3-Kejadian di Motel

13 2 0
                                    


3-Kejadian di Motel

Kirana 


Aku pikir dengan mengenakan hijab seperti teman-teman yang lainnya di kampus—bisa membuat teman laki-laki tidak mendekatiku. Apalagi outfit-ku bukanlah baju kekinian ataupun mahal dan branded. Busana obralan dan flash sale yang biasanya aku dapatkan di toko online.

Itu jauh lebih bagus dan murah ketimbang dahulu—aku nyaris tidak memiliki baju yang pantas untuk datang ke kampus. Tetapi, aku tidak terlalu memikirkannya. Sebab, jadwalku sudah sangat penuh.

Terkadang saat akhir pekan datang—tiba-tiba saja cowok-cowok datang dan memenuhi ruang tamu yang disediakan di teras bangunan indekos besar ini. Walaupun hanya dengan kursi dari kayu yang keras, tampaknya tidak menyurutkan mereka untuk menghabiskan malam di akhir pekan. Sementara, aku harus bekerja paruh waktu memberi les untuk anak-anak orang kaya, juga bekerja di sebuah kafe dekat kampus.

Waktuku tidak terlalu banyak. Terkadang, aku iri ketika melihat teman-temanku bisa tertawa-tawa dan bercanda. Sementara aku harus memutar otak agar bisa hidup di kota ini. Menyelesaikan studiku. Ataupun menghindar dari tuntutan Genta yang mengatakan kalau dia baru mendapatkan PHK.

Dia memintaku untuk mengirim uang setiap bulan. Untuk berobat Ayah yang sudah mulai sakit-sakitan. Ataupun untuk biaya sehari-hari. Padahal Ayah sudah memiliki asuransi kesehatan dari pemerintah. Juga uang pensiun yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itu kalau mereka mau berhemat. Tidak menghamburkan uang.

Terkadang karena gemas. Setelah aku mentransfer beberapa ratus ribu—aku mengganti nomorku berkali-kali. Tetapi tetap saja dia berhasil menemukanku.

Genta bahkan mengancamku—untuk datang ke kota dan menghajarku kalau aku tidak mengingat Ayah lagi. Dia masih terus saja menghantuiku dengan perilakunya yang di luar nalar.

Aku tahu Genta terlilit hutang karena kebiasaan buruknya berjudi dan bertaruh secara online. Padahal kedudukannya sebagai buruh tetap di pabrik kayu itu sudah cukup bagus.

Heh. Anak sialan! Jangan enak sendiri kamu makan uang haram banyak-banyak. Keenakan kamu ya! Itu semua karena Ayah membesarkanmu. Kalau kamu nggak ngirim uang lagi aku bakal ke kosmu dan menghajarmu di sana.

Itu adalah pesan pendek instan dari Genta yang kuterima hari ini. Jemariku masih gemetar, padahal sudah semingguan ini aku berganti nomor. Segera saja aku memblokir nomor tersebut. Napasku masih turun naik. Telapak tanganku berkeringat. Rasa-rasanya sungguh menyesakkan.

Aku menghitung-hitung pengeluaran bulan ini. Mungkin nanti aku bisa mengirim beberapa rupiah kepada Ayah. Meskipun aku harus makan satu kali itu tidak mengapa. Di kafe tempat aku bekerja—ada jatah makan. Rasa-rasanya itu cukup. Meskipun hanya sepiring nasi dan lauk seadanya.

Aku duduk sendirian di sebuah kursi tunggu di depan kampus. Sembari menatap kosong lalu lalang mahasiswa yang tertawa riang—seakan-akan tidak memiliki beban apapun. Tidak sepertiku.

Aku merapikan kerudungku. Memang, baru beberapa bulan ini aku mengenakannya. Semata-mata karena aku tidak ingin repot untuk datang ke kampus—menyisir rambut dan sebagainya itu melelahkan. Sedangkan memakai sehelai kain di kepalaku terasa lebih nyaman dan tidak membuat aku kepanasan. Juga ini adalah isyarat kalau aku tidak ingin bergaul terlalu dekat dengan teman laki-laki.

Aku tidak ingin berpacaran. Aku hanya ingin bebas. Berdiri di atas kakiku sendiri dan merasa bahagia. Tetapi nyatanya hari ini itu semua tinggal cerita.

"Hei, ini buku kamu kan?"

Tiba-tiba, saat aku merasa ketakutan dan sendiri—seseorang menyapaku dengan kalimat yang ramah. Aku mendongak.

"Oh iya, betul."

Sepertinya dia tersenyum. Setelah memberikan buku itu kenapa dia tidak segera pergi dari sini? Aku sungguh-sungguh tidak ingin berurusan dengan laki-laki. Apakah dia mencari temannya di departemenku? Atau ada apa?

"Sepertinya kamu sering duduk di sini kan?"

"Ya."

Dia tertawa, "Kenalkan, aku Aaron. Kayaknya kita seangkatan walaupun beda fakultas. Aku sering ke sini soalnya ada teman satu daerahku."

Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis. Namun tak disangka setelah itu—teman-temanku mengatakan jika aku memiliki pacar. Padahal aku tidak berniat berkencan dengannya. Namun, ketika dia mengatakan kalau—dia menyukaiku, tentu saja aku harus membalas 'iya'. Bukankah aku harus sopan?

Meskipun aku dekat dengan Aaron—ternyata dia anak fakultas sosial dan budaya. Tapi, bukan berarti aku mau banyak meluangkan waktu untuk pergi berkencan di kota ini—seperti halnya teman-temanku yang lain.

Aku tidak memiliki waktu sebanyak itu. Aku tidak mau beasiswa yang sedang kunikmati sekarang tiba-tiba diputus karena nilai IPK-ku jatuh. Jadi, aku harus tetap bekerja dan belajar. Sepertinya Aaron mengerti itu.

Kecuali saat hubungan kami agak dekat—setidaknya sudah enam bulan kami berjalan bersama. Dia mengajakku ke sebuah tempat. Padahal aku sudah mentah-mentah menolaknya. Namun dia mengatakan, kalau kali ini semuanya akan ditanggungnya. Dia akan membayar ongkos—tidak seperti biasa, kami melakukan splitbill.

OOO

"Apa sih maksud kamu bertingkah seperti itu?!"

"Maksud—yang mana?" Aku bingung dengan permintaan Aaron hari ini.

Dia tampak mondar-mandir di teras motel yang kumuh. Ini bukan hotel berbintang—melainkan motel yang tampak murah dan lusuh. Aku merasa sedikit curiga ketika tiba-tiba dia memintaku untuk berci*man. Aku tidak mau. Maksudku, itu menggelikan. Bukankah ini hanya pertemanan laki-laki dan perempuan saja?

Ternyata dia tidak menyerah. Dia mendekatiku—berusaha mendaratkan jemarinya di bagian sensitif pada tubuhku. Tentu saja, aku menepisnya. Lalu, saat kami masuk kamar hotel—aku tertegun dan bertanya.

"Kita mau ngapain di sini? Kukira kamu mau mengajakku ke kafe di atas bukit yang lagi viral itu," ucapku dengan suara gemetar. Aku merasa takut—ini kota yang besar dan ramai—meskipun kota pariwisata—tetap saja aku bukan wisatawan di sini. Tentunya, aku tidak mau menghabiskan malam dengan laki-laki.

"Ya, yang biasanya dilakukan pasangan yang sudah saling menyayangi. Kita sudah enam bulan jalan bareng. Itu sudah lama sekali. Aku sudah sabar banget menunggu momen seperti ini. Masa cewek sepintar kamu nggak ngerti sih? Apa itu hanya trik?" Dia tersenyum—seakan-akan kalimatku tadi malah membuatnya semakin tertantang.

"Trik apa?" Aku mendelik—tiba-tiba aku merasakan udara di sekitarku menjadi kian rapat.

Aaron menarik tubuhku—mendekatkan pada tubuhnya yang seakan-akan sedang menahan sesuatu. Aku menggeleng keras-keras.

"Bukankah, semua cewek cerdas ngelakuin seperti ini? Seakan-akan kamu tidak mau. Padahal, dalam hati pastinya kamu mau banget kan?" Dia terkekeh.

Aku menjauhkan wajah darinya—menjaga jarak waspada. Kamar itu belum terkunci. Betapa bodohnya aku tak mengetahui apa yang hendak dilakukan Aaron malam ini. Semestinya aku lebih peka. Bukankah hal aneh, cowok sepelit Aaron mau membayar seluruh tagihan saat kami jalan bareng?

"Aaron, aku nggak bisa. Sungguh," ucapku pelan.

Dia kembali tertawa, "Aku mengenalmu dengan sangat baik lho, Ki. Kamu itu agak kesulitan kan mengungkapkan apa yang kamu mau?" tiba-tiba dia sudah menanggalkan kaosnya.

Aku segera saja berpaling. Menutup muka. Jari jemariku gemetar. []

Mencintaimu Sampai MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang