2-Meninggalkan Rumah

11 3 0
                                    


2-Meninggalkan Rumah

Kirana

Aku seringkali berpikir bahwa kondisi rumah tidak akan seperti itu selamanya. Semakin lama, tampaknya semua orang di rumah—Genta dan Ayah, tergantung kepadaku.

Apalagi dalam urusan domestik. Karena aku sudah mulai remaja—aku yang sejak kecil sudah ditinggal Ibu—sudah terbiasa melakukan segala hal di rumah. Mulai dari mencuci baju serta piring, memasak, membereskan rumah, ataupun hal yang lainnya.

Hal yang membuatku terheran-heran, bahwa Ayah dan Genta sama sekali tidak tertarik melakukan itu semua. Pekerjaanku sedikit agak ringan ketika Ayah membelikan mesin cuci bekas—itu berarti tanganku tidak akan lagi melepuh karena alergi terhadap deterjen.

Besar harapanku agar Genta bersedia mencuci bajunya sendiri—tapi ternyata tidak. Dia sungguh pemalas dan suka memanipulasi. Alasannya banyak dan dia bertingkah seolah-olah menjadi penguasa di rumah yang bobrok ini.

Rumah tua peninggalan kakek (orang tua Ayah)—yang atapnya nyaris ambruk dan harus ditopang dengan beberapa kayu mahoni. Itupun setelah Ayah merengek-rengek dan merayuku memberikan sebagian uang saku yang kudapatkan dari beasiswa di kampusku. Beasiswa itu penuh dari pemerintah—dengan beberapa syarat berat yang harus kupenuhi. Tapi, kurasa itu tidak terlalu membebaniku—justru aku senang saat berhasil meninggalkan rumah yang menyesakkan ini.

"Rana, kamu kan bisa pulang pergi dengan motor? Kenapa harus mencari kos?" begitu kata Ayah dengan nada terheran-heran.

Sekarang Ayah tidak terlalu sering bepergian. Terkadang dia di rumah menghabiskan waktu seharian. Sementara Genta bekerja di sebuah perusahaan kayu yang ada di kabupaten ini. Tapi, entah kenapa—uang yang didapatkan Genta tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan rumah. Selalu saja habis di tengah jalan.

"Sebab itu persyaratan beasiswa, Ayah," sahutku berbohong.

Tapi, itu tidak sepenuhnya salah. IPK-ku tidak boleh turun. Itu berarti aku harus bekerja keras serta lebih baik daripada semester lalu. Lalu aku juga harus mengikuti beberapa UKM wajib. Juga perkumpulan anak-anak beasiswa.

"Baiklah tapi jangan lupakan rumah. Kasihan Genta bekerja siang malam untuk kita," jelas Ayah kemudian. Membuatku semakin muak.

Aku tidak pernah menggunakan uang Genta. Justru dia yang seringkali merampas apa yang kumiliki. Itu sebabnya aku harus segera pergi dari rumah ini.

"Jangan lupa untuk berbakti pada Ayah. Cuma Ayah satu-satunya orang tua kita sekarang. Kalau uangmu banyak—mestinya kamu bersedekah pada kerabatmu yang terdekat. Apalagi Ayah. Kamu pasti ngerti itu kan Ran? Adikku yang katanya paling pintar sedunia?" Genta menjelaskan itu dengan cara mencibir.

Memandangiku dengan raut wajah merah dan berkerut-kerut. Dia tahu aku akan pergi ke kota yang lumayan jauh dari rumah. Walaupun hanya sekitar tiga jam.

Tapi, itu tetap membuatku bahagia. Aku merasa yakin akan menemukan kebebasan di sana. Tanpa harus meladeni dua orang raja yang tak tahu diri.

"Ya. Tapi kamu tahu kan kalau kuliah dan bekerja karena ada beasiswa, itu membuat waktuku tidak banyak. Jadi aku tidak mungkin pulang pergi sering-sering ke rumah. Sekarang kamu mesti belajar mengurus dirimu sendiri. Karena Upik Abu ini akan pergi agak jauh," sahutku tanpa nada.

Jauh di lubuk hati aku merasa bahagia, tak peduli bagaimana mereka mencengkram diriku agar tetap berada di sarang ini. Aku takkan sudi lagi. Beberapa semester ini penampilanku seperti gembel karena harus menghemat. Uang saku dari pemerintah malah digunakan untuk keperluan rumah yang tidak ada habisnya. Kalau begini, lama-lama aku akan jadi gembel betulan.

Mungkin jika Ibu masih berada disisiku—kondisiku tidak seperti ini. Tetapi Ibu lebih memilih untuk pergi. Hingga kini aku tak mengerti kenapa. Aku selalu gemetar jika mengingatnya.

Menyadari bahwa aku tak berdaya menatapnya dari balik dahan-dahan pepohonan di hutan kecil tak jauh dari rumah.

"Ibu pakai baju merah? Itu cantik sekali!" begitu komentarku ketika melihatnya sedang mematut diri di depan cermin. Saat itu aku hendak pergi ke sekolah. Sangat terburu-buru karena aku kesiangan. Aku hanya menyeduh secangkir teh dan sesendok kecil gula pasir. Sebagai 'sarapan' pagi itu.

Ibu menoleh, tanpa sadar sepertinya dia tersenyum—tetapi aku melihat matanya kosong.

"Kamu belum berangkat sekolah, Ran?" tanya Ibu.

"Sebentar lagi. Tumben Ibu mau berdandan."

"Apa Ibu masih cantik Ran? Ibu sudah tua, lemah, dan sakit."

Aku menubruk Ibu dari belakang dan memeluknya. Tubuhnya tinggal kulit dan tulang. Terasa keras tetapi tampaknya hangat di hatiku saat itu. Sebelum aku tahu seminggu kemudian, Ibu memakai baju itu untuk pergi ke danau.

OOO

"Ini kamar yang paling sederhana di sini. Tapi cukup aman dan sehat. Kamu harus betul-betul merawatnya. Sebab penghuni dahulu agak jorok. Mungkin ada kelainan atau gimana. Jadi kami mengeluarkannya. Kamar ini direnovasi sedikit karena kerusakan dari anak kos dulu. Apa kamu mau ngambil kamar yang ini?"

Ibu kos berambut keriting dengan tubuh gemuk dan hanya memakai daster batik kusam dengan lengan kelelawar—berkata dengan sangat cepat. Sepertinya dia sudah terbiasa menghadapi pencari kos sepertiku.

"Berapa biaya kosnya, Bu?"

"Sebulan tujuh ratus ribu. Tapi kamu juga harus menyiapkan deposit sebesar 1 juta sebagai jaminan. Gimana apa kamu mau?"

Aku berpikir sebentar. Itu harga yang sangat bagus untuk hari ini. Beberapa kali aku sudah berputar-putar di daerah sekitar kampus dan tempat kerjaku—tetapi belum menemukan tawaran sebagus ini.

"Saya mau, Bu."

"Jangan panggil Ibu. Kok aku merasa tua. Umurku juga belum lima puluh kok. Jadi kamu manggil Tante Menik saja ya."

Aku mengangguk dan tersenyum, "Iya. Tante."

"Nah begitu dong. Dari tadi sepertinya kamu nggak pernah senyum. Apa memang kebiasaan? Sepertinya kamu anak beasiswa. Agak serius banget."

"Saya memang anak beasiswa, Tante."

"Wah pastinya kamu pintar. Jadi, kamu nggak mungkin kayak anak yang menghuni kamar kos ini dulu. Pastinya kamu nanti nggak pacar-pacaran seperti yang lain. Nggak ada waktu mungkin. Cuma, jarang sekali anak-anak muda seperti kalian nggak berkencan. Tapi, itu urusanmu kamu nggak usah menjawab. Aku cuma mau ngomong hati-hati saja di kota ini. Sepertinya kamu dari desa. Itu bukan menghina lho. Kamu ini sepertinya gadis yang polos. Ngerti kan cara menjaga diri?"

"Iya Tante, terima kasih."

"Nah sekarang kamu lihat-lihat di dalam dulu. Pikirkan lagi apa kamu mau ngambil kamar ini. Jadi kamu nggak nyesal."

Bagiku tempat kost ini cukup bagus. Walaupun letaknya di lantai ketiga. Agak jauh dari kamar-kamar yang lain. Ada tangga melingkar dari bawah cukup membantuku untuk naik. Meskipun agak pegal tapi sepertinya di sini jauh dari keramaian dan keriuhan.

Kamar kos ini tidak terlalu baru. Beberapa cat dindingnya terkelupas dan agak lembab. Itu bisa kuakali dengan membeli wallpaper. Nanti, jika aku mendapatkan upah dari tempatku bekerja sekarang.

Ada jendela kecil di samping tempat tidur yang letaknya tidak terlalu jauh. Aku bisa melihat pemandangan kota dingin ini dari dalam. Sejuh mata memandang, hanya atap-atap rumah dan gedung-gedung kampus yang terlihat menjulang. Ada juga jalan-jalan yang terlihat seperti cacing-cacing yang melingkar.

Tidak ada danau di sini. Tidak ada hardikan dan cibiran. Rasa-rasanya ini bebas seperti yang kuharapkan. Namun, aku juga merasa agak takut. Burung kecil ini sudah bisa terbang agak jauh. Tentu saja aku tidak ingin sayapku patah di sini.

Aku mengerti tidak akan sepenuhnya bebas dari bayangan Ayah dan Genta. Tapi setidaknya, aku tidak lagi mencucikan celana dalam mereka. Atau membuatkan kopi dengan dua sendok gula pasir setiap hari.

Ini juga menyenangkan sebenarnya. Aku tersenyum lebar. Tanpa mengerti setelah ini pun, kebebasanku akan terenggut perlahan-lahan. []

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang