5-Pertolongan

13 3 0
                                    


5—Pertolongan

Kirana 



Aku baru saja menampar wajah Aaron.


Sebenarnya aku tidak menginginkan kekerasan.

Tetapi saat melihatnya bertingkah aneh di lingkungan fakultasku—artinya dia masuk ke sini dan bertingkah seperti kucing yang mengencingi seluruh tempat ini sebagai area kekuasaannya, hanya gara-gara cuitan menfessnya menjadi viral.


Tiba-tiba saja saat aku baru menyelesaikan kuliah bersama salah satu dosen MKU—tiba-tiba saja dia berdiri di depan kelas. Bersama dengan wajahnya yang memasang gelagat tidak bersalah. Memelas, namun seolah-olah menyatakan bahwa dia menang.


Aku tahu dia tidak mau memutuskan hubungan ini dengan mudah. Aku sendiri tidak tahu mengapa dia berpikir seperti itu.

Apa untungnya sih punya pacar jadul dan katrok seperti aku? Bukankah itu yang dikatakan kebanyakan warga kampus?


Lagi pula aku begitu miskin—sampai-sampai makan tiga kali saja itu adalah sesuatu yang sangat mewah bagiku.

Bahkan ketika aku memiliki uang saku yang jumlahnya lumayan menurutku—tentu saja itu kudapatkan dari pemerintah dan bekerja paruh waktu tanpa kenal lelah—aku masih harus membaginya untuk keluargaku.

Untuk kakak dan ayahku yang berperilaku seperti baji*ngan. Namun, aku tidak bisa begitu saja lepas dari bayang-bayang mereka.


"Sayangku, Kirana!" dia mencoba memprovokasiku. Seakan-akan dia begitu prihatin. Ketika mengetahui posisiku sekarang. Menjadi tertuduh dan penyebab kencannya yang hancur berantakan.


Saat itu dia betul-betul berdiri tegak di depan pintu kelas yang lebar. Menghalangi jalanku.

Namun, karena aku mengingat beberapa komentar yang sangat menyakitkan. Mungkin aku terlalu sensitif.

Tetapi, hate comment sungguh-sungguh jahat bagiku. Belum lagi tingkah aneh cowok-cowok di kelasku tadi—seakan-akan mereka hendak membayarku dan membawaku ke sebuah hotel mewah.


Jadi, ketika aku berhasil keluar dari riuhnya gerombolan mahasiswa yang harus berebut jalan dan masuk ke ruangan lain untuk mengikuti jam kuliah berikutnya—aku melihat Aaron. Jiwaku langsung merasa meradang.


Aku menghampiri Aaron dan dengan sekuat tenaga aku menampar pipinya.


"Waaah!!"


"Sungguh dramatis!"


"Owww."


"Pasti sakit tuh.


Suara-suara ramai bersahutan. Antara kaget, geli, dan terkejut. Seakan-akan gelombang manusia tadi berhenti seketika. Ketika aku benar-benar melayangkan telapak tanganku di pipi Aaron.


Memang beberapa detik setelah hal itu terjadi aku merasa sedikit bersalah. Tetapi, mengingat dia adalah cowok pendusta dan licik aku pun menghadiahkan tamparan lagi.


Betapa bodohnya aku. Ada banyak kamera. Ponsel-ponsel terangkat tanpa diminta. Tentu saja, ini adalah konten yang sangat menarik.


Semua orang mengitariku seakan-akan aku adalah tontonan. Sementara Aaron di depanku memegang kedua pipinya dengan wajah bodoh.


Napasku terasa tak beraturan. Tiba-tiba saja tubuhku gemetar. Aku nyaris tidak bisa bernapas. Udara begitu saja terasa sangat rapat dan menyesakkan.


Kecemasan itu datang. Itu serangan panik yang begitu saja tak bisaku prediksi sama sekali.


Sebenarnya aku cukup mengerti—mungkin karena aku ketakutan. Tetapi, keluar dari kungkungan ini—sungguh-sungguh sangat sulit.
Anehnya, tidak ada yang tahu bahwa aku menderita di situ. Mataku basah dan aku menutup sebagian wajahku dengan ujung kerudung.

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang