Apa Ada Kesempatan Kedua, Fan?

139 16 0
                                    

Beberapa hari telah berlalu sejak pengorbanan ibu mereka, Mara, untuk menyelamatkan Taufan dari masa lalu. Kejadian itu telah menghantam Taufan begitu keras, membuatnya menarik diri dari semua orang. Dia memilih untuk diam, tidak membagi kesedihannya, bahkan kepada ayahnya, Amato, atau saudara-saudaranya yang lain. Sekarang, Taufan duduk di sudut kamarnya, terjebak dalam pikiran kelam yang tidak henti-hentinya memburunya.

Ruang kamarnya terasa sunyi, hampa. Jendela yang terbuka membiarkan angin malam masuk, membawa aroma lembut dari dedaunan di luar, tapi bagi Taufan, semuanya tampak tak bermakna. Hatinya terasa kosong, sementara pikirannya terus terbelit oleh kenangan. Ia memikirkan wajah ibunya, senyum hangatnya, dan segala pengorbanan yang ia lakukan. "Kenapa semua ini harus terjadi?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar di antara desiran angin malam.

Saat pikirannya semakin dalam tenggelam dalam pusaran kenangan yang menyakitkan, suara ketukan lembut di pintu terdengar, mengganggu keheningan yang melingkupinya. "Taufan, boleh aku masuk?" Suara Halilintar, kembarannya sekaligus kakak sulungnya, datang dari balik pintu.

Taufan tetap diam, tidak memberikan jawaban. Meskipun begitu, pintu perlahan terbuka, dan Halilintar melangkah masuk dengan ragu. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian, menatap Taufan yang tampak begitu jauh dari dirinya.

"Entahlah," jawab Taufan akhirnya, suaranya datar, tanpa semangat. "Untuk apa kau ke sini, Hali?"

Halilintar, yang sudah berada di dekat tempat tidur Taufan, berusaha mendekat, mungkin berharap bisa membantu mengurangi sedikit beban yang Taufan rasakan. Tapi sebelum ia bisa bicara lebih jauh, Taufan memotongnya dengan suara dingin. "Keluar sana. Biarkan aku sendiri," katanya, suaranya terdengar semakin tegas, meskipun nadanya tetap terkontrol. Ada sesuatu yang sedang ia tahan-sebuah ledakan emosi yang seolah siap meletup kapan saja.

Halilintar terdiam sejenak, terkejut oleh respons dingin saudaranya. Ia tidak menyangka Taufan akan merespons dengan cara seperti ini. Biasanya kau selalu mencari perhatian, Fan, dan sekarang ketika aku ingin membantumu, kau malah menjauh, pikir Halilintar dalam hatinya, merasa bingung sekaligus terluka.

"Aku sudah bilang keluar!" Taufan menegaskan sekali lagi, suaranya kini mengandung nada ketidakpuasan yang lebih jelas.

Halilintar hanya bisa menatap Taufan sejenak, mencoba memahami apa yang tengah dialami saudaranya. Matanya menunjukkan rasa bersalah dan iba, namun ia tahu tidak ada gunanya memaksa. Tanpa sepatah kata, Halilintar akhirnya mengangguk pelan, menerima keputusan Taufan. Dengan langkah berat, ia mulai mundur dan berkata dengan lembut, "Baiklah, aku akan pergi. Tapi ingat, Fan, aku selalu ada di sini kalau kau butuh aku."

Setelah Halilintar meninggalkan kamar, menutup pintu dengan lembut di belakangnya, Taufan sekali lagi terjebak dalam kesunyiannya. Kesedihan yang dirasakannya semakin menyesakkan dada, seperti beban berat yang tidak bisa ia lepaskan. Ia ingin berteriak, meluapkan semua rasa sakit dan penyesalan yang selama ini dipendamnya, tetapi suara itu tidak pernah keluar. Sebaliknya, hanya air mata yang perlahan mulai mengalir di pipinya.

"Apa aku pantas mendapatkan kesempatan kedua?" bisiknya pelan, kepada dirinya sendiri atau mungkin kepada langit di luar. Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban, mengisi kekosongan di dalam hatinya.

Sementara itu, di luar kamar, Halilintar berdiri diam, tangannya masih menyentuh kenop pintu yang baru saja ia tutup. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Sesuatu di dalam dirinya merasa gagal-gagal mencapai saudaranya

Halilintar masih berdiri di luar pintu, memegang erat kenop dengan pikiran yang berkecamuk. Fan, apa masih ada kesempatan untukku? Untuk kita?

IS THERE NO PLACE FOR ME? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang