🏠Rumah 19: Hujan di dalam Hati

13 3 0
                                    

LANGIT sore ini masih kelabu, menggantung berat di atas kepala, seolah-olah ikut berduka atas semua yang telah terjadi. Awan-awan gelap mengancam dari kejauhan, sementara angin sore yang dingin menyusup, menyentuh wajahku dengan lembut tapi dingin. Di kejauhan, matahari perlahan tenggelam, menyisakan semburat tipis di balik tirai awan-seperti ingin mengucap salam perpisahan yang terakhir sebelum malam mengambil alih.

Aku menatap pusara di hadapanku, gundukan tanah merah yang masih segar, walau sudah bertahun-tahunamanya, tempat Ibu beristirahat untuk selamanya. Setiap kali kulihat makam itu, rasanya seperti ada sesuatu yang robek di dalam hatiku. Dulu, aku pikir aku sudah siap dengan kepergiannya, tapi kenyataannya tidak. Kepergiannya meninggalkan lubang yang tak mungkin bisa tertutup.

Aku merasa telah merelakan Ibu dengan sepenuh hati, bukan karena aku ingin melupakan, tetapi karena aku tahu kenangan ini akan terus hidup di dalam diriku. Rumah bukanlah tempat yang bisa hilang, selama ada cinta dan kenangan di dalamnya.

Rumah bukan sekadar tembok yang mengelilingi kita, tetapi perasaan yang selalu ada di hati. Dan rumah itu akan selalu hidup di dalam setiap kata yang kutuliskan, di setiap cerita yang kuhidupkan kembali melalui tinta yang menari di atas kertas.

Tanganku meremas erat setangkai mawar putih yang kelopaknya mulai layu. Aku memandangi bunga itu sejenak, sebelum perlahan berlutut di depan makam Ibu. Kakiku terasa lemas, seluruh tubuhku seolah tak kuat menopang berat duka yang menyelimutiku.

"Ibu ...," bisikku, suaraku bergetar, hampir tak terdengar.

Tanganku gemetar saat aku mulai menaburkan kelopak bunga di atas tanah. Mawar-mawar itu jatuh perlahan, seolah menari di antara angin yang membawa kesedihan. Setiap kelopak yang jatuh terasa seperti sepotong hati yang kutinggalkan di sana. Setiap tetes air mata yang mengalir, seolah ikut mengiringi bunga-bunga itu. Aku tak bisa lagi menahan rasa kehilangan ini. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup tanpa Ibu di sisiku?

"Maaf .... Aku tak bisa lakukan lebih, Bu ...." Ucapanku tenggelam bersama angin sore. Dadaku sesak, seolah ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk, perlahan tapi pasti. Aku ingin berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya hening yang merajai, membingkai kesedihan yang seolah tak pernah habis.

Aku meraih kendi kecil di sampingku. Kendi dari tanah liat yang dulu selalu Ibu gunakan setiap kali kami ziarah ke makam kakek. Sekarang, kendi ini terasa berat di tanganku, seolah penuh dengan beban kenangan yang tak pernah akan terulang lagi.

Dengan tangan yang masih bergetar, aku menyiramkan air dari kendi itu ke atas pusara. Setiap tetes air yang jatuh di atas tanah, terasa seperti membawa lebih banyak rasa sakit yang terpendam. Waktu serasa berhenti, hanya ada aku, Ibu, dan angin yang perlahan membawa semuanya pergi.

Kendi itu kini sudah kosong. Aku duduk bersimpuh di depan makam Ibu, tatapanku tak lepas dari nama yang terukir di batu nisan. Aku ingat bagaimana Ibu selalu bilang bahwa waktu akan menyembuhkan semua luka. Tapi ternyata, luka ini semakin menganga, semakin dalam, seiring berlalunya hari.

"Ibu .... Aku benar-benar merindukanmu." Suaraku pecah, bergema dalam kesunyian yang melingkupi kami berdua. "Aku tahu ... aku tahu tidak ada yang bisa mengubah takdir. Tapi, kenapa rasanya begitu berat? Kenapa aku tidak bisa mengikhlaskanmu, Bu?"

Aku menunduk, tanganku mengepal erat tanah yang masih basah. Hawa dingin sore ini semakin meresap ke dalam tubuhku, tapi aku bahkan tak bisa merasakannya lagi. Yang ada hanyalah kesepian yang tak tertahankan, kesepian yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang kehilangan orang yang paling dicintainya.

Angin kembali berembus, kali ini lebih kencang. Rambutku beterbangan di sekitar wajahku, tapi aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku teringat saat-saat terakhirku bersama Ibu-saat dia terbaring lemah di tempat tidurnya, tersenyum meski kesakitan.

Aku memejamkan mata, membiarkan air mata jatuh lebih deras. Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu. Seharusnya aku bisa mencegahnya. Seharusnya aku bisa menyelamatkannya. Tapi, tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan waktu yang berulang pun tak sanggup mengubah nasib.

"Aku .... Aku minta maaf, Bu ...," desisku lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi, setiap kali kuberusaha, rasanya dada ini semakin sesak. Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana aku harus melangkah? Tanpa Ibu, hidupku seperti kehilangan arah.

Aku berdiri perlahan, lututku terasa gemetar. Tanganku masih menggenggam kendi yang kini kosong, sementara tatapanku masih terpaku pada pusara itu.

"Aku menyayangimu, Bu ...," kataku sekali lagi, tapi kali ini lebih tegas, lebih yakin. Karena itu satu-satunya hal yang takkan pernah berubah.

Saat aku mulai melangkah pergi, angin berembus lebih kencang, membawa aroma hujan yang semakin dekat. Langkah-langkahku berat, seolah ada sesuatu yang mengikatku di tempat itu, memaksaku untuk tetap tinggal. Tapi aku tahu, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku harus pergi.

Beberapa langkah setelah meninggalkan makam, hujan akhirnya jatuh. Butirannya besar, berat, dan dingin, menghantam tubuhku yang tak terlindungi.

Aku berjalan pelan, membiarkan diriku basah oleh hujan. Di balik setiap tetes air yang jatuh, ada kenangan tentang Ibu, tentang semua yang pernah kami lalui bersama. Dan kini, yang tersisa hanyalah ingatan-ingatan itu.

••🏠••

True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.

Ditulis pada:
26 September 2024

[END] Pulang Tanpa IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang