SORE hari itu, langit memancarkan cahaya oranye lembut yang menelusup di antara ranting pohon di halaman belakang rumah. Aku duduk di kursi teras, mengamati keranjang dagangan tua milik ibu yang masih tergantung di sepeda kayuhnya. Aku tersenyum kecil, mengingat betapa ibu begitu berbeda dari orang lain. Kaya, tapi memilih menjadi pedagang keliling.
Ibu selalu percaya bahwa rutinitas itu adalah hidupnya-mengayuh sepeda tua keliling kota, menjual segala macam barang dari buah-buahan, sayur-sayuran, hingga barang antik yang terkadang membuat orang bertanya-tanya. Dia akan melewati gang-gang sempit dengan senyum ramahnya, menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang ditemuinya.
"Ini bukan soal uang, Nak," kata ibu suatu kali aku bertanya padanya, sambil mengelus rambutku. "Tapi soal rasa hidup. Karena, kalau cuma duduk diam di rumah, rasa hidupnya hilang."
Aku sering membantunya membawa masuk barang dagangan saat dia pulang sore hari. Tapi ada hari-hari ketika aku lupa, dan ketika itu terjadi, ibu akan berdiri di pintu depan sambil mengomel, "Melvin! Kau pikir semua ini bisa masuk sendiri, hah? Ayo, cepat turunkan buah dan sayuran ini sebelum layu!" Meski kata-katanya keras, aku tahu di balik itu ada kasih sayang yang tak pernah berkurang.
Aku menatap sepeda itu dan membayangkan ibu yang selalu bersemangat meski terkadang sedikit ceroboh. Seperti ketika dia sering kehilangan uang dan emasnya di antara barang-barang dagangan. Aku masih ingat saat dia panik mencari emas cincin di kantong kecil di keranjang sepeda, mengobrak-abrik barang-barang dagangan sampai semuanya berantakan di jalan. "Aduh, di mana emas ibu?" Dia bertanya pada dirinya sendiri, matanya berkaca-kaca namun bibirnya tersenyum lebar, mencoba menenangkan diri. Tapi ketika akhirnya dia menemukannya kembali, entah di bawah tumpukan pisang atau di kantong kecil jaketnya, wajahnya langsung cerah seperti matahari pagi.
Dan pada saat ketika uang receh ikut berjatuhan saat pencarian itu, ibu justru akan tertawa dan berteriak, "Recehnya buat kalian, ambil! Ambil semuanya!" sambil melemparkan receh-receh itu ke jalan, membuat anak-anak kecil dan tetangga berkumpul, berebutan mengambil. Tangannya yang hangat dan senyumnya yang tulus selalu membuat siapa pun yang ada di dekatnya merasa senang. Dia adalah ibu yang aneh, mungkin sedikit tidak terduga, tapi juga ibu yang paling penuh cinta.
Aku memejamkan mata, membayangkan saat-saat itu kembali. Rasanya seperti kemarin. Suara ibu yang riang, tawa yang meledak-ledak, aroma minyak wangi khasnya yang selalu tercium sebelum dia pulang. Kehidupan begitu penuh warna saat ibu ada. Tapi kini, semua itu hanya kenangan yang mulai memudar seiring waktu.
Aku membuka mataku, memandangi sepeda tua itu lagi. "Bu, kenapa semua berubah secepat ini?" gumamku pelan. Tak ada jawaban, hanya suara angin yang membelai dedaunan. Keheningan menyelimuti sore itu, membawa ingatan-ingatan yang tak mungkin bisa kembali. Kehilangan itu terasa begitu nyata saat ini. Aku berdiri dan menghela napas panjang, menyingkirkan pikiran yang menyakitkan itu. Tapi, perasaan rindu itu terlalu kuat. Mungkin malam ini, buku tua itu bisa memberi jawabannya.
••🏠••
Malam sudah larut. Di kamar, hanya ada suara derit kipas angin tua yang berputar lambat, mencoba melawan hawa panas yang menggantung. Lampu meja belajarku masih menyala, memancarkan cahaya kuning temaram. Buku tua itu tergeletak terbuka di depanku, seakan menantangku untuk menggali lebih dalam di sana. Aku menggerakkan kursi lebih dekat, jantungku berdegup cepat dengan rasa penasaran yang tak bisa aku kendalikan.
Kusentuh halaman-halaman kuning kecoklatan itu lagi, merasakan teksturnya yang kasar dan berdebu. Setiap lembar seolah memiliki cerita yang belum terungkap, dan di antara semua itu, kata-kata ibu masih menggantung dalam pikiranku. Aku membuka halaman selanjutnya dengan hati-hati, namun tiba-tiba lampu meja berkedip-kedip, nyaris padam.
"Ah, sial!" Aku berdecak kesal, memperhatikan lampu yang semakin redup. Aku menekan sakelarnya beberapa kali, mencoba menyalakannya kembali. Ketika cahaya akhirnya kembali stabil, aku mendengar suara lain-suara langkah kaki pelan di luar kamarku. Aku terdiam, menajamkan telinga.
Itu pasti Ayah.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan nyali. Ada sesuatu yang ganjil sejak kemarin. Ayah yang biasanya cuek, mendadak lebih perhatian dan sering terjaga di malam hari. Aku mendengar pintu kamarku terbuka sedikit, bayangan besar tergambar di lantai, samar-samar bergerak mendekat. Ketegangan terasa kian memuncak. Jika Ayah masuk dan melihatku begini--bukannya belajar, justru melakukan hal aneh, mungkin dia akan memarahiku.
Dengan gugup, aku merapikan buku tua itu, menutupnya dengan cepat. Detik-detik yang berlalu terasa sangat lambat. Aku menahan napas, menunggu sesuatu terjadi. Namun, saat kuangkat pandangan, pintu itu tertutup lagi. Suara langkah menjauh, meninggalkanku dalam keheningan.
"Huft ...." Aku menghela napas lega, meski perasaan cemas masih mengganjal di dada. Tangan-tanganku bergetar saat kembali menyentuh buku itu. Entah kenapa, jantungku berdetak semakin cepat. Aku membuka halaman yang terasa lebih tebal tadi, rasa penasaran kembali membuncah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang aneh.
Saat halaman itu terbuka, angin dingin berembus dari arah jendela yang tadinya tertutup rapat. Lampu mejaku berkedip lagi, namun kali ini lebih intens. Buku itu tiba-tiba terasa hidup di tanganku, halamannya bergetar sendiri. Aku merasakan sensasi seperti ditarik, tubuhku mendadak berat tapi juga ringan pada saat yang bersamaan. Suhu ruangan mendadak berubah drastis, menjadi sangat dingin hingga napasku berubah menjadi uap putih. Aku tersentak, mencoba bangkit dari kursi, tapi kakiku kaku seakan tertanam di lantai.
"Apa yang terjadi?" Suaraku menggema di ruangan yang semakin asing. Cahaya dari lampu mejaku tiba-tiba menyala sangat terang, menyilaukan, kemudian padam seketika. Dunia di sekelilingku terasa berputar cepat, menarikku ke dalam pusaran yang tak terlihat. Angin kencang berembus, membawa serpihan kertas dan debu yang berputar di udara, membentuk spiral yang semakin kencang.
Aku mencoba memejamkan mata, menahan sakit di kepala yang terasa seperti dihantam benda berat. Namun, saat mataku terbuka lagi, aku terkejut. Dunia di sekitarku sudah berubah.
Aku berdiri di tempat yang sama, tapi tidak sama. Ruangan ini-aku mengenalinya sebagai ruang keluarga di rumahku, tapi ada yang berbeda. Aroma masakan ibu, wangi yang sudah lama tidak aku hirup, memenuhi udara. Suara sayup-sayup nyanyian kecil terdengar dari arah dapur, membuat seluruh tubuhku merinding.
Pandanganku beralih ke sana, dan aku terpaku. Di dapur, seorang wanita yang sangat kukenal, dengan rambut diikat rapi dan tubuh yang bergerak lincah, sedang sibuk memasak. Ibu.
Aku berdiri kaku, setengah percaya, setengah tak percaya. Napasku tercekat. Ini bukan ilusi, bukan mimpi buruk, tapi juga bukan kenyataan yang kutahu. Dengan langkah ragu, aku mencoba mendekat, tetapi kakiku terasa begitu berat seolah-olah ditahan oleh seseorang. Mataku tak lepas dari sosok itu, mata yang selama ini hanya mengenal kehangatan dari ingatan.
"Ibu?" Suaraku nyaris berbisik, takut semuanya menghilang jika terlalu keras memanggil.
Ibu menoleh, dengan senyum hangat yang kukenali-senyum yang dulu menyambutku pulang sekolah, senyum yang terakhir kulihat tujuh hari sebelum semuanya berubah. Jantungku berdetak kencang, dan tiba-tiba saja aku merasa begitu kecil dan takut. Aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi, atau bagaimana aku bisa ada di sini. Tapi satu hal yang pasti-aku diberikan kesempatan. Kesempatan yang mungkin hanya sekali dalam hidup.
Namun, aku sadar, ada konsekuensi di balik setiap tindakan. Dan sekarang, aku berdiri di ambang masa lalu, dihadapkan pada pilihan untuk melakukan sesuatu yang mungkin mengubah segalanya ... atau kehilangan semuanya untuk selamanya.
••🏠••
True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.
Ditulis pada:
3 September 2024
![](https://img.wattpad.com/cover/375917167-288-k413870.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Pulang Tanpa Ibu
Novela Juvenil🏆Juara 2 dalam event novelet bertema "Rumah" yang diadakan oleh penerbit prospec media. 🏠True Story. Bagi Melvin Aditaza, rumah tak lagi berarti tempat berlindung. Sejak kepergian ibunya, setiap sudut terasa sunyi, setiap kenangan terasa menyaki...