1-Bukan Rumah Cemara

16 4 0
                                    

Kirana 


Namaku Kirana.

Tidak ada yang istimewa dalam hidupku. Selain nama itu.

Ibuku sering bercerita, jika dia sudah lama sekali jatuh cinta dengan lagu berjudul 'Kirana'. Lagu lama yang dinyanyikan oleh grup band legendaris, Dewa 19. Saat itu aku hanya mengangguk-angguk. Tidak mengerti apa yang dibicarakannya. Tapi, aku selalu menyukai Ibu saat berbicara. Sembari menatap bola mata Ibu yang menawan.

Mata yang bersinar sangat cantik. Mengerjap indah saat ia bercerita. Sembari tangannya mengelus kepalaku. Lalu entah kenapa tiba-tiba Ibu menangis.

Kemudian ia memintaku pergi bermain. Seringkali aku rewel. Tak ingin meninggalkannya sendirian di kamar. Semakin hari tubuh Ibu terlihat semakin lemah.

Aku tidak tahu mengapa itu terjadi. Apakah ada monster jahat yang menggerogoti tubuh Ibu perlahan-lahan? Bisa saja itu terjadi.

Ibu tidak pernah mengantarkanku ke sekolah. Setiap kali teman-teman satu kelasku bercerita betapa riangnya mereka di pagi hari. Menyantap sarapan dengan lahapnya. Menceritakan menu apa yang disantap pagi itu. Terkadang temanku malah merasa terlalu kenyang saat datang ke sekolah. Aku hanya menatap kosong. Lalu merasakan perihnya perutku.

Aku tidak pernah sarapan. Ayah jarang berada di rumah. Sementara kakak laki-lakiku—sepertinya begitu sibuk. Aku tidak suka dengan Genta. Dia bukan kakak yang baik.

Semuanya harus tersedia untuk Genta. Dia tidak akan pernah mau makan, jika di meja makan tidak terhidang menu yang lengkap. Atau aku menyodorkan meja kecil dan piring berisi nasi lengkap kepadanya. Padahal, saat itu usiaku masih terlalu muda. Aku masih kelas I SD. Masih belum genap tujuh tahun.

Tapi menurut Ibu, hal itu adalah wajar. Sebab Genta adalah laki-laki. Sementara aku hanyalah perempuan—seperti Ibu yang terbaring lemah.

Terkadang, aku mendengar Ayah dan Ibu ribut di kamar. Padahal sebagai kepala keluarga—Ayah sangat jarang pulang. Bahkan dalam sebulan, ia hanya sesekali menengok Ibu. Atau berbicara dengan Genta. Sedangkan denganku, Ayah hanya sering mengatakan, "Jagalah ibumu baik-baik. Ayah sibuk bekerja."

Aku hanya memberenggut, "Tapi aku ingin bermain bersama Ayah. Ibu tidak pernah keluar kamar. Sepertinya Ibu sakit."

"Ibumu akan sembuh kalau kamu merawatnya. Sebagai anak gadis, kamu harus menjaganya. Pastikan Ibu meminum obat dari dokter dan makan teratur, Rana."

Lalu seperti biasa Ayah akan menepuk-nepuk bahuku, tapi matanya selalu memandangi arloji di tangan kirinya. Seakan-akan diburu waktu. Seolah-olah berbicara denganku bukan hal yang penting dan perlu.

Tak lama kemudian Ayah pun pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya. Sementara Genta mengomel-ngomel tak jelas di kamar. Membanting barang-barang. Dia seringkali berteriak. Aku tidak tahu kenapa dia selalu tampak seperti itu.

Anak laki-laki yang temperamental dan bersikap seolah-olah dia adalah raja kecil di sini. Aku memang tidak menyukai Genta. Tetapi aku tahu dia adalah kakakku satu-satunya.

Sebenarnya, aku ingin rumah ini tenang walaupun Ayah tidak ada di sini. Tapi, rintihan rasa sakit Ibu selalu terdengar di malam hari. Kamarku ada di sebelah kamar Ibu. Menurut Ayah, jika Ibu ingin ke kamar kecil aku harus segera sigap menuntunnya. Atau ketika Ibu meringis kesakitan, aku harus bisa menghiburnya.

Kau tak bisa membayangkan, apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Satu-satunya permintaanku adalah aku diajak ke sebuah pasar malam terdekat yang diadakan pada malam-malam menjelang Maulud. Biasanya di sana ada komedi putar, ataupun hiburan lainnya. Aku ingin seperti teman-teman.

Tapi Ibu selalu mengatakan, "Tunggulah ketika Ibu sehat, Nduk."

Nduk.

Ibu jarang memanggilku dengan sebutan itu. Dia hanya memanggilku, dengan panggilan itu ketika mengatakan kalimat yang tak mungkin menjadi kenyataan. Seperti keinginanku pergi bersama Ayah dan Ibu ke pasar malam.

Padahal aku tidak meminta pergi ke taman hiburan nasional yang super mewah yang ada di kota-kota lain dalam provinsi ini. Aku mengerti orang tuaku terlalu miskin untuk hal itu. Untuk makan saja, tidak mesti dua kali dalam sehari. Seringkali aku harus menahan lapar dan makan hanya sepiring nasi dalam sehari. Tentu saja dengan lauk seadanya. Atau hanya beberapa sendok sayur lodeh dan sambal terasi.

Tentu saja ketika Ayah di rumah. Makanan selalu terhidang tiga kali di meja. Sebab itulah, aku senang ketika Ayah pulang. Sepanjang hari aku merasa kekenyangan. Hatiku juga berbunga-bunga. Aku tidak mendengar teriakan dari dalam perutku. Atau bunyi kukuruyuk yang membuat seisi kelas menertawakanku. Entah kenapa hal seperti itu berulang-ulang dalam hidupku saat itu.

Aku tidak mengerti. Apakah karena Ibu begitu senang saat Ayah ada di sini? Ibu memaksa untuk datang ke dapur dengan tertatih-tatih. Meskipun, aku sulit membantunya. Tapi, ada Mbok Nah—tetangga yang selalu membantu di dapur saat Ayah datang.

Aku merasa—Ibu menyiapkan segalanya untuk Ayah.

Tentu saja itu karena cinta. Tetapi, semuanya menjadi gelap ketika Ibu pergi ke danau itu.

OOO

Ketika umurku sudah menginjak remaja, aku sangat membutuhkan komputer untuk menyelesaikan tugas-tugas di sekolah. Seringkali aku mendapatkan hadiah beasiswa. Itu sebabnya aku tidak putus sekolah seperti Genta.

Konon, Genta hanya bersekolah hingga kelas 11 SMK. Setelah itu entah karena apa dia dikeluarkan. Dia berhasil mendapatkan ijazah setelah Ayah berupaya untuk mencarikan tempat bimbingan guna menyelesaikan program kejar paket.

Tapi, aku berbeda dengan Genta. Walaupun aku perempuan—sepertinya aku merasa lebih pandai darinya. Setidaknya Ayah tidak pernah mengeluarkan uang SPP untuk melanjutkan pendidikanku. Itu sebabnya tidak ada hal apapun dalam kepalaku selain belajar dan belajar.

Tetapi, komputer idamanku—yang seharusnya lebih murah ketimbang laptop—malah dibelikan Ayah untuk Genta. Ia mengatakan kalau kakak laki-lakiku itu lebih membutuhkannya ketimbang aku. Sebab, kelak aku hanya akan menjadi seorang istri. Sementara Genta akan menjadi kepala keluarga seperti Ayah. Seorang pahlawan yang menghidupi seisi rumah.

Aku hanya menyimpan kedongkolan dalam hati. Sembari berjanji dalam hati—kalau aku akan meninggalkan rumah ini kelak ketika sudah mandiri.

Karena insiden komputer itu, seringkali Genta mengolok-olokku, mengatakan bahwa percuma aku belajar. Kalau nasibku kelak akan sama seperti Ibu. Sebab itulah aku marah besar. Aku melempar asbak, dan mengenai lengan Genta.

Seharusnya aku membidik kepalanya. Tapi, aku mengurungkan niat tersebut. Aku tidak mau Genta akan sakit seperti Ibu yang selalu mengeluhkan bahwa kepalanya terasa berat dan seakan-akan mau pecah.

"Dasar adik gila!" teriak Genta.

Dia melompat ke arahku. Tetapi aku langsung lari terbirit-birit. Lalu aku bertemu Ayah di depan rumah. Itu adalah sebuah keberuntungan. Karena Ayah akan selalu membelaku. Jika aku bertengkar dengan Genta.

Aku tertawa-tawa di balik punggung Ayah. Menikmati wajah kesal Genta. Dua orang laki-laki ini pasti akan kesulitan membuang abu rokok yang selalu mereka semburkan setiap hari.

Pantas saja, dulu Ibu selalu menutup pintu kamar. Mungkin karena Ibu tidak menginginkan asap-asap dan abu rokok itu membumbung tinggi dan menyerbu kamarnya.

Seringkali kulihat Ibu sesak napas—namun selalu menolak ketika harus menginap di rumah sakit. Ibu hanya menjalani pengobatan rawat jalan.

Seminggu sekali Ibu memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit daerah terdekat. Mengantri begitu lama—hingga aku merasa bosan, pantatku terasa begitu panas dan kebas.

"Terima kasih Rana sudah membantu Ibu. Sudah mau menemani Ibu di rumah sakit," ia mengucapkan itu dengan mata berkaca-kaca. Sementara aku hanya menatap tubuh Ibu yang saat itu menjadi semakin lemah dan kurus.

Aku mengganggu-angguk. Seakan-akan mengerti. Kemudian sibuk bermain ke sana ke mari—bersama anak-anak kecil yang kutemui di sana. []

Subscribe yuk, agar tidak ketinggalan, Dears. 

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang