"Gila, ini gila," ucapku sambil mondar-mandir di ruang ini, tatapanku terfokus pada koper misterius itu yang masih terbuka. Tanganku tak henti menggigit kuku, rasa panik dan ketidakpercayaan membanjiriku."Kenapa, Non? Tenang, Non. Ayo, pelan-pelan," suara Bela di telepon mengingatkanku untuk bernapas.
"Bel, ini gila, Bel!" aku tidak bisa menyembunyikan ketakutanku. Suaraku sedikit bergetar, dan aku berusaha untuk mengendalikan emosi.
"Iya, kenapa, Non?" jawabnya, nada suaranya mencerminkan keprihatinan.
"Kakekku dan kakek Gemy ternyata bagian dari organisasi ini juga!" kataku, suara bergetar penuh kepanikan.
"Hah? Serius, Non?" Suara Bela terdengar terkejut, membuatku merasa sedikit lebih tenang.
"Pokoknya, kamu sekarang ke rumahku dan jangan bilang siapa-siapa. Cepetan!"
"Siap, siap, Non," jawab Bela sebelum memutuskan sambungan.
Aku merasa sedikit lega, tetapi kegelapan dalam pikiranku masih menghantuiku. Sambil menunggu kedatangan Bela, aku berusaha mengumpulkan semua informasi yang ada. Tiba-tiba, suara berderak dari luar jendela membuatku menoleh. Hujan mulai turun lagi, mengguyur bumi dengan deras.
Suasana di luar sangat kontras dengan apa yang terjadi di dalam pikiranku. Di luar sana, dunia seolah berjalan normal, namun di dalam hatiku, rasa gelisah terus merayap.
Saat aku meraih secangkir air untuk menghilangkan dahaga, pikiranku terus melayang. Kegelapan seakan menunggu untuk menelan segalanya. Semakin lama, rasa cemas ini semakin mencekam, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar organisasi.
Beberapa menit kemudian, suara derap langkah kaki di luar rumah membuatku terkejut. Jantungku berdegup kencang. Belum sempat aku menyadari siapa itu, pintu depan terbuka, dan Bela muncul dengan napas terengah-engah.
"Sorry, Non, aku baru sampe. jadi Apa yang terjadi?" tanyanya, terlihat khawatir.
"Masuk dulu!" seruku, menariknya masuk ke dalam rumah, jauh dari pandangan dunia luar.
Begitu pintu tertutup, aku segera menarik Bela ke kamar kakekku. Tanpa membuang waktu, aku menjelaskan semuanya—penemuan koper, logo Freemason, hingga foto-foto kakekku dan kakeknya Gemy yang mengenakan celemek itu. Bela mendengarkan dengan seksama. Wajahnya yang awalnya penuh perhatian perlahan berubah menjadi campuran antara ketakutan dan ketidakpercayaan.
"Astaga, Non..." ucap Bela dengan suara pelan, seolah-olah berusaha memahami semua yang baru saja ia dengar. Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan, "Waktu itu, setelah Non Regina pingsan, tiba-tiba ada beberapa orang masuk ke ruangan kita. Mereka langsung membius aku, Jeri, dan Mang Hadi juga. Tiba-tiba, kita semua sudah ada di rumah masing-masing."
Aku tertegun mendengar cerita Bela. "Jadi, bukan cuma aku yang terbius... mereka juga bius kamu, Bel? Kita semua?" gumamku, berusaha mencerna informasi baru ini.
Bela mengangguk pelan. "Iya, Non. Aku yakin kita nggak diizinkan tahu lebih jauh tentang malam itu."
Aku menghela napas dalam-dalam. Pikiran ini membuatku semakin yakin bahwa apa yang terjadi bukan sekadar kebetulan atau mimpi buruk belaka. Ada sesuatu yang sangat dalam dan gelap di balik semua ini, sesuatu yang terus berusaha disembunyikan.
"Eh, Mas Gemy gimana, Non? Non Regina udah bicara sama Mas Gemy?" tanya Bela, memecah kebuntuan pikiran.
Aku menggeleng lemah. "Belum. Aku belum bicara sama dia," jawabku, sambil menunjukkan log panggilan di ponselku. 666 panggilan tak terjawab dari Gemy terlihat jelas di layar. "Dia udah nelfon berkali-kali, tapi aku nggak berani angkat. Aku... kecewa sama dia. Aku nggak tahu harus bilang apa ke dia. Aku nggak mau lagi terlibat dalam urusan yang dia sembunyikan dariku."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Morning Star
Romance"The Morning Star" adalah sebuah kisah romantis yang mengisahkan perjalanan cinta antara Regina Theodora dan Gemy Ali, dua jiwa yang dipertemukan kembali oleh takdir setelah bertahun-tahun berpisah. Dibesarkan dalam keluarga TNI yang penuh dengan ni...