Tidur Panjang Sang Pengendali Angin

100 16 0
                                    

Pandangan Taufan mulai buram seiring angin di sekelilingnya semakin kencang. Kekuatan yang baru saja ia temukan terasa begitu besar, namun juga asing dan melelahkan. Tubuhnya bergetar, dan ia merasa seakan semua energi terserap oleh angin yang mematuhinya.

"Dari mana semua ini berasal?" pikirnya sambil berusaha tetap berdiri tegak. Suara gemuruh angin mengisi telinganya, menyelimuti kesadarannya, sementara pandangannya semakin kabur.

"Taufan!" seru Halilintar, suaranya terdengar samar-samar di tengah hiruk-pikuk badai. Namun, Taufan tak mampu menjawab. Tubuhnya mulai goyah, dan sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, kegelapan perlahan mengambil alih pandangannya.

Taufan terjatuh dengan lembut di tanah, angin yang tadinya mengamuk kini mereda, seolah-olah turut merasakan hilangnya kesadaran tuannya. Tubuhnya tergeletak lemah di tengah markas, di mana semua orang tertegun menyaksikan kekuatan angin yang tiba-tiba surut setelah ledakan dahsyat itu.

Halilintar, Blaze, Ice, dan yang lainnya segera berlari ke arahnya. Wajah-wajah mereka dipenuhi kekhawatiran, karena mereka belum pernah melihat Taufan seperti ini sebelumnya. Ia, yang selama ini dianggap tidak memiliki kekuatan, kini tampak seperti menjadi pusat badai yang baru saja mereka hadapi.

"Taufan! Bangun!" Halilintar mengguncang bahunya dengan lembut, namun tak ada respons.

Gempa berlutut di sampingnya, meraba denyut nadi Taufan. "Dia masih hidup," gumamnya lega, tetapi ada rasa gentar dalam suaranya. "Tapi energinya terkuras habis."

                   ____________________

Suara Halilintar terdengar lirih di ruangan medis yang sunyi. Matanya penuh harapan, meski tatapannya menampilkan keletihan yang mendalam. Ia berdiri di samping ranjang Taufan, menatap adiknya yang terbaring tak berdaya, tubuhnya terhubung dengan mesin-mesin medis yang memantau setiap detak jantung dan napasnya. Sudah sebulan sejak Taufan jatuh pingsan di tengah-tengah badai, dan kenyataan bahwa adiknya diam-diam menderita penyakit yang begitu serius menghancurkan hatinya.

"Fan... kenapa gak bilang kalau sakit? Kita semua ada buat kamu. Ayah lagi cari pendonor, kita pasti bisa bantu kamu, tapi kamu harus bangun," ucap Halilintar dengan suara yang hampir patah.

Ia menggenggam tangan Taufan dengan erat, seolah-olah melalui sentuhan itu, ia berharap bisa membangunkannya dari tidur panjangnya. Di luar, angin berhembus lembut, berbeda jauh dengan badai besar yang diciptakan Taufan sebulan yang lalu. Namun, meski angin di luar tenang, di dalam hati Halilintar badai emosi terus berkecamuk.

"Alin tahu kamu capek, Fan," lanjutnya, suaranya bergetar, "tapi kamu harus bangun lagi. Kita semua butuh kamu. Alin butuh kamu. Tolong, Fan..."

Tangis Halilintar akhirnya pecah, memenuhi ruangan yang sunyi dengan isak nya. Ia menundukkan kepalanya di samping Taufan, menggenggam tangan adiknya lebih erat seolah-olah mencoba menyalurkan seluruh kekuatan dan harapannya. Selama ini, Halilintar berusaha kuat di depan yang lain, meyakinkan teman-temannya dan dirinya sendiri bahwa Taufan akan bangun, bahwa ini hanyalah soal waktu.

Namun, sebulan telah berlalu. Hari demi hari berlalu dengan mesin-mesin yang terus berdetak monoton, sementara adiknya tetap terbaring tak bergerak.

Pintu ruang medis terbuka perlahan, dan sosok Amato, ayah mereka, masuk dengan langkah berat yang dipenuhi kelelahan. Wajahnya pucat, kantung mata yang menghitam menunjukkan bahwa ia belum tidur semalaman, sibuk mencari cara untuk membantu Taufan. Pandangannya tertuju pada putra kedua nya yang terbaring lemah di ranjang, terhubung dengan alat-alat medis.

Di samping ranjang, Halilintar, anak sulungnya, tertidur dengan posisi membungkuk, tangannya masih menggenggam tangan Taufan dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya. Air mata yang masih tersisa di wajah Halilintar

Waktu terus berjalan, dan tubuh Taufan masih terbaring tak bergerak di ranjang medis Markas Tapops. Mesin-mesin di sekitarnya berbunyi lembut, memberikan tanda-tanda bahwa kehidupan masih bertahan dalam tubuh yang tampak begitu lemah. Di luar, langit tampak cerah, berbeda jauh dengan suasana hati yang melingkupi keluarga Malviano.

Halilintar terbangun perlahan dari tidurnya di samping ranjang Taufan. Matanya masih basah, sisa air mata malam sebelumnya mengering di wajahnya. Ia merasakan genggaman lemah di tangannya, dan untuk pertama kalinya dalam sebulan, ia merasakan ada harapan.

"Taufan?" suaranya nyaris berbisik. "Apa kamu... kamu sadar?"

Tidak ada jawaban, namun tiba-tiba, mesin-mesin di sekitar Taufan berbunyi lebih cepat. Amato, yang masih berada di ruangan itu, segera bangkit dari duduknya. Mata tua ayah mereka menatap dengan penuh harapan.

"Fan... Fan, bangun," Halilintar mencoba memanggil dengan lembut, tetapi tidak ada respon selain detak jantung yang semakin cepat. Lalu, tiba-tiba, angin yang lembut mulai berhembus dari sudut ruangan, meski semua jendela tertutup rapat.

"Ini... ini angin," gumam Halilintar terkejut.

Amato, yang awalnya tampak kebingungan, akhirnya menyadari sesuatu. "Kekuatan Taufan... Kekuatan angin itu mulai bergerak lagi."

Di luar markas, angin semakin kuat, mulai berputar di langit. Langit yang tadinya cerah perlahan berubah menjadi kelabu, awan-awan berarak dan membentuk pusaran besar. Suasana di dalam markas berubah menjadi lebih tegang. Semua orang bisa merasakan ada kekuatan yang luar biasa sedang bangkit, kekuatan yang tidak bisa mereka abaikan.

Sementara itu, di dunia antara sadar dan tidak, Taufan merasa dirinya terombang-ambing di dalam kegelapan. Suara-suara samar terdengar, suara keluarganya yang memanggil namanya, namun terasa begitu jauh. Ia merasakan kekuatan besar mengalir melalui tubuhnya, namun juga merasakan kesakitan yang luar biasa.

"Apa... ini?" pikirnya dalam hati. Ia merasa tubuhnya hancur oleh badai yang begitu kuat, tetapi sekaligus dihidupkan kembali oleh kekuatan yang sama.

Di hadapannya, tiba-tiba muncul sosok samar pemuda yang mirip dengan dirinya. Perbedaan yang mencolok hanyalah rambut biru pemuda tersebut, yang berkilauan seperti langit biru cerah. Pemuda itu tersenyum dan membungkuk hormat.

"Salam, Tuan-ku," ucap pemuda itu dengan suara tenang namun penuh wibawa.

"Kau yang selalu datang di mimpi ku, dan mengatakan  aku adalah kau dan kau adalah aku"

"Ya tuan ku, perkenalkan nama ku beliung"

Taufan memandangi pemuda di hadapannya dengan tatapan bingung. "Beliung...?" gumamnya, merasa tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Di sekelilingnya, badai terus berputar, membawa angin yang begitu kuat hingga terasa seolah-olah sedang mencoba menghancurkan dan membangun ulang tubuhnya pada saat yang bersamaan.

Beliung tersenyum lembut, rambut birunya berkilauan di tengah badai yang terus berkecamuk. "Ya, Tuan-ku. Aku adalah bagian dari dirimu,"

Taufan mencoba memahami apa yang dikatakan Beliung. "Jadi... ini kekuatanku?"

"Kau selalu layak, Tuan-ku"

Di dunia nyata, Halilintar dan Amato menatap layar monitor yang menunjukkan peningkatan drastis pada detak jantung Taufan. Angin di sekitar ruangan tiba-tiba menguat, berputar-putar dengan kecepatan yang tak wajar.

Halilintar hanya bisa menatap adiknya yang masih terbaring di ranjang. "Fan... kumohon, bangun," bisiknya lirih

IS THERE NO PLACE FOR ME? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang