Chapter 3 [Bab 4; Promise Will Never Die]

64 13 0
                                    

     Sebenarnya ada satu kekurangan yang membuat Louise enggan berbaur dengan orang disekitarnya, dia gagap dan sulit berbicara lancar dan itu sudah terjadi sejak ia masih kecil meskipun semakin lama semakin membaik kadang jika panik atau responnya yang terlalu cepat dia akan kembali terbata-bata.

     Alasan inilah yang membuat Maxime sedikit bingung dengan papanya, papanya lancar berbicara bahkan bisa sampai nge-rap.

     Walau terkadang ucapan Louise terdengar seperti anak kecil dan pemilihan kata yang ada buruk, Maxime tak terlalu mengindahkannya.

      Hal yang baik. Pikir Maxime, terlebih benar dugaannya, dekat dengan Louise 'versi nacil'/'Anak kecil' terasa sejuk dan ritme yang terhampar lebih tenang ketimbang bersama dengan keluarganya yang lain.

     Hampir sepanjang malam Maxime tidak tidur, dia memikirkan sebuah nama yang telah memikat hati papanya ketika sore itu. Maxime sangat yakin seberapa antisosial Louise dan seberapa tidak menyukainya Louise pada orang lain.

     Tapi sekarang? Louise bahkan terang-terangan mengatakan dia menyukai seseorang! Maxime tak tenang, seharusnya hanya dia yang disukai Louise, hanya dia yang diinginkan Louise, dan hanya dia yang memiliki Louise.

     Maxime memandangi langit-langit kamar, matanya terbuka lebar meski waktu sudah lewat tengah malam. Pikiran tentang Louise terus berputar di kepalanya. Papanya, yang biasanya begitu dingin dan canggung, bahkan kesulitan berbicara di hadapan orang lain, tiba-tiba dengan santai mengungkapkan perasaan menyukai seseorang? Itu tak masuk akal.

     "Papa, menyukai seseorang? Selain aku?" Maxime merasa tenggorokannya mengering. Jantungnya berdebar-debar tak terkendali. Ada sesuatu yang menjalar perlahan di dalam dirinya, semacam kekacauan yang tak ia bisa jelaskan dengan mudah. Louise seharusnya hanya untuknya-dunia yang mereka bangun bersama tak boleh dirusak oleh kehadiran orang lain.

     Maxime ingat bagaimana papanya gagap saat berbicara di depan orang banyak sejak kecil. Meskipun Louise telah banyak membaik, Maxime tetap bisa menangkap kelemahan itu. Ada sesuatu yang rapuh dalam diri papanya, sesuatu yang membuatnya berbeda dari orang lain. Louise lebih tenang, lebih sederhana, lebih ... terjangkau. Ketika gagapnya kembali saat panik atau terburu-buru, Maxime justru merasa itu bagian dari pesona Louise. Bagian yang membuat papanya lebih mirip seperti anak kecil yang malang-tak terduga dan mudah dimengerti oleh Maxime.

V. V"Itu yang membuat Papa begitu sempurna untukku," pikir Maxime. Dia suka ketika Louise terjebak dalam kelemahannya. Itu membuat Maxime merasa lebih kuat, lebih diperlukan. Hanya di depan Maxime, Louise bisa merasa nyaman. Di situlah letak kuncinya-kekuatan yang Maxime miliki atas papanya.

     Namun sore itu, sesuatu berubah. Louise berbicara dengan lancar, bahkan antusias, tentang seseorang yang membuatnya tersenyum. Bukan Maxime, bukan Lujei, apalagi Charles. Orang lain. Dan hal itu meruntuhkan dunia yang selama ini Maxime bayangkan.

     "Tidak, tidak boleh," pikir Maxime, otaknya memutar kemungkinan-kemungkinan. Apa yang orang itu miliki yang bisa membuat papanya begitu terpesona? Apakah orang itu bisa memahami Louise seperti Maxime memahami papanya? Tentu saja tidak. "Hanya aku yang tahu segala kelemahan Papa. Hanya aku yang tahu caranya meredakan kekesalan Papa!"

     Maxime memejamkan mata, mencoba menghilangkan gambar-gambar mengganggu tentang papanya bersama orang lain. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, dadanya terasa semakin sesak.

     "Papa adalah milikku. Selalu begitu. Selamanya begitu."

     Bukan hanya rasa sayang yang dirasakannya sekarang. Ini lebih dari itu. Maxime terobsesi. Segala yang ia lakukan selama ini adalah untuk mempertahankan kedekatan itu, menciptakan dunia kecil yang hanya mereka berdua yang bisa mengerti.

     "Kalau ada orang lain yang mencoba masuk ..." Maxime menegakkan tubuhnya di tempat tidur, tatapannya tajam menembus kegelapan kamar. "... aku akan menghapus mereka. Tidak peduli siapa mereka."

     Ketukan pelan di pintu terdengar, diikuti suara manja yang sudah sangat dikenalnya, "Mesim~."

     Maxime tersenyum tipis, suara itu selalu membuatnya tenang, selalu menenangkan pikiran-pikirannya yang kacau. "Masuklah, Papa," jawabnya dengan nada lembut.

     Pintu kamar terbuka perlahan, dan di sana berdiri Louise, tampak ragu-ragu di ambang pintu. Wajahnya kuyu dan pakaiannya kebesaran. Ia melangkah masuk, menatap Maxime dengan tatapan penuh harap.

     "Mesim, Papa mau minta tolong," ucap Louise dengan nada pelan. "Papa nggak bisa bikin susu hangat. Cuma ada kita berdua di rumah, jadi... bisa bantu buatkan, ya?"

     Maxime menahan senyumannya agar tak terlalu terlihat senang. Di saat seperti ini, Louise begitu rapuh, begitu bergantung padanya. "Tentu, Papa. Aku akan buatkan sekarang juga."

     Louise terlihat lega mendengar jawaban itu. Namun, sebelum Maxime bangkit dari tempat tidur, Louise bertanya sambil melirik sekeliling.

     "Dimana Lujei? Bukankah dia biasanya di rumah?"

     Maxime memasang wajah tenang, meski ada sedikit rasa terganggu saat mendengar nama Lujei disebut. "Belanja daging," jawabnya singkat. "Dia mungkin akan kembali sebentar lagi."

     Louise mengangguk pelan, tampak puas dengan jawabannya. Maxime perlahan bangkit dari tempat tidur, dan ia merasakan matanya masih terfokus pada papanya yang berdiri di dekat pintu. "Begitu seharusnya, Papa hanya butuh aku, tak ada yang lain," pikir Maxime sambil berjalan menuju dapur.

     Setiap langkah menuju dapur terasa lebih ringan, karena kali ini, Papa membutuhkan dia. Hanya dia.

     "Mesim! Lou suka sendalnya." Louise mengangkat kakinya yang terbalut sendal rumah berbulu. "Kayak masih punya paw!"

     "Benarkah? Baik-baik." Maxime membalas, dia tersenyum manis sebelum mengerutkan keningnya. "Kayak masih punya paw?"

     "LUJEI! UWAAH LUJEI BAWA TEMENNYA LOU!!"

Be papa || Crt Ke 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang