Chapter 3 [Bab 3; Maxime] ⚠️

122 15 1
                                    

    Matilda dan bocah laki-laki dengan rambut pirang berdiri di depan rak daging di toko kelontong—Papua. Saat itu akhir bulan dan wanita itu sudah tidak punya uang tapi ada pendeta baru yang akan datang pada hari Sabtu para jemaat akan mengadakan acara makan bersama untuk si pendeta dan istrinya di gereja. "Apa menurutmu hati ayam sudah cukup?"

    Si bocah berambut pirang menatap kepingan uang kertas seharga Rp. 15.000 di tangannya, setelah menghitung-hitung dalam hati si bocah mengangguk.

    Matilda sudah 20 menit mengamati nampan-nampan berisi daging ayam yang masih berdarah. "Entahlah, aku merasa ati ayam tidaklah cukup." Kata Matilda.

    "Cukup, mereka pendeta bukan tuhan." Si bocah menggandeng tangan ibunya, "Ibu, apakah hari Minggu aku akan mendapatkan namaku?"

    "Jika kamu bersikap baik pada si pendeta kamu akan mendapatkan namamu," Matilda berkata dan mulai berjalan pelan kearah tukang jagal bercelemek putih.

    Si bocah tidak berkomentar apa-apa, tapi dia membayangkan seperti apa rasanya membunuh makhluk tua bangka yang disebut pendeta itu. Sesaat dia berpikir untuk membuntuti si pendeta dan saudara cacat itu ketika keduanya pergi, awalnya dia akan berpura-pura sebagai hantu atau dewa dan dia bisa menyuruh mereka untuk saling mengagahi.

    "Hehehe." Si bocah tertawa membuat ibunya tersenyum kecil.

    "Apa kau senang?"

    "Iya! aku ingin cepat-cepat bertemu pendeta bermain lalu mendapatkan nama suci!" si bocah tersenyum kearah ibunya, dan Matilda hanya dapat terkekeh sembari mengambil uang Rp. 15.000 dari tangan bocah itu untuk membayar ati ayam yang dia beli.

    "Semua orang di desa bilang, mereka menyukai sup ati ayam buatanmu." Penjagal berkata sambil memberikan kresek berisi ati ayam.

    "Itu bohong, mereka hanya ingin mencoba lubangku." Balas Matilda dengan nada kesal lalu membawa cepat kresek itu dan pergi bersama si bocah.

•———•

    Dua puluh menit setelah mobil diparkirkan di sebuah laju jalan pertanian tua yang sudah dilihat-lihat oleh Mr. Theodore sejak kedatangannya di Papua mengarah ke ladang jerami sekitar satu setengah km dari jalan utama. Tetapi sekarang lahan itu sudah dipenuhi rimbunan rumput dan semak tebal hanya jejak roda bannya yang dia lihat masih tercetak sekitar 2 minggu terakhir.

    Tangan gemuk dan hangatnya berada di pinggang Matilda kemudian mengatakan kepada Matilda apa yang memang ingin wanita itu dengar. Astaga, semua wanita memang selalu ingin mendengar hal-hal yang sama bahkan yang begitu taat kepada Tuhan.

    Hanya karena kesepian mereka rela menjual tubuh mereka, "Kau adalah wanita muda yang sangat cantik." Nada compaknya terdengar lagi ketika Matilda sudah melebarkan selangkangannya. "Hah! Wanita macam ini pasti rela menyetubuhi anjing atau keledai atau makhluk lain demi uang 1 dolar dan mengisi kekosongan hatinya!"

    "Benarkah? lalu kenapa Louise tidak pernah menyukaiku?" Matilda bertanya.

    "Karena dia homo. Kenapa masih memikirkan pria yang bahkan tidak membalas perasaanmu?" Mr. Theodore bertanya dengan nada jengkel, "Ini malamku, kau harus dapat memuaskan aku dan bukan dia!"

    "Aku tahu, aku tahu. Kupikir kau sebentar lagi akan bertelur jika terus berkata menjengkelka—Ah!"

    Penis besar yang dilupakan Matilda tiba-tiba masuk kedalam lubangnya, "Keparat, lubangmu longgar sekali!" ucap Mr. Theodore dengan kesal.

    "Lalu? Kau yang mau, bukan aku. Dan Louise tidak homo, dia hanya tidak menyukai wanita pelacur sepertiku."

    Mr. Theodore dengan kuat menyentak selangkangannya hingga dua bola miliknya bersuara nyaring karena menampar kulit Matilda, dan sepanjang malam Matilda mendesah dengan keras di hutan itu.

    Setelah dini hari mulai datang, matilda sudah menyelesaikan pekerjaan melacurnya pada hari itu, lalu dia mengambil upahnya yang jumlahnya 13 dolar dan dia segera pergi ke toko persimpangan jalan lalu membeli seperempat kilo beras, perempat kilo roti keju, sepotong roti gandum, 1 pak rokok, dan beberapa butir permen.

    Langkahnya lunglai menuju rumah sewaannya seharga $10 perbulan, hanya sebuah bangunan dari kayu dengan empat jendela dan satu kamar mandi. Dia masuk kedalam rumah, melihat putra yang dia lahirkan dengan begitu susah payah—bocah berambut pirang.

    Bocah itu belum dia berikan nama, dan melihat dari warna mata serta bentuk alis dan bibir Matilda tahu siapa ayahnya. Pria yang kerap digadang-gadang sebagai pangeran dari pasukan di Losterdeem—Louise.

    Cinta pertama Matilda. Setelah lost Contac dengan Louise lebih dari 6 tahun Matilda akhirnya dapat melihat kembali pria itu, dia ingin memperlihatkan putranya yang telah dia jaga dengan begitu susah.

    Setelah melihat koran jika pasukan Losterdeem akan datang ke Papua, Matilda dilanda rasa senang. Dia berpikir jika dia harus menjaga putranya sendirian tanpa Louise, mungkin butuh sekitar 6 bulan Louise sampai ke daerah desanya tetapi itu bukanlah hal yang menyulitkan. Selama Louise dapat melihat dan mengurus putra kandungannya—si bocah berambut pirang yang begitu mirip dengan Louise dan dirinya itu sudah cukup.

•————•

Haloo! Gimana menurut kalian? Plot twist gak terlalu berat kann?

Jangan lupa Vote karena Vote itu gratis, tinggal pencet bintang di pojok kanan dengan bilangan ganjil! Tapi 1× juga udah cukup hehe.

Be papa || Crt Ke 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang