Would you hug me?

429 55 25
                                    

Kita hilang pada dimensi kita masing-masing ...
__________

Mendengar pernyataan seperti itu dari seseorang bukan kali pertama bagi Hyunsuk. Kesannya akan tetap sama, kalimat itu mampu menyelinap diam-diam ke dalam tubuhnya, menghangatkan semua ruang di dadanya. Lalu, mengantarkan satu senyum. Namun kali ini, rasanya jauh berbeda, dia merasakan banyak bagian yang sakit dalam dirinya, lalu dia tersenyum dalam senyum yang cemas.

Mungkin saja, Hyunsuk memiliki perasaan yang sama. Mungkin saja, dia juga menginginkan Jihoon sebesar Jihoon menginginkannya atau bisa jadi, jauh lebih mengerikan daripada itu.

Dia hanya perlu keberanian untuk bicara.

Mereka mungkin saja saling menginginkan. Lalu saat Jihoon mengakuinya, Hyunsuk bisa saja mengatakan hal serupa. Namun, kenyataan tidak sesederhana itu, rumit hidupnya tidak mengizinkan itu.

Ada banyak hal yang mesti dia selesaikan di belakang ungkapan yang baru saja terucap untuknya. Hyunsuk masih terdiam saat pernyataan itu terdengar. Tersekat tenggorokannya, sampai sakit sekali rasanya.

Tatap Jihoon masih menangkap matanya, pria itu sedang menanti, tapi Hyunsuk tidak kunjung bersuara. Saat Jihoon tersenyum, Hyunsuk malah ingin menangis, dia merasa bersalah karena tidak bisa membalas pernyataan manis itu dengan sikap apa pun.

"Aku cuma mau berkata jujur," ujar pria itu lagi. Dan tentu saja Hyunsuk sangat berterima kasih. "Jangan merasa terbebani," lanjutnya.

Oh, tentu saja tidak. Jihoon tidak pernah membebaninya, keadaan itu hanya membuat Hyunsuk tidak bisa melepaskan kejujuran yang sama. Mungkin kali ini, Jihoon kecewa karena tidak mendengar pengakuan yang serupa, tapi pria itu tidak menunjukkan sikap berbeda.

Selama beberapa saat, ruangan itu tanpa suara, sampai akhirnya Jihoon kembali bicara. "Dulu, aku nggak begitu mengerti tentang maksud kata 'rumah' yang banyak orang-orang sebut. Aku hanya berpikir untuk membangun sebuah rumah dan berencana menempatinya setelah punya keluarga nanti. Hanya itu." Kali ini, suara Jihoon terdengar agak berbisik.

Hyunsuk melihat mata lelah itu mengerjap lemah, tersenyum membawa sendunya sampai terlihat.

"Tapi ternyata lebih dari itu artinya. Rumah bukan hanya tempat untuk tinggal. Tapi tempat untuk pulang. Bukan sekadar bangunan tempat kamu menetap, tapi tentang seseorang yang hidup bersama kamu di dalamnya." Pria itu tersenyum, terus mengusap punggung tangan Hyunsuk.

Benar. Tentang seseorang yang hidup bersama, tentang orang yang dia kalungkan mimpi dan harap setelahnya.

"Kita ... nggak tahu takdir akan membawa kita ke mana, Suk ...." Kali ini, telapak tangannya mengusap kepala Hyunsuk. "Seandainya nanti ... kamu belum menemukan rumah yang kamu harapkan, kamu harus bisa menjadi rumah untuk diri kamu sendiri. Jangan terlalu keras, peluk diri kamu saat sedang kecewa. Dunia memang jahat, tapi kamu harus selalu baik untuk diri kamu sendiri."

**

Hyunsuk tidak bisa terlalu lama meninggalkan pekerjaannya. Dia bahkan belum beranjak dari balik kursi kerjanya sejak pagi, dan hampir mengabaikan waktu makan siang jika saja sekretarisnya tidak mengingatkan. Beranjak semakin sore, Hyunsuk merasa waktu bergerak terlalu cepat, atau mungkin yang dia butuhkan waktu yang lebih dari 24 jam.

Dia sempat meninggalkan pekerjaannya selama beberapa saat untuk menerima telepon. Mendengarkan orang di seberang sana berbicara, tentang pekerjaan, memberi tahu tentang banyak hal. Lalu, saat sambungan telepon terputus, dia melepaskan satu napas kasar.

Bagian belakang kepalanya disandarkan ke kursi, matanya terpejam. Seharian ini waktunya tidak terganggu. Sampai akhirnya, dia menemukan sebuah telepon pada pukul tiga sore. Dari Mami. Sebuah ajakan makan siangnya yang kemarin Hyunsuk tolak seolah merupakan sebuah ancaman.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Silent's || HOONSUK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang