7-Teman Sekolah
KiranaApakah ini trik?
Aku menjadi teringat apa yang dikatakan Aaron malam itu. Bahwa aku menggunakan semacam tipu daya—agar dia semakin tertantang. Padahal, aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa.
Itu hanya spontanitas orang yang kaget dan kecewa!
Aku sungguh-sungguh tidak menyukai malam laknat tersebut. Sekujur tubuhku merinding jika mengingatnya. Namun, aku masih bersyukur bisa melewati malam itu dengan selamat.
Tentu saja, Aaron tidak bakal berani untuk memaksaku lagi. Meskipun, sekarang dia tantrum berkepanjangan hanya gara-gara aku memutuskannya dahulu. Padahal itu juga demi kebaikannya.
Ketimbang menghabiskan waktu dengan gadis norak dan memalukan sepertiku—seharusnya dia justru mencari gadis-gadis lain yang sesuai dengan ekspektasi-nya kan?
Kamu pikir aku tersinggung dengan sikapmu itu? Aku masih nerima kamu apa adanya, Ki. Meskipun sekarang banyak rumor yang beredar tentangmu di kampus. Tapi, aku nggak peduli. Aku masih sayang kamu, Ki.
Aku nggak mau putus.
Itu adalah salah satu pesan instan yang dikirimkan Aaron kemarin lalu. Tentu saja aku tidak membalasnya. Bahkan ketika dia semakin sering bolak-balik ke tempat indekosku—aku yakin dia tahu pasti bahwa aku tidak mungkin bisa pindah dari sana. Sebab, ada banyak hal yang kau perhitungkan terutama kemampuan finansialku.
"Kamu nggak perlu ke sini ke sini lagi. Aku kan sudah ngomong kalau kita putus."
"Please Ki, jangan kayak gitu. Maafin aku dong. Beri aku kesempatan lagi."
"Kan kamu tahu kalau kita sudah putus, ya udah."
"Aku tuh masih sayang banget sama kamu, Ki."
"Setelah semua rumor yang beredar. Kamu masih bisa ngomong kayak gitu?"
Dia berlagak pilon. Seakan-akan berpura-pura tidak mengerti. Aaron menyentuh hidungnya berkali-kali—itu adalah salah satu tanda kalau dia akan mengucapkan kebohongan-kebohongan. Aku tahu, karena aku sudah lama mengamatinya.
"Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin."
Aku segera meninggalkannya dengan menutup pintu. Memasang wajah dingin dan datar.
Semuanya memang omong kosong.
Bagiku, Aaron kurang lebih kualitasnya sama dengan kakakku. Sama-sama parasit. Menghisap inang hingga tak berdaya. Namun, selalu melakukan tingkah seakan akan dia adalah korban. Sementara akulah yang jahat di sini. Sangat manipulatif!
Kemudian sekarang ada makhluk lain yang berkata bahwa dia pernah bersekolah sama denganku?
Mana bisa aku percaya begitu saja?
Aku tidak mengerti, duniaku dan dia sangat-sangatlah berbeda. Siapapun tahu dan mengerti bahwa Sam dikelilingi oleh banyak keindahan. Teman-teman berjibun, dan sangat suportif, gadis-gadis cantik, nama yang berkilau karena prestasi dan tampilan visual.
Baiklah aku tidak munafik. Sam sangat tampan.
Bahkan, aku pernah mendengar ada pencari bakat mengejar-ngejarnya untuk dijadikan artis. Wajah dan tubuhnya memang bisa membuat orang berpikir, "Ini artis dari mana kok nyasar di sini?"
Bagiku, Sam sangatlah berbeda. Dia berada di galaxy yang lain. Jauh di atasku.
"Apa kamu mengatakan itu setelah membantuku pingsan di koridor fakultas?" ucapku tanpa nada. Aku sibuk menjauhkan diri dari tatapan matanya yang seakan-akan menelanjangi setiap sudut tubuhku.
"Kamu susah percaya, Kirana." Dia masih berkata dengan senyumnya yang menawan.
Ini agak aneh.
Kebanyakan cowok-cowok berwajah ganteng biasanya memasang tampang dingin, misterius, dan tidak mudah didekati.
Namun, sikap Sam seperti antitesa.
Seakan-akan semua hal yang lazim bagi cowok setampan dia—tidak berlaku padanya. Meskipun beberapa kali kulihat—dia menolak ketika gadis-gadis meminta nomor teleponnya. Atau dia menyembunyikan wajahnya saat ada yang merekam dan memotretnya.
"Begini, tolong jangan banyak berasumsi dulu." Sepertinya dia berusaha menjelaskan—namun berada di dekatnya membuatku kurang nyaman.
Aku merasa jantungku berdebar tak menentu—aku juga merasa benci bahwa di sisi lain hatiku seperti mengembang. Seakan-akan ada yang berteriak-teriak kegirangan di dalam sana.
Ya, Tuhan. Betulkah aku telah menjadi cewek munafik?
"Sepertinya aku harus segera pulang—ini sudah jam kerjaku." Aku berdiri tak mengindahkannya memasang wajah kaget dan kecewa.
"Kamu kerja di mana?"
"Aku kerja paruh waktu di kafe di samping kampus."
"Kafe kenangan itu kan?" dia tampak antusias.
"Ya."
Dia mengamatiku, "Hati-hati di jalan, Kirana."
Aku berjalan cepat seakan-akan melesat terbirit-birit dari segala pesona yang dipancarkan Kael Samudera.
Aku berharap wajahku tidak merah. Meskipun aku merasa beberapa kali pipiku terasa agak panas saat berbicara dengannya. Padahal aku sudah memasang wajah sedingin es.
Kenapa sekarang semuanya sulit dikendalikan seperti ini?
OOO
Di luar, gerimis turun perlahan, menghiasi kaca-kaca besar di dinding kafe dengan titik-titik air yang halus. Langit sore yang awalnya cerah kini berubah mendung, membawa suasana tenang dan sejuk yang membungkus seluruh sudut kota.
Cahaya lampu kuning keemasan dari dalam kafe berpadu dengan temaram senja, menciptakan nuansa hangat di balik jendela-jendela yang basah. Suara tetesan air yang jatuh berirama lembut terdengar samar, seakan menyatu dengan denting gelas dan sendok dari dalam.
Di dalam kafe, aku bergerak dengan cepat di antara meja-meja, mencoba tetap fokus di tengah kesibukan. Aroma kopi yang kuat dan roti panggang yang baru keluar dari oven memenuhi ruangan, membuat suasana semakin nyaman. Namun, di tengah semua kesibukan itu, aku tidak bisa mengabaikan satu hal yang terus membuatku gelisah—tatapan Sam.
Dia duduk di pojok dekat jendela, dengan kedua tangan disandarkan santai di atas meja, matanya terpaku padaku seolah tak ada hal lain di dunia yang lebih menarik perhatiannya.
Setiap kali aku berbalik untuk mengambil pesanan atau menyajikan kopi, aku bisa merasakan tatapannya mengikuti gerakanku, menembus keramaian seolah aku adalah satu-satunya orang di ruangan ini.
Jantungku berdebar lebih kencang. Aku mencoba mengabaikannya, tapi sulit untuk berpura-pura tidak tahu. Setiap langkahku terasa berat, setiap gerakan tanganku terasa kikuk.
Sesekali, aku mencuri pandang ke arahnya hanya untuk memastikan bahwa tatapannya tidak seintens yang aku rasakan. Tapi ternyata aku salah. Setiap kali aku melihat ke arahnya, dia masih di sana, dengan senyumnya yang misterius dan tatapan yang tidak pernah lepas dariku.
Di saat itulah aku melakukan kesalahan. Saat menaruh cangkir kopi di meja pelanggan, tanganku sedikit gemetar, dan cangkir itu hampir saja tergelincir dari tangan. Aku berhasil menahannya tepat waktu, tapi wajahku sudah panas karena malu. Aku bisa merasakan pipiku memerah, dan itu membuatku semakin salah tingkah.
"Eh, hati-hati, Kirana," suara salah satu pelanggan terdengar bercanda, tapi aku hanya bisa tersenyum canggung, tanpa berani menoleh ke arah Sam.
Aku berjalan kembali ke konter dengan perasaan campur aduk—antara gugup dan bingung.
Kenapa Sam terus melihatku seperti itu?
Apakah dia tahu aku menyadari perhatiannya?
Atau mungkin dia hanya bermain-main denganku?
Tapi yang jelas, setiap kali tatapannya mengarah padaku, rasanya seperti ada getaran halus yang menggelitik seluruh tubuhku. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencintaimu Sampai Mati
RomanceMenyaksikan orang yang dikasihinya berkhianat, setelah hubungan yang telah dijalani selama lebih dari 7 tahun, Kirana pun bertekad membalas dendam. Tentu saja dengan cara yang paling jahat dan fatal. Meskipun dia tahu, itu akan menghancurkan semuan...