Taufan sedang duduk di kursi taman dengan amplop coklat dan hasil ulangan di tangan nya
taufan tersenyum getir saat melihat amplop yang ia pegang Ia tahu isi amplop itu akan mengubah hidupnya selamanya. Dengan tangan gemetar, ia membuka segelnya dan mengeluarkan surat di dalamnya. Mata Taufan menelusuri setiap kata dengan hati-hati, merasakan campuran emosi yang tak terlukiskan-dari harapan hingga ketakutan.
"Ufan jangan nyerah ya, ufan harus bertahan sampai ayah dan yang lain nya mau menerima ufan terutama alin" bisik Taufan sambil menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
.
.
.
.
.
.
.
Di markas tapops"apa kalian merasakan energi aneh dari taufan?"
Celetuk halilintar memecah keheningan di antara mereka berenam
Semua mata beralih ke arah Halilintar, yang duduk dengan ekspresi serius. Gempa, yang berada di sampingnya, mengerutkan dahi. “Energi aneh? Apa maksudmu?” tanyanya, kebingungan terlihat di wajahnya. Sementara Blaze dan Ice saling berpandangan, penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan.
“Entahlah,” jawab Halilintar, “tapi ada sesuatu yang berbeda dengan Taufan. Aku bisa merasakannya.”
“Dia hanya Taufan yang biasa,” sahut Blaze, sedikit skeptis. “Apa yang bisa membuatnya berbeda dari kita?”
Ice, yang selama ini mendengarkan, menyela. “Jangan lupa, dia adalah bagian dari keluarga ini. Mungkin kita terlalu mengabaikannya.”
.
.
.
.
.
.
.
Sedangkan di sisi taufan di taman, Taufan menutup amplop itu dengan pelan, merasa beban di pundaknya semakin berat. Saat dia melangkah kembali ke kelas, dia mendengar suara gaduh di belakangnya. Beberapa siswa berkumpul, tertawa dan bercanda. Taufan mempercepat langkahnya, berusaha untuk tidak terjebak dalam kerumunan yang penuh dengan keceriaan itu.Namun, saat Taufan berbalik, dia mendengar suara yang sangat familiar. “Lihat siapa yang datang! Si lemah!” ejek seseorang. Taufan menoleh dan melihat beberapa teman sekelasnya tertawa, menyorotnya dengan tatapan mengejek.
“Hentikan! Kenapa kalian selalu begitu?” Taufan mencoba menahan amarahnya, namun suaranya bergetar.
“Kenapa? Kami hanya bercanda. Mungkin jika kamu lebih kuat, kami akan lebih menghargai mu,” salah satu dari mereka menjawab dengan sinis.
Taufan merasa hatinya hancur seakan-akan ditusuk ribuan jarum. Dia berbalik dan berjalan menjauh, tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dalam hati, dia berdoa agar suatu saat dia bisa menemukan kekuatan yang selama ini hilang.
Taufan berjalan dengan langkah gontai, berusaha menyingkirkan semua ejekan yang terus terngiang di telinganya. Perasaannya campur aduk, antara marah dan sedih. "Kenapa semua orang harus memperlakukan aku seperti ini?" batinnya. Dengan semangat yang hampir padam, ia memasuki kelas.
Di dalam kelas, suasana masih ramai. Teman-teman sekelasnya sedang membahas tentang rencana acara akhir pekan. Taufan memilih duduk di pojok, jauh dari keramaian. Ia ingin merasakan ketenangan, meskipun sulit untuk didapatkan.
Di luar kelas, Halilintar dan Gempa tampak sibuk berbincang dengan teman-teman mereka. Taufan melihat mereka dengan campuran rasa iri dan harapan. Dalam hati, ia ingin sekali merasakan kehangatan dan kasih sayang dari saudara-saudaranya. “Seandainya mereka tahu betapa aku ingin berada di sana bersama mereka,” pikirnya.
Sementara itu, Halilintar merasakan sesuatu yang berbeda pada Taufan. “Gempa, kau merasakan itu juga? Sepertinya ada sesuatu yang berubah pada Taufan,” katanya, menatap ke arah Taufan yang duduk sendirian.
Gempa mengangguk, bingung. “Ya, aku merasakannya. Tapi apa itu? Dia hanya Taufan yang selalu kita lihat. Mungkin kita perlu lebih memperhatikannya.”
Kembali ke sisi Taufan, saat pelajaran berlangsung, ia berusaha untuk berkonsentrasi. Namun, bayangan masa lalu terus menghantui pikirannya. Dia teringat akan insiden di mana ia nyaris kehilangan nyawanya lima tahun lalu, saat penyerangan yang membuatnya menjadi seperti sekarang.
Setelah pelajaran selesai, Taufan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Ia ingin mencari ketenangan di antara buku-buku, berharap bisa melupakan semua masalah sejenak. Setibanya di sana, ia menemukan sudut yang sepi dan mulai membaca buku tentang kekuatan batin.
Saat ia tenggelam dalam buku, seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Taufan menoleh dan melihat Gempa. “Bisa aku duduk di sini?” tanya Gempa.
“Uh, ya, silakan,” jawab Taufan, merasa sedikit terkejut. ''tumben"
Taufan mengalihkan pandangannya dari buku dan menatap Gempa dengan rasa ingin tahu. Ia tidak menyangka bahwa saudaranya yang selalu ceria itu akan menghampirinya. Biasanya, mereka jarang berbincang, apalagi di tempat sepi seperti ini.
"Aku melihatmu tadi di taman," Gempa memulai pembicaraan, menatap Taufan dengan perhatian. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat."
Taufan menatap Gempa dengan skeptis, terkejut oleh perhatian yang tiba-tiba itu. "Kenapa kau peduli?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia inginkan.
Gempa terdiam sejenak, tampak terkejut oleh nada suara Taufan. Namun, ia segera mengembalikan senyumannya yang hangat. "Karena kita adalah saudara, Taufan. Meskipun kita sering tidak berbicara, aku tetap peduli. Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan."
"Keluarga ya? Tapi aku sudah tidak menginginkan keluarga lagi" jawaban taufan membuat gempa terdiam
Gempa menghela napas, memahami perasaan kakaknya."“Aku bisa membantumu! Kita bisa berlatih bersama.”
“Latihan? Untuk apa? Untuk menjadi lebih lemah?” sindir Taufan, merasakan keraguan yang menghantui hatinya.
"Aku pergi dulu lanjutkan saja membaca gem" ucap taufan
Taufan berjalan menjauh dari Gempa, merasa campur aduk antara kebingungan dan rasa sakit yang tak tertahankan. Ia tidak ingin berbicara tentang perasaannya, dan kata-kata saudaranya hanya mengingatkannya pada kenyataan yang menyakitkan. "Berlatih? Untuk apa?" pikirnya. "Apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak memiliki kekuatan seperti mereka."
Langkahnya terhenti di depan jendela perpustakaan. Ia menatap keluar, mengamati daun-daun yang bergetar diterpa angin. Satu hal yang selalu membuatnya merasa tenang adalah angin. Meski tubuhnya lemah, hatinya merindukan kebebasan seperti angin yang dapat meluncur ke mana saja tanpa terikat oleh apa pun.
“Kenapa aku tidak bisa memiliki momen seperti itu?” pikirnya, dengan rasa sakit yang semakin dalam. Taufan terus berjalan, berusaha mengabaikan rasa cemburu yang menghimpit dadanya.
Ketika dia sampai di luar sekolah, angin berhembus lembut, seolah-olah mencoba menenangkan jiwanya yang terluka. Dia memutuskan untuk berjalan ke taman yang lebih sepi di dekat sekolah, tempat di mana dia bisa merenung tanpa gangguan. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia tahu dia butuh waktu untuk merenungi semua yang telah terjadi.
Di taman, Taufan duduk di bangku kayu yang sudah usang. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar yang masuk ke dalam paru-parunya. “Mungkin angin bisa membawaku jauh dari semua ini,” gumamnya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang aneh, sebuah kekuatan yang seolah melingkupinya. Dia menutup mata, mencoba merasakan apa yang terjadi.
"Salam perkenalan taufan perkenalkan nama ku maripos"
KAMU SEDANG MEMBACA
IS THERE NO PLACE FOR ME? (END)
Teen FictionTaufan Malviano hidup dalam bayang-bayang saudara-saudaranya yang memiliki kekuatan elemen. Kekuatan saudara-saudaranya mulai muncul sejak kecil, sementara Taufan tidak pernah menunjukkan kemampuan apa pun. Hal ini membuatnya menjadi sasaran ejekan...