Chapter 2 [Bab 4; promise will never die]

64 16 1
                                    

    Lujei menatap Charles datar, pipinya terdapat cetak tangan yang jelas. Selepas pengawasan Louise lepas tangan besar Charles tak sengaja menampar pipi Lujei dengan keras.

    "Aku akan mengadu," kata Lujei dengan marah.

    "Kau berani?"

    "Sure, why not?"

    Louise menatap kepiting yang tengah mengeluarkan bola-bola pasir, matanya anteng menatap kepiting itu lamat-lamat.

    "PAP-!"

    "Shut up bitch!"

    "Em-mm-mmn!"

    Lujei mencoba berteriak, namun suaranya hanya terdengar samar karena mulutnya dibekap erat oleh tangan Charles. Matanya menatap Charles dengan penuh amarah, tapi tubuhnya tak mampu melawan cengkeraman kuat saudaranya itu.

    Tiba-tiba, Louise yang tengah asyik memperhatikan kepiting mengeluarkan bola pasir, menoleh. Charles langsung melepaskan cengkeraman di mulut Lujei dan, dengan ekspresi yang berubah cepat, ia merangkul pundak Lujei seolah-olah tak ada yang terjadi.

    "Kalian baik?" tanya Louise sambil mengangkat alis, matanya menyipit sedikit curiga.

    Lujei hendak membuka mulut untuk bicara, namun Charles menekan pundaknya dengan lebih kuat hingga jari-jari tangan Charles bersentuhan dengan tulang yang terbalut kulit. "Iya, Papa. Kita cuma bercanda," jawab Charles dengan senyum tipis, sementara Lujei menahan dirinya untuk tidak melawan di depan Louise.

    Louise memperhatikan mereka sejenak, lalu kembali pada kepiting yang tengah menggali pasir, mengabaikan ketegangan yang terpendam di antara kedua orang itu seolah memang tidak terjadi apa-apa.

    "Sakit, sialan!" balas Lujei, wajahnya menegang, tapi tak ada sedikit pun getar ketakutan dalam suaranya.

    Charles mencengkeram lebih erat bahu Lujei, jari-jarinya semakin dalam menekan kulit hingga terasa nyeri yang teramat.

    "Diamlah, anak haram," bisiknya penuh racun di telinga Lujei. "Jangan pernah berpikir lo lebih baik dari pada gw hanya karena Papa lebih deket sama elo."

    Lujei menggertakkan gigi, tubuhnya kaku menahan amarah, tapi sebelum dia berucap Charles lebih dulu berkata. "Lo tahu, kan? gak peduli seberapa keras elo berusaha, elo gak akan pernah jadi bagian keluarga ini. Elo cuma titipan. Gw yang asli di sini."

    Charles mendekatkan wajahnya ke Lujei, membuat udara di antara mereka semakin panas. "Ingat ini baik-baik. Sekali saja elo coba ngelawan atau lapor ke Papa, gw bakal pastiin elo bakalan nyesel seumur hidup. Gak bakalan ada yang bisa nolong, bahkan papa sekalipun."

    Lujei terdiam, napasnya berat, tapi matanya menatap nyalang Charles, seakan tak mau tunduk pada Charles.

    Charles menyeringai, puas melihatnya terdiam. "Bagus, tahu diri sedikit." Ia melepaskan cengkeramannya, tetapi tetap menatap Lujei dengan sorot penuh ancaman.

    Perlahan-lahan dari kejauhan Maxime melihat interaksi kedua saudara itu, senyum tipis terpatri indah di bibirnya. Matanya menyipit hingga pipinya tertekan keatas.

    Maxime mengeluarkan pena hitam dengan bordir emas dari sakunya, tangan kiri yang memegang buku kecil berwarna coklat itu dengan sigap membuka buku. Menulis hal baik yang terjadi di depan matanya, semburat hawa panas terbalut dari wajah hingga ke telinga membuat blush merah muda menghiasi wajah tampan Maxime.

    "Ah ... Ini jauh lebih menyenangkan." Ujarnya lalu memberikan informasi lain di dalam buku itu.

    Maxime menyaksikan adegan di depan matanya dengan tenang, seolah itu hanyalah pemandangan biasa di pagi hari. Tangan kanannya memutar-mutar pena hitam dengan bordir emas, sementara tangan kirinya membuka halaman buku kecil coklat yang sudah berisi catatan-catatan rapih.

    "Bab selanjutnya," pikirnya sambil tersenyum tipis. Mata tajamnya memandangi Charles yang baru saja melepaskan cengkeramannya dari Lujei. Ada rasa kepuasan tersendiri yang menjalar dari dadanya hingga ke wajah, semburat panas membuat pipinya memerah. Sungguh, melihat kekerasan di antara mereka berdua seakan memberi Maxime jenis kebahagiaan yang sulit dijelaskan.

    Ia menundukkan pandangannya ke halaman buku. "Charles semakin brutal. Reaksi Lujei mulai menguat. Emosi di antara mereka memanas."

    Maxime menulis setiap detail dengan hati-hati, hampir seperti seorang seniman yang memahat karya agung. Setiap kata yang dia torehkan seakan memiliki jiwa sendiri, hidup dalam catatan-catatan kecilnya.

    "Menarik, sangat menarik." Maxime menggigit bibir bawahnya sambil menulis, hatinya berdetak lebih cepat. "Bagaimana rasanya, Lujei? merasa kecil di bawah bayangan Charles? merasa hancur setiap kali dia mendominasi?"

    Dia membayangkan bagaimana Lujei mencoba melawan, tapi selalu gagal, tenggelam dalam cengkraman saudaranya yang lebih kuat. Itu membuat Maxime merasa hangat, seolah dia menguasai permainan yang lebih besar dari yang lain.

    "Semuanya akan segera terkuak, seiring waktu," bisiknya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Hidup ini adalah panggung, dan aku sutradaranya. Charles dan Lujei, pion-pion kecilku yang begitu indah."

    Maxime menutup bukunya perlahan dan menatap kembali ke arah mereka, senyum tipisnya tak hilang. pikirnya dengan puas. "Semuanya akan berjalan sesuai rencana. Dan ketika waktu itu tiba, aku akan memegang kendali penuh."

    Pena hitam itu berputar sekali lagi di tangannya sebelum ia menyelipkannya kembali ke saku, seolah-olah dia telah menyelesaikan satu bab penting dalam skenario yang ia susun dengan cermat. "Ya, ini akan menjadi permainan yang indah."

    Mereka bahkan tak tahu mereka sedang diobservasi ... dimanipulasi, oleh seseorang yang jauh lebih larat ketibang gunting berkarat.

Be papa || Crt Ke 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang