6-Tatapan yang Mengganggu

12 2 0
                                    


6-Tatapan yang Mengganggu

Kirana 


Aku tak pernah benar-benar suka menjadi pusat perhatian. Apalagi di kampus yang isinya orang-orang dengan ego setinggi langit, tempat setiap langkah diikuti bisik-bisik tajam. Aku lebih suka bersembunyi di balik outfit-ku yang jadul, jadwalku yang menumpuk, buku-buku tebal, menjadikan taman dan perpustakaan sebagai tempat pelarian dari keramaian yang tak kumengerti.

Namun, ketika cuitan menfess dari Aaron itu viral—aku harus menahan diri dari banyak tatapan-tatapan asing yang menghakimi. Aku tahu. Aku tidak sepenuhnya benar. Aaron bahkan mengatakan, jika aku tidak mau 'having sex' seharusnya aku tidak perlu pacaran. Namun taaruf saja, seperti santri-santri ataupun akhwat, ikhwan, aktifis masjid. Jangan setengah-setengah.

Ya, Tuhan. Aku sampai geli mendengarnya mengatakan hal itu. Dasar cowok gila!

Aku tak menyangka dia bisa bersikap seperti. Belum lagi teror pesannya masih berderet-deret di ponselku. Dia bahkan berganti-ganti nomor. Menerorku setiap saat. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Apalagi, ketika video tamparan itu juga ikut viral. Aku merasa ingin sekali kembali terawang—tak terlihat. Tembus pandang. Namun, untuk saat ini sepertinya hal itu adalah sesuatu yang begitu mustahil.

"Eh, kamu Kirana?"

"Wow. Galak juga ya?"

"Aku suka cewek judes. Mau nggak weekend sama aku. Jangan khawatir—"

"Ih, itu cewek-nya? Nggak banget sih. Kayak dari Korut saja outfit-nya."

"Untungnya cakep. Jadi ketolong."

Tetapi, karena aku yakin bahwa ini bisa terlewati. Aku mulai sedikit demi sedikit terbiasa. Ini pasti akan berlalu. Meskipun—tidak secepat yang kubayangkan.

Hari ini berbeda.

Rasanya ada tatapan yang selalu mengawalku. Bukan dari sekumpulan orang yang biasanya sibuk mengolok-olok rumor tentangku, tapi dari seseorang yang membuatku lebih gelisah.

"Apa kamu nggak penasaran sama yang ngebantuin kamu waktu itu, Rana?" komentar Virna.

"Iya, lho. Masa sih kamu nggak penasaran. Minimal ya ngucapin makasih begitu, Ran," timpal Santi.

Aku tertegun. Seharusnya, aku berterimakasih. Namun, aku malah asyik dengan diri sendiri.

"Si—siapa namanya?" tanyaku agak gugup. Entah kenapa. Ini lebih sulit dari yang kubayangkan.

"Lho kok jadi blushing begitu sih pipimu, Rana?" goda Santi.

Aku hanya menunduk—pipiku terasa hangat. Memang, ini aneh. Tapi aku juga bingung. Apa ini ada kaitannya dengan tatapan menggelisahkan itu?

"Namanya Sam. Kael Samudera. Kamu kenal kan?" jelas Virna, "itu tuh anak arsitektur."

Aku menggeleng.

"Ya, ampun! Kirana! Kamu hidup di mana sih?" teriak mereka berdua.

"Maaf, tapi aku betul-betul nggak tahu," sahutku tanpa dosa.

"Dia itu populer banget lho!"

"Oh."

"Jangan begitu. Sapa tahu dia penasaran sama kamu, Ran."

"Ih, apaan sih."

"Ya, sapa tahu. Iya kan?"

Aku menggeleng keras-keras. Tapi, Santi dan Virna tak henti menggodaku.

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang