MALAM ini terasa begitu panjang dan sunyi, seolah seluruh dunia berhenti untuk mengamati kami. Aku duduk di sudut kamar, memandangi wajah Ibu yang tetap terbaring tak bergerak di ranjangnya. Suara napasnya yang teratur terdengar seperti pengingat betapa rapuhnya waktu yang tersisa. Ayah duduk di sisi lain, matanya menatap kosong ke lantai, sementara Kak Lili sesekali menyeka air mata di sudut matanya. Kami bertiga tenggelam dalam pikiran masing-masing, mencoba mencari penghiburan dari keheningan yang semakin menyiksa.
Di luar, angin malam menderu lembut, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kegelapan melingkupi rumah kami, seolah mempertegas bahwa saat-saat ini adalah yang tersulit bagi kami semua. Keluarga berkumpul, namun tidak ada percakapan yang bisa menghibur atau meredakan ketegangan di udara. Tidak ada satu pun kata yang bisa mengurangi rasa takut dan keputusasaan yang merasuki hati kami.
Ayah akhirnya berdiri, bergerak menuju jendela dan menatap keluar, seolah berharap menemukan jawaban di antara bintang-bintang yang berkelip samar di kejauhan. Suaranya pecah ketika dia akhirnya berbicara. "Ayah selalu berpikir kita akan punya lebih banyak waktu," katanya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Ayah selalu berpikir ... Ibu akan sembuh, bahwa kita bisa kembali seperti dulu."
Tidak ada yang menjawab. Aku tahu, tidak ada jawaban yang bisa meringankan rasa bersalah yang menghantui kami semua. Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi tetap saja rasanya seperti gagal.
Kak Lili menatap Ayah, suaranya gemetar saat dia berkata, "Kita semua menginginkan itu, Yah. Tapi ... mungkin memang inilah waktunya. Mungkin Ibu memang sudah siap." Air matanya mengalir lebih deras saat ia menyelesaikan kalimatnya.
Aku menggigit bibir, mencoba menahan perasaan yang semakin menghantam. Bagian dari diriku ingin berteriak, menolak kenyataan ini. Tapi bagian lain dari diriku sudah menyerah, sudah terlalu lelah melawan. Aku tahu Ibu tidak akan bangun lagi. Sejak hari ketiga, aku sudah merasakannya, dan sekarang aku hanya bisa menunggu. Menunggu saat yang tak terelakkan itu datang, tanpa bisa melakukan apa-apa.
"Kak Maryan ... masih tidak bisa datang?" tanyaku pelan, meski aku sudah tahu jawabannya. Kak Maryan, yang berada di luar kota, sudah berjanji untuk pulang, tapi pekerjaan dan keluarganya selalu menjadi prioritas. Aku bisa memahaminya, tapi tetap saja, rasanya tidak adil kalau dia tidak berada di sini saat-saat seperti ini.
Ayah menggeleng pelan. "Dia akan datang, jika bisa. Tapi sekarang, kita hanya bisa menunggu." Suaranya terdengar getir, seolah keputusasaan telah menenggelamkannya lebih dalam.
Aku menatap Ibu yang masih terbaring dalam tidurnya yang panjang. Aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya seperti dulu, tapi sekarang semuanya terasa begitu jauh. Rasanya seperti Ibu sudah pergi, meskipun tubuhnya masih ada di sini bersama kami.
Pikiranku melayang, kembali ke saat-saat ketika Ibu masih sehat. Senyum hangatnya, tawa lembutnya, dan sentuhannya yang penuh kasih. Semua itu kini terasa seperti kenangan yang sulit dijangkau, seolah-olah aku sedang memandangnya dari kejauhan, dan semakin lama aku menunggu, semakin jauh semuanya pergi.
Kak Lili bergerak mendekati ranjang, mengusap rambut Ibu dengan lembut. "Ibu ... kami di sini. Jangan khawatirkan apa pun, ya? Kami semua akan baik-baik saja," katanya dengan suara yang dipenuhi isakan. Tapi kami semua tahu bahwa itu tidak benar. Kami tidak akan baik-baik saja. Hidup kami tidak akan sama lagi tanpa Ibu.
Ayah kembali duduk, kali ini di sebelahku. Aku bisa merasakan beban di bahunya yang semakin berat. "Melvin," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Kadang-kadang, menerima kenyataan adalah hal tersulit yang harus dilakukan. Tapi ... kita harus kuat, Nak."
Aku mengangguk, meski hati ini rasanya ingin meledak. Kata-kata Ayah hanya menegaskan kenyataan yang sudah ada di depan mata. Tidak ada jalan kembali. Kami hanya bisa menunggu, berdoa, dan berharap bahwa ketika waktu itu tiba, kami bisa melepaskan Ibu dengan damai. Tapi bagaimana cara melepaskan seseorang yang begitu penting dalam hidupmu?

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Pulang Tanpa Ibu
Dla nastolatków🏆Juara 2 dalam event novelet bertema "Rumah" yang diadakan oleh penerbit prospec media. 🏠True Story. Bagi Melvin Aditaza, rumah tak lagi berarti tempat berlindung. Sejak kepergian ibunya, setiap sudut terasa sunyi, setiap kenangan terasa menyaki...