Lalu aku berjalan lurus—tidak lagi mengindahkan teriakan Aaron.


"Maksud kamu apa sih?! Ki, tunggu!"


Semua hal darinya—hanya mengingatkanku pada orang-orang di rumah.  Aku masih berjalan lurus tanpa henti. Tubuhku agak sempoyongan. Sejak tadi siang aku belum makan. Sebenarnya, aku berencana makan ketika keluar malam ini bersama Aaron.

Setidaknya di sebuah cafe. Sembari bercerita kegiatan kami.


Tetapi itu hanya ilusi yang membuat semuanya menjadi gelap.

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang