Chapter 1 [Bab 3; Maxime]

117 21 3
                                    

   Louise memang selalu membuatkan putranya sarapan setiap pagi—biskuit coklat, telur dadar, dan bubur jagung yang hangat dan dia bangun 1 jam sebelum putra-putranya terbangun.

   Maxime memperhatikan papanya yang sudah mencuci muka, mengganti baju, dan mengikat rambut tipis panjangnya dengan kain bersih, papanya memang kerap tidak banyak bicara, tapi ketika papanya duduk dan mulai menyendok makanan ke piring, Maxime tahu dia sudah boleh berhenti khawatir tanpa alasan di pagi hari pada papa nya.

  Alasannya khawatir hari Senin pagi ini karena  papanya membuat sarapan yang berbeda yaitu panekuk—makanan favorit adiknya. Kemarin malam papanya pulang dalam keadaan mabuk dan sangat murung, setiap kali papanya terjebak di tengah emosi-emosi yang tak berguna itu Maxime tidak bisa melakukan atau mengatakan apa-apa yang membuat keadaan jadi lebih baik.

    Di samping piring Louise Maxime meletakkan sapu tangan yang dia sulam seminggu lalu dengan sulaman berbentuk bunga lotus, Louise tersenyum dan dia mulai bercerita tentang perang saudara di Papua. Terpikir sekilas oleh Maxime bahwa mungkin ide bagus jika papanya punya senjata sendiri ketika mereka pergi berburu di hutan belakang rumah mereka.

    Karena terkadang rencana mereka untuk berburu berada di luar kendali, meski Maxime heran mengapa dia tidak terpikir ke situ sebelumnya dan meski dia selalu berhati-hati kadang rencana paling lancar pun bisa berubah kacau jadi dia berpikir untuk membeli pistol .22. Di pasar gelap.

    "K-

    "Kak-

    "Ssstt! kakak!"

    Maxime menoleh ketika suara adiknya terdengar, lalu sadar akan apa yang terlewat Maxime segera menoleh pada papanya.

    Diseberang sana, papanya terlihat dengan wajah agak khawatir. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Max?"

    "Tidak papa," jawab Maxime sembari menggeleng kecil. "Aku hanya berpikir kenapa papa membuat panekuk pagi ini? apa adik akan mengikuti lomba lagi?"

    Bukan tanpa alasan Maxime berkata begitu, karena papanya memang biasa akan membuat makanan kesukaan Lujei ketika Lujei akan mengikuti lomba atau pada hari penting.

    "Bukan begitu ... Hari ini papa akan menjemput kakak angkatmu—"

    Lujei hendak mengangkat suara, namun, sebelum suaranya benar-benar keluar Maxime menarik kecil celananya menggunakan jari kaki, dan ketika Lujei menoleh Maxime menggeleng pelan.

   Maxime bisa menjelaskan apa maksud tingkah laku hanya dengan tatapannya tapi dia tidak terlalu yakin apakah tatapannya bisa sampai pada arti yang ingin dia sampaikan pada adiknya.

    Ketika papanya mulai menerangkan mengapa ingin mengadopsi anak lainnya Maxime mendengar suara air mengalir di wastafel dapur, dan bayangan akan sebuah kuburan lembek dan basah yang pernah digalinya pada satu malam yang cerah pun muncul dibenaknya dengan begitu jelas——Maxime menggali tanah yang lunak, bulan setengah lingkaran yang tinggi di langit dan perlahan bergerak seperti salju, datang lalu berdiam di atas permukaan air danau. Pemandangan paling indah yang pernah dilihat Maxim setelah papannya.

    Maxime mencoba menahan bayangan itu selama mungkin karena dia tak pernah mengingatnya untuk beberapa waktu, tapi sebuah suara gebrakan dari luar merusak perasaan damainya. Papanya langsung bangkit dari kursi, melenggang pergi meninggalkan Lujei yang menangis sesenggukan ...?

    "Lujei?"

    Tangisan kecil yang Lujei keluarkan dapat membuat Maxime bingung sendiri dan Maxime mulai merasakan sedikit sakit kepala karena isakan Lujei yang menjengkelkan. Dia mengelus kepala adiknya itu dan membawanya kedalam dekapan, "Kebiasaan burukku melamun ketika makan masih terjadi, ternyata." Pikir Maxime.

    "Kakak ... Papa ... Papa ...!"

    Jantung Maxime berdetak sedikit lebih cepat dan dia segera mengalihkan pandangannya pada pintu cukup yang jauh di ruang tengah, dia juga mendengar suara papanya dan dua orang pria yang tengah berdebat akan sesuatu.  Dia berjalan pelan meninggalkan adiknya yang masih sesenggukan ke lawang pintu ruang tengah, mencoba menguping dan melihat apa yang terjadi.

    "Demokrat sepertimu akan menghancurkan negeri ini," ucap Louise.

   "Sudah kukatakan, yang aku perlukan hanyalah punya tentara sendiri lalu bunuh beberapa orang itu, dan yang lain akan mengikuti ku. Kamu adalah mantan tentara berpangkat tinggi tidak sulit bagimu mengikuti misi ini." Pria dengan potongan rambut cepak membalas dengan nada datar.

    Sedangkan pria berambut merah memegang pelipisnya lalu dia meminta sesuatu pada gadis kecil yang terlihat gugup, dan si gadis mengeluarkan aspirin yang dia simpan di dalam dompet. Maxime menyimpulkan ketika dia melihat bibir si gadis kecil itu jika dia senang merokok aspirin, menghancurkan tablet itu lalu memasukkan bubuknya ke rokok.

   "Kau tahu aku paling benci dengan para pria berambut panjang." si gadis kecil berujar sambil menyerahkan kertas kearah Louise

    "Yahh ... Kita bisa mulai dari banci-banci itu dulu," ucap si pria berambut cepak. "Bagaimana menurutmu, bung?"

    "Ha! dia mungkin punya satu lelaki seperti itu sedang menunggunya di rumah! seperti laki-laki kecil berkulit putih itu." Pria berambut merah menunjuk Maxime yang tengah mengintip dan dengan secepat kilat Maxime memasang wajah datar.

    Louise segera menepis tangan si rambut merah, "kamu bahkan tidak pernah ikut pelatihan militer perawakanmu begitu lembek, jadi jangan macam-macam dengan putraku."

    "Putra? dia lebih terlihat seperti laki-laki pelacur ... Tunggu? jangan bilang dia anak budak yang kau ambil dari Papua? Sial." laki-laki berambut cepak menampar pahanya sambil tertawa keras, "Kau bersikap suci padahal kau pernah mencoba lubang pelacur yang kau sebut putra itu!"

SKAKMAT!

    Maxime membelalakkan matanya, dia tak menyangka akan mendengar kembali orang yang memanggilnya pelacur. Louise menyalakan rokoknya lalu terbatuk, dan Maxime memasang wajah tegang.

    "Ternyata kau membawa bocah pelacur itu untuk menjadikannya peliharaanmu," sahut si gadis kecil lalu mengusap mulut dengan tisu.

    "Jangan salah paham gadis kecil, kau adalah peliharaan sesungguhnya." Louise membalas sembari menyemburkan asap rokoknya pada si gadis.

    "Lelaki atau perempuan, tampang pelacur sama saja kan?" balas pria berambut merah. "Jadi apa salahnya?"

    "Lupakan! aku akan membawa narko—ekhem! kertas nomor handphon ini. Pergilah!"

Be papa || Crt Ke 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang