✦ episode 5: waktu indonesia bernadya

115 19 0
                                    

Tiadanya tugas yang perlu dikerjakan pada minggu pertama--dalam semester baru--ini membuat Mada mampu memanfaatkan banyak waktu untuk bersantai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiadanya tugas yang perlu dikerjakan pada minggu pertama--dalam semester baru--ini membuat Mada mampu memanfaatkan banyak waktu untuk bersantai. Setelah kembali dari warung pecel lele terdekat sebab tengah malas memasak, seperti biasanya Mada akan bermalam di teras kontrakan dengan ditemani oleh: John, gitar Fender CD60E berwarna hitam kesayangannya; satu bungkus rokok yang pada ujungnya hanya tersisa tiga sampai empat batang saja jika ketiga kawannya yang lain turut bergabung di sana; dan juga segelas kopi susu instan yang baru siap diseduhnya.

Menduduki kursi kayu panjang yang terletak persis di hadapan jendela, Mada taruh John di atas paha sembari dikeluarkannya ponsel dari saku jeans longgar yang ia kenakan. Jempol kanannya lantas sibuk menggulir layar, mencari salah satu lagu yang telah menjadi bahan latihannya selama beberapa minggu ke belakang. Dan kini Mada akan kembali mengulang hal serupa, yakni berlatih. Laki-laki itu hanya ingin lebih menguasai lagu yang belum pernah dipelajarinya tersebut kendati sudah tak terhitung lagi berapa kali ia melakukannya.

Lagu bergenre post-disco kemudian terputar. Tangan kiri Mada dengan jari-jarinya yang sudah kapalan itu sudah mengambil posisi di atas fret, sementara tangan kanannya bersiap membunyikan senar dengan teknik strumming. Tak butuh waktu lama, bangunan sederhana bercat biru di sana telah dipenuhi musik yang didominasi oleh kolaborasi antara Mada dan juga John.

Mada nyaris tehanyut dalam lagu sampai ia menggangguk-angguk sesuai dengan irama, sementara senyum puas tercetak jelas di bibir sebab ia berhasil untuk yang ke sekian kali. Namun, semuanya terpecah begitu saja kala lagu sekonyong-konyong berganti menjadi nada dering, pertanda bahwa adanya panggilan yang masuk. Secepat kilat pandangan Mada pun terarah pada layar ponsel, lalu tertegun selepas mendapati nama kontak yang terpampang di sana.

Tanpa sadar, Mada meloloskan napas dengan berat. Meski enggan, tetapi Mada merasa bahwa kali ini ia tak boleh menghindar lantaran lelaki itu sudah terlalu lama melakukannya. Lagi pula, yang akan Mada hadapi hanyalah adiknya. Adik perempuannya yang masih berumur enam belas. Adik perempuannya yang tidak tahu apa-apa dan sama sekali tidak patut untuk disalahkan atas situasi tak mengenakkan yang tercipta.

Lantas, dengan pemikiran demikian, Mada pun tidak lagi ragu untuk menjawab telepon tersebut. "Halo, Bina," sapa lelaki itu, mencoba terdengar riang sebagaimana ia selalu bersikap pada Bina.

"Kak Ian!" Bina lekas membalas dengan antusias. "Kakak apa kabar? Bina kangen banget sama Kak Ian tau!"

Mada tertawa kecil. Ia tak lagi bisa menahan tarikan di kedua sudut bibirnya sekarang. "Nggak di chat, nggak di telepon, kenapa sih ngomongnya kangen mulu? Kakak sengangenin itu emangnya?" balasnya dengan usil.

"Tuh, tuh, mulai lagi. Nggak usah besar kepala, deh. Lagian gimana Bina nggak kangen, kalau Kakak aja nggak pulang-pulang, hah?! Jangan-jangan Kakak udah punya pacar ya, makanya betah banget di sana? Mana sok sibuk banget lagi, sampe nggak pernah angkat telepon Bina!"

Serenada SerenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang