Istriku Widi Bagian 2

2.6K 12 0
                                    


Preman yang nantinya aku tahu bernama Kunto itu juga sempat membisikkan, "kalau sampai kau teriak atau melawan, istrimu bisa aku lempar ke jurang!" Ancamnya.

Jujur saja, aku sangat ketakutan. Aku belum pernah berada dalam situasi semacam ini. Apalagi mereka sepertinya tidak main-main dengan ancaman itu.

Aku perhatikan, istriku masih duduk dengan kepala tertunduk di kursi tengah. Parjo sepertinya membisikan sesuatu kepada istriku dan ia mengangguk-angguk dengan anggukan orang yang panik ketakutan. Aku tak tahu apa yang ia bisikan. Tapi setelah itu, kepala istriku sempat beberapa kali tertengadah, seperti menahan sesuatu. Tubuhnya juga nampak lebih tegang dari sebelumnya.

Aku tahu, sesuatu sedang terjadi kepada istriku di kursi itu. Tapi aku tidak tahu apa itu. Aku hanya berharap, ia bisa melewati semua ini.

Perjalanan terasa sangat panjang, apalagi jalan di pegunungan ini naik turun dan berkelok-kelok. Suasana di luar nampak gelap sekali, aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa.

Aku lihat, kepala Widi semakin tertunduk, bahkan aku sempat mendengar suara aneh. Seperti suara becek air, aku tak tahu suara apa itu. Penasaran, aku coba mendongak ke depan. Tapi tiba-tiba Kunto menampar kepalaku.

Plaakkk!!

Pandanganku kembali berkunang-kunang dan darah keluar dari hidungku. Tidak berhenti di sana, ia juga kembali menghajar perutku. Bahkan tak segan memukul kemaluanku dengan gagang pisaunya.

"Argggh ampun!" Jeritku.

Sakit sekali rasanya dihajar Kunto. Aku sampai jatuh di atas lantai mobil dan mengerang menahan sakit.

"Sudah aku bilang, kamu diam saja. Nurut sama kami kalau mau nyawa selamat." Kata Kunto dengan santainya kepadaku.

Rasanya sakit bukan main, terutama di area kemaluanku. Tapi Widi sama sekali tidak menoleh ke belakang. Seolah ia sedang disibukkan oleh hal lainnya.

Pluukkk!

Ada sebuah kain yang jatuh tidak jauh dari wajahku. Kain itu berwarna putih, dan nampak sedikit basah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas bentuk kain itu. Karena mobil ini sedang melaju di jalanan yang sangat gelap. Hanya saja, bau dari kain itu begitu menyengat dan aku jadi ingat akan satu benda.

Kunto mengambil kain itu dan menghirup baunya, "Wangi!" Kata dia.

Beberapa kali Kunto menciumi kain itu seolah kain itu adalah barang yang berharga buat dirinya. Kunto lalu menyimpan kain itu ke dalam saku rompi jeans yang ia kenakan.

Ah apa kain itu sebenarnya? Dari warna, bau, dan bentuknya, aku hanya bisa berpikir satu hal. Tapi aku benar-benar tak mau memikirkannya saat itu. Hanya saja, kemungkinan besar kain itu adalah satu benda, benda yang dipakai istriku Widi kemanapun ia pergi.

Kain itu adalah celana dalam Widi!

Setelah hampir 30 menit perjalanan, mobil kijang kuno ini pun berhenti. Rupanya mobil ini berhenti di sebuah rumah tua yang kotor seperti gudang. Widi, istriku diminta turun lebih dulu. Sementara aku masih dibiarkan terikat di belakang mobil kijang ini.

Aku merasa khawatir dengan kondisi Widi, apa yang akan mereka lakukan kepadanya. Hanya saja, aku tak mendengar suara apapun dari istriku. Bahkan selama perjalanan panjang ini, ia tidak mengucapkan satu patah kata pun.

Aku hanya sempat mendengar suara decakan becek. Entah dari mana suara itu? Apakah itu suara Widi? Atau suara dari tempat lain? Aku juga sempat mendengar seperti lenguhan, tapi aku tak bisa memastikan apakah itu suara Widi apa bukan.

Cukup lama aku ditinggalkan di dalam mobil itu, hingga Kunto kembali ke mobil untuk menjemputku.

"Ayo bangun!" Perintahnya.

Mataku masih berkunang-kunang dan perutku masih terasa cukup sakit. Mungkin karena jengkel aku bangun secara lambat, Kunto kembali memukulnya. Pukulannya mendarat di punggungku dan membuatku tersungkur di atas tanah.

"Uhuuk, urrggh!" Lenguhku.

"Dasar laki-laki payah!" Kata Kunto.

Ia menendangku tepat di perutku yang masih sakit.

"Hentikan, hentikan." rintihku meskipun suaraku tidak terdengar jelas karena mulutku disumpal oleh kain.

Kunto nampak menikmati kesakitan yang aku alami. Entahlah, mungkin ia punya kelainan seperti itu.

Plukkk! Ia menjatuhkan sebuah benda tepat di hadapanku. Benda itu adalah kain yang tadi ada di dalam mobil. Kain itu memang Kunto ambil dan sempat ia cium-cium aromanya.

Di dalam mobil tadi, aku tidak bisa melihat dengan jelas kain apa itu. Tapi sekarang, dengan diterangi lampu rumah tua, aku bisa melihat benda itu dengan cukup jelas.

"Kamu tahu ini apa?" Tanya Kunto.

Ternyata kecurigaanku benar adanya. Kain itu adalah celana dalam wanita. Celana dalam istriku Widi. Celana dalam itu basah dan becek. Penuh dengan cairan yang lengket.

Aku shock melihat celana dalam itu. Jadi, semenjak di dalam mobil tadi, para preman itu sudah melepas celana dalam istriku?

"Wangi ini kancut istrimu!" Kata Kunto sambil mengibarkan celana dalam itu dengan kedua tangannya.

Aku bisa melihat, bercak cairan itu tepat ada di bagian tengah celana dalam. Tepat di bagian kemaluan istriku jika ia memakainya.

"Kamu mau tau apa yang terjadi dengan istrimu di dalem mobil tadi?" Kata Kunto.

Jujur saja, aku tak tahu harus menjawab apa. Tubuhku tegang bukan main. Aku merasa eneg, membayangkan Widi dipermainkan oleh para preman-preman itu.

"Aku akan cerita, tapi kamu tidak boleh marah atau berontak. Kalau sampai kamu marah atau berontak, maka kamu akan kami bunuh. Istrimu juga akan kami bunuh juga. Tapi ya mungkin kita bisa senang-senang dulu sebelum dia mati." Kata Kunto dengan enteng. Seolah nyawaku dan istriku itu bukan apa-apa buatnya. "Gimana, kamu mau mendengar ceritaku?"

Aku hanya bisa menjawab dengan diam. Aku benar-benar bingung, tak bisa bereaksi dalam keadaan seperti ini. Harusnya aku marah, dan memberontak. Tapi nyaliku ciut di hadapan para preman ini.

Bukkkk!!

Kunto kembali menendang tubuhku. Kali ini tendangannya mendarat tepat di buah zakar. Aku melenguh kesakitan, rasanya buah zakar seperti mau pecah.

"Kalau ditanya itu jawab, minimal pakai anggukan kepala." Kata Kunto.

Aku hampir seketika menganggukan kepala. Rasa sakit di sekujur tubuhku, terutama di buah zakar, membuat kepalaku tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Nah gitu donk," Kata Kunto. "Nih ciumin cangcut istrimu nih." Kata Kunto. "Padahal baru di grepe-grepe bentar aja, dia udah basah kayak gini? Istrimu itu benar-benar gampang banget terangsang. Udah cantik, hijaber, gampang terangsang lagi. Kombinasinya pas bener." Kata Kunto.

Jantungku seketika mau berhenti mendengar hal itu. 'Di grepe-grepe? Jadi selama di mobil istriku di grepe-grepe sama mereka?' Kataku dalam hati. (tanda petik satu ' mulai sekarang artinya kata-kata dalam hati - tidak diucapkan secara kencang).

"Pasti kamu jarang belai-belai istrimu ya? Makanya dia kayak cewek jablay. Digrepe dikit aja udah basah banget cangcut-nya. Bener ya? Kamu jarang ngasih jatah ke istri?"

Aku masih shock mendengar itu, 'selama di jalan Widi di grepe-grepe sama preman?'

Istriku Widi (Cuckold Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang